[caption id="attachment_361648" align="aligncenter" width="511" caption="Papua (Sumber : Tabloidjubi.com)"][/caption]
Ridiculous, itu mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana elite politik lokal Papua mengusahakan lolosnya RUU Otsus plus Papua setahun terakhir. Seperti halnya drama politik lainnya yang rata-rata memiliki jalan cerita yang aneh, alur yang terkadang tidak masuk akal serta ketidakjelasan siapa yang berperan sebagai antagonis dan siapa yang berperan sebagai prontagonis. Walaupun begitu, setiap drama politik terkadang menarik untuk dinikmati untuk sebagian orang, tapi untuk sebagian yang lain terasa begitu memuakan. Dan drama usaha elite politik Papua dalam usaha meloloskan RUU Otsus plus ini bagi saya sedikit memuakan.
UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU 21/2001) merupakan hasil win-win solution antara kelompok separatis OPM yang ingin memisahkan diri, rakyat Papua yang tetap menginginkan Papua berada dalam Indonesia dan Pemerintah Indonesia sendiri. Perjuangan UU Otsus ini sebenarnya sudah dimulai sejak 26 Februari 1999 ketika 100 delegasi yang mewakili berbagai elemen Papua dengan pimpinan Thomas Beanal menghadap Presiden Habibie, walaupun ketika itu keinginan untuk otonomi khusus ini belum terwujudkan. Desakan kepada pemerintah pusat untuk segera menggodok dan mengesahkan undang-undang otonomi khusus untuk Papua ini mencapai puncaknya ketika diadakan Kongres Papua II di Jayapura tanggal 29 Mei – 3 Juni 2000. Akhirnya UU Otsus disahkan dengan ditandatangani oleh Presiden wanita pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
UU Otonomi Khusus merupakan usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya di kawasan tengah dan barat. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah “untuk rakyat Papua”, bukan untuk segelintir rakyat Papua. Selama lebih dari 13 tahun penyelenggaraan UU Otsus di Papua ini dinilai belum maksimal untuk mensejahterakan dan memajukan rakyat Papua, oleh karena itu diajukanlah RUU baru, yang merupakan penyempurnaan dari UU Otsus Papua, yaitu RUU Otsus Plus Papua yang saat ini sedang diusahakan oleh para elite politik Papua.
Pertanyaannya adalah, apakah RUU Otsus Plus ini merupakan jawaban tepat untuk kurang maksimalnya pelaksanaan Otsus Papua? Apakah RUU Otsus Plus Papua ini tetap perjuangannya didasari oleh “untuk rakyat Papua” bukannya hanya segelintir saja?
Menurut Velix Wanggai, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, ada 3 pendekatan yang digunakan untuk mendesain Otsus Plus Papua ini, yang Pertama adalah Pemerintah akan melanjutkan aspek-aspek strategis yang telah diletakan dalam UU 21/2001. Kedua, mengubah, menyesuaikan dan melengkapi poin-poin strategis yang ada dalam UU 21/2001. Ketiga, Pemerintah memasukkan poin-poin strategis yang benar-benar baru, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU 21/2001. Selain itu, Velik juga menjelaskan bahwa , ada 5 kerangka utama yang ditekankan dalam RUU Otsus Plus Papua ini.
- Pertama, kerangka kewenangan. Pemerintah ingin memperkuat Pemerintahan Papua dan Papua Barat dengan kewenangan dan urusan yang lebih luas.
- Kedua, kerangka kebijakan pembangunan strategis. RUU ini memuat 25 kebijakan strategis pembangunan. Hal ini berbeda dengan UU 21/2001 yang hanya mencakup 9 sektor pembangunan.
- Ketiga, kerangka keuangan daerah. Melalui RUU ini, Pemerintah ingin memperkuat dan memperluas kebijakan desentralisasi fiskal yang bersifat asimetris (asymmetrical fiscal decentralization). Pemerintah mengusulkan perubahan formula Dana Otonomi Khusus dan Dana Bagi Hasil, serta perluasan pemanfataan Dana Otsus yang dulu hanya pendidikan dan kesehatan, namun diperluas ke sejumlah sektor-sektor prioritas sesuai kebutuhan daerah. Demikian pula, diatur pola divestasi saham, kontrak kerjasama, penyertaan modal, maupun dana tanggungjawab sosial dunia usaha.
- Keempat, kerangka kelembagaan pemerintahan. Revisi UU Otsus Papua ini ingin memperkuat otonomi khusus di level provinsi, dan juga menguatkan peran dan kewenangan Gubernur, Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), hubungan kewenangan Provinsi – Kabupaten/Kota, distrik, dan kampung. Di dalam RUU ini, Pemerintah mengajukan hanya ada 1 MRP yang kedudukannya di Jayapura, sebagai lembaga representasi kultural di seluruh Tanah Papua, tanpa dibatasi administrasi provinsi.
- Kelima, kerangka politik dan hukum yang rekonsiliatif. Pemerintah ingin RUU ini hadir sebagai sarana penguatan re-integrasi dan rekonsiliasi sosial politik dalam negara kesatuan. Salah satu ide baru yang diusulkan yakni dibentuknya partai politik lokal bagi orang asli Papua.
Melihat dari hal-hal yang dipaparkan oleh Velix Wanggai, secara kasat mata akan terlihat bahwa RUU Otsus Plus ini akan menjadi kendaraan potensial rakyat Papua menuju kesejahteraan dan terpenuhinya hak-hak ulayat rakyat Papua. Tetapi kenapa saya katakan begitu ridiculous? Berikut alasan saya
Kurangnya Evaluasi Dari Pemerintah Daerah Papua
Selama ini, bila kita memperhatikan aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan organisasi-organisasi faksi politik dari OPM (Organisasi Papua Merdeka) seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat) dan AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) selalu meneriakan tentang kegagalan Otsus Papua, kemudian menyalahkan pemerintah pusat terkait kegagalan tersebut. Bahkan, Ketua MRP (Majelis Rakyat Papua) dalam sidang MRP tahun 2010, Agus Alua mengatakan “Otonomi khusus gagal berarti sikap kita jelas refrendum”. Ada pikiran bahwa “Otsus gagal, maka pemerintah pusatlah masalahnya”. Entah lupa atau sengaja dilupakan, bahwa berhasil-tidaknya pelaksanaan Otsus Papua bukan hanya andil dari pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua, sebagai pelaksana Otsus Papua juga ikut andil akan hal itu.
Hal ini perlu disadari oleh pemerintah daerah Papua, bila elite politik Papua selalu meneriakan “Otsus Gagal” maka tidak beda seperti melempar kotoran di muka sendiri. Bila Otsus dinilai gagal maka seharusnya pemerintah daerah Papua melaksanakan evaluasi yang mendalam. Prilaku korupsi para pejabat Papua dan tidak profesionalnya birokrat dan PNS di Papua (lihat : Identifikasi Permasalahan Papua Lewat Metode 5 Why’s Analysis) harus masuk dalam pembahasan evaluasi tersebut, bukan hanya menyerahkan segala kesalahan kepada pemerintah pusat. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan oleh pemerintah daerah Papua dalam pelaksanaan Otsus Papua sebelum mengajukan RUU Otsus Plus Papua, agar kesalahan yang sudah terjadi, tidak terjadi kembali.
Lord Acton, seorang penulis dan politikus pernah mengatakan salah satu kalimat terkenalnya “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Bila melihat 5 kerangka utama RUU Otsus Plus Papua yang dipaparkan oleh Velix Wanggai di atas, maka pemerintah daerah Papua akan memiliki kewenangan yang luar biasa besar bila RUU Otsus Plus ini dilaksanakan. Tanpa evaluasi ke dalam yang menyeluruh oleh Pemerintah Daerah Papua, maka peningkatan kesejahteraan rakyat Papua tidak akan terjadi, malah yang meningkat adalah prilaku korupsi elite-elite Papua.
Hadirnya Pasal-pasal Kontroversial
Seperti yang dikatakan Velix Wanggai diatas, bahwa RUU Otsus ini akan menggunakan 3 pendekatan, dalam poin ketiga disebutkan bahwa , Pemerintah daerah Papua memasukkan poin-poin strategis yang benar-benar baru, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU 21/2001. Oleh sebab itu, ada beberapa “hal baru” yang akan dimajukan dalam RUU Otsus Papua. Beberapa “hal baru” yang diajukan terlihat begitu aneh dan mengada-ada, sebut saja pasal tentang pembentukan lembaga Gubernur Jenderal yang berposisi diatas 2 Gubernur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Indonesia tidak mengenal sistem Gubernur Jenderal, selain itu motivasi pembentukan Gubernur Jenderal ini pun tidak jelas, oleh karena itu draft mengenai pasal Gubernur Jenderal pun dihapuskan.
Pasal lain yang kontroversial adalah pembentukan 1 MRP untuk kedua Provinsi, Papua dan Papua Barat. Elite politik Provinisi Papua menginginkan MRP membawahi kedua provinisi, sedangkan elite politik provinsi Papua Barat menginginkan MRP dibentuk di setiap provinisi di pulau Papua. MRP sendiri adalah sebuah lembaga yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan DPRD. Dalam materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan MRP. DPRP berkedudukan sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai eksekutif, dan MRP sebagai lembaga representatif kultural orang asli Papua. Posisi MRP yang ada di setiap provinsi di Papua akan mengoptimalkan kinerja dari MRP sehingga bisa terus berkoordinasi dengan eksekutif dan legislative, selain itu MRP di setiap provinsi maka masyarakat adat di daerah tersebut akan lebih terepresentatifkan sehingga MRP tidak hanya menjadi lembaga tanpa kinerja saja.
Pasal lain yang tidak kalah kontroversialnya lagi adalah pembentukan partai politik daerah. Saya melihat ada semangat yang baik dalam pasal ini yaitu sebagai sarana penguatan re-integrasi dan rekonsiliasi sosial politik dalam negara kesatuan. Tetapi, menurut saya opsi partai politk lokal di Papua masih bersifat premature untuk Papua saat ini, karena beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, Bentuk masyarakat Papua masih sangat bersifat sukuisme, masyarakat begitu terikat dengan sukunya. Perselisihan antar individu bisa membawa anggota suku yang lain. Bila dibentuk partai politik daerah di Papua, maka saya prediksi akan berbau kesukuan. Sehingga masalah yang berbau perselisihan antar suku akan terbawa dalam ranah politik dan kemudian terbawa dalam pemerintahan bila partai politik daerah diadakan di Papua. Kedua Bila berbicara mengenai partai politik lokal maka tidak mungkin tidak bicara mengenai Aceh. Saya melihat partai politk lokal di Aceh menjadi aspek penting berubahnya perjuangan bersenjata GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi perjuangan politk dalam lingkup Indonesia. Sedangkan para gerilyawan OPM (Organisasi Papua Merdeka) belum menyetujui konsep Otsus, oleh karena itu keberadaan partai politik lokal di Papua tidak akan menjadi aspek perubahan perjuangan bersenjata OPM.
Kesimpulan
Saya meyakini bahwa Lukas Enembe, sebagai Gubernur Papua mempunyai niat yang baik dalam pengajuan RUU Otsus Plus Papua ini. Tapi untuk memajukan Papua tidak cukup hanya dengan niat yang baik saja, butuh eksekusi yang tepat di setiap lini. Pengajuan RUU Otsus Plus ini tidak seharusnya diajukan terburu-buru, butuh evaluasi yang mendalam di dalam birokrasi Pemerintah Papua sehingga kesalahan di Otsus yang diklaim gagal tidak diulang kembali. Butuh penelitian lebih lanjut mengenai “hal-hal baru” seperti partai politik lokal misalnya, apakah tepat dengan kondisi masyarakat Papua, agar “hal baru” tersebut yang pada awalnya memiliki semangat memenuhi hak masyarakat Papua tidak menambah permasalahan di Papua. Seperti kata seorang sutradara perempuan asal Russia, Sonya Leviaen yang mengatakan ”Good Intention Are Not Enough”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H