Mohon tunggu...
Evha Uaga
Evha Uaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wanita itu Tangguh. \r\n\r\nBelajar berjuang untuk Papua lewat tulisan. Jikapun dunia ini putih, biarkan aku tetap hitam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melihat Papua sebelum Demo Kenaikan BBM

19 November 2014   00:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:28 1947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_376327" align="aligncenter" width="583" caption="Ilustrasi (Sumber : http://moneter.co/)"][/caption]

Anda pasti pernah merasakan momen ketika kita sebelum bersin, ada sensasi gatal di sekitar hidung yang hanya bisa disembuhkan dengan bersin. Walaupun setelah bersin terkadang ada beberapa cairan (iyuuuuh) yang terkadang penuh dengan bakteri dan virus, akan keluar dari lubang hidung dan mulut yang tentu saja akan memalukan dan mengganggu bila dilihat orang lain, tapi ada sedikit perasaan frustrated ketika tiba-tiba rasa untuk bersin itu hilang. Seperti inilah saya memandang kebijakan kenaikan BBM sekarang ini.

Seperti layaknya bersin yang kita sudah prediksi beberapa detik sebelum kedatangannya lewat sensasi gatal di hidung, kebijakan pemerintah Jokowi menaikan BBM ini sudah bisa diprediksi jauh sebelum malam tadi, ketika Jokowi secara pribadi mengumumkan kebijakan yang berpotensi tidak populer bagi kabinet baru ini. Sekitar akhir Agustus lalu, Jokowi menemui SBY di sela-sela acara World Forum UN Alliance of Civilization, agar SBY mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga BBM sebelum lengser tanggal 20 Oktober, SBY menolak permintaan tersebut. Lewat pertemuan ini, kita bisa memprediksi kebijakan Jokowi untuk menaikan harga BBM beberapa bulan sebelum malam tadi, ketika kebijakan tersebut akhirnya ditetapkan.

“Haciiiuuuu…” akhirnya bersin juga, walaupun ada sedikit cairan (lagi lagi…iyuuuh) keluar dari mulut dan hidung yang “mengganggu”, tapi bersin lebih baik daripada tidak bersin. Malam tadi, ketika Jokowi mengumumkan kebijakannya untuk menaikan BBM. Seperti saat ketika bersin, pasti akan ada beberapa aksi penolakan yang berpotensi “mengganggu”. Tapi seperti halnya bersin, kebijakan itu memang harus dilakukan daripada tidak. Besaran subsidi BBM sebesar 800 trilyun dalam 5 tahun terakhir sudah waktunya untuk dialihkan ke hal yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur berupa jalan, bandara dan juga pelabuhan.

Bicara mengenai kenaikan BBM, kurang pas rasanya bila tidak membahas aksi penolakan yang seringkali dibumbui aksi-aksi anarkis. Untuk kenaikan BBM edisi kali ini, aksi penolakan yang dibumbui aksi anarkis bahkan beberapanya sudah terjadi sebelum kebijakan dikeluarkan, seperti yang terjadi di Makassar, Magelang, Yogyakarta, Mataram, bahkan aparat keamanan di Jakarta sudah mempersiapkan diri tentang kabar adanya demonstrasi besar-besaran di Jakarta.

Bukan saya tidak mendukung teman-teman mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak kenaikan BBM, tetapi ada baiknya aksi tersebut tidak usah dibumbui aksi-aksi anarkis. Di Papua, kampung saya, harga BBM, jauh sebelum kebijakan kenaikan, harga BBM ada di kisaran Rp 10.000 – 15.000 per liter di kota-kota besar. Bila naik ke daerah gunung, harganya bisa sampai Rp 35.000 – 50.000 per liter, bahkan sampai Rp 100.000 per liter bila cuaca sedang buruk dan tidak memungkinkan mengangkut BBM ke daerah tersebut. Semalam Jokowi menaikan harga premium sebesar Rp 2.000 per liter dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 dan untuk solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500.

Jauhnya perbedaan harga ini saya rasa juga terjadi di wilayah-wilayah pedalaman lainnya di Indonesia, tidak hanya di Papua, karena sulitnya transportasi dan minimnya infrastruktur yang mendukung pendistribusian BBM dengan baik. Senior Vice President Fuel Marketing and Distribution Pertamina, Suhartoko mengatakan bahwa mendistribusikan BBM hingga ke pelosok negeri banyak tantangan yang harus dihadapi. Di beberapa daerah, bahkan infrastruktur dasar masih kurang baik dan terbatas. Untuk Papua ia mengatakan bahwa Pertamina harus melibatkan banyak moda transportasi mulai dari tanker, ditransfer ke tongkang, hingga diangkut dengan pesawat.

Naiknya BBM yang sebesar Rp 2.000 tersebut bisa digunakan pemerintah untuk membangun infrastruktur di daerah-daerah terpencil, seperti Papua. Sehingga ke depannya, dengan infrastruktur yang lebih baik, seluruh rakyat di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, termasuk daerah-daerah terpencil di pegunungan Papua dapat menikmati harga BBM yang sama dengan rakyat Indonesia di kota-kota besar lainnya

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/513104-alasan-harga-bbm-pertamina-mahal-di-daerah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun