Mohon tunggu...
Evha Uaga
Evha Uaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wanita itu Tangguh. \r\n\r\nBelajar berjuang untuk Papua lewat tulisan. Jikapun dunia ini putih, biarkan aku tetap hitam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tantangan Kabinet Jokowi: Polemik Penolakan Program Transmigrasi di Papua

19 November 2014   23:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:22 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416390868708635770

[caption id="attachment_376577" align="aligncenter" width="521" caption="Suasana Aksi Tanda Tangan Petisi Menolak Program Transmigrasi di Papua (Sumber : http://tabloidjubi.com)"][/caption]

Di tengah-tengah merebaknya aksi-aksi penolakan kebijakan pemerintah untuk mengalihkan dana subsidi BBM di seluruh Indonesia, di Papua sedang merebak isu lain. Walaupun ada beberapa aksi penolakan kebijakan BBM ini, tapi tidak terlihat signifikan dibandingkan penolakan terhadap kebijakan pemerintah terhadap transmigrasi di Papua. Ya, di Papua sedang marak aksi menolak program Transmigrasi.

Berbagai elemen masyarakat dan tokoh-tokoh Papua saling melontarkan pandangannya tentang program transmigrasi Papua yang mayoritas bernada negatif. Lukas Enembe, Gubernur Papua mengatakan, “Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri. Hal tersebut akan menimbulkan kecemburuan sosial yang akan memicu terjadinya konflik antara masyarakat asli Papua dan masyarakat pendatang.

Sedangkan Ketua Sinode Gereja Kristen Injili Papua, Pendeta Albert Yoku mengatakan, “Kami menolak adanya rencana transmigrasi dari pemerintah pusat. Tanah Papua hanya bisa menerima transmigrasi setelah sistem pemerintahan di kedua provinsi telah bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta setelah status Papua dan Papua Barat sebagai dua provinsi termiskin yang disandang sejak rilis Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada tahun 2010 lalu dihilangkan.

Sementara itu, beberapa hari lalu, Senin (17/11) ratusan mahasiswa yang tergabung dari berbagai universitas di Kota Jayapura menduduki halaman Kantor DPR Papua. Koordintaor aksi, Pontius Mogodoman, mengatakan, “Saat ini yang dibutuhkan Papua bukan penambahan penduduk, tetapi pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan masalah dasar persoalan Papua. Jika orang transmigrasi didatangkan ke Papua akan menambah masalah baru.”

Berbagai reaksi negatif terkait program transmigrasi tersebut sebenarnya diawali dengan pernyataan Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, bahwa ia ingin menggenjot laju transmigrasi. Untuk mewujudkan itu, ia ingin agar lahan-lahan di daerah bisa digunakan semaksimal mungkin. Kemudian ia mengatakan bahwa di Papua masih banyak lahan, kenapa orang tidak tertarik ke Papua? Setelah pernyataan itu dikeluarkan, banyak reaksi dari masyarakat maupun tokoh Papua yang mayoritas bernada negatif, seperti yang dicontohkan di atas.

Kenapa ada begitu banyak reaksi negatif terhadap program transmigrasi di Papua? Paling tidak, ada 2 alasan mengapa program transmigrasi begitu mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat dan tokoh Papua.

Pertama, adanya ketakutan bahwa program transmigrasi akan berakibat pada tersisihnya Orang Asli Papua (OAP), sehingga OAP akan merasa menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Persaingan dan perebutan sumber-sumber ekonomi, memang selalu menjadi masalah antara penduduk asli dan penduduk pendatang, tidak hanya di Papua, tetapi di belahan dunia lainnya. Keinginan kuat penduduk pendatang untuk survive di tanah baru serta kemampuan dan keterampilan yang lebih baik dalam beberapa hal, membuatpenduduk pendatang sering kali terlihat lebih berhasil secara ekonomi dibanding penduduk asli.

Hal ini sebenarnya bisa diatasi bila pemerintah menyiapkan penduduk asli terlebih dahulu untuk menghadapi transmigrasi. Peningkatan kemampuan dan keterampilan penduduk asli harus dibina dengan baik. Jadi, penyuluhan atau pembinaan keterampilan tidak hanya diberikan kepada peserta transmigrasi tetapi juga kepada penduduk asli. Sehingga manfaat transmigrasi bisa dirasakan, baik oleh para calon transmigran yang merupakan tamu di tanah baru dan penduduk asli, yang merupakan tuan rumah di wilayah tersebut.

Kedua, ada anggapan bahwa program transmigrasi dianggap sebagai bagian dari perluasan kekuasaan Jawa terhadap ekonomi, budaya dan politik di luar Jawa (Jawanisasi). Sebenarnya, alasan yang berbau SARA ini didasari oleh kecemburuan sosial akibat ketimpangan ekonomi seperti yang dijelaskan di atas, dan adanya perbedaan budaya yang mencolok antara penduduk pendatang dan penduduk asli.

Terkait hal ini, pemerintah harus bisa mengelola perbedaan-perbedaan budaya rakyatnya dengan cermat, baik budaya dari penduduk asli maupun budaya dari penduduk pendatang. Jadikan perbedaan-perbedaan budaya ini menjadi kekayaan yang bisa dipamerkan kepada dunia. Festival-festival budaya, di mana penduduk pendatang dan penduduk lokal menampilkan kebudayaan masing-masing lengkap dengan masakannya, bisa dilaksanakan untuk mengubah perbedaan budaya menjadi kekayaan budaya. Sehingga dengan festival budaya ini, tiap penduduk bisa mengenali budaya masing-masing lengkap dengan masakannya, plus bisa menarik wisatawan yang akan memberikan keuntungan secara ekonomi.

Program transmigrasi memang merupakan program yang baik untuk meratakan kepadatan penduduk dengan memaksimalkan lahan-lahan yang tidak terpakai di daerah dengan kepadatan penduduk rendah. Tetapi dengan penduduk dengan kebudayaan yang begitu beraneka ragam seperti Indonesia, transmigrasi tidak hanya bisa dipandang sebagai perpindahan penduduk saja. Penduduk yang pindah tidak hanya bisa dipandang sebagai jasad yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, tetapi manusia dengan nilai dan kebudayaan yang berbeda dengan penduduk asli. Pembauran dan toleransi antara penduduk asli dan penduduk pendatang juga harus menjadi titik fokus dari keberhasilan transmigrasi.

Penutup

Pemerintah harus melihat program transmigrasi ini secara luas, tidak hanya urusan memindahkan penduduk saja. Oleh karena itu, ketika menyampaikan akan menjalankan program ini baiknya sudah dilakukan studi yang matang, tidak hanya untuk keuntungan para transmigran tetapi juga untuk keuntungan penduduk asli. Selama ini, banyak berita yang mengabarkan keberhasilan para transmigran di daerah barunya, untuk menarik minat transmigrasi. Menurut saya, keberhasilan transmigrasi yang sesungguhnya adalah bagaimana penduduk asli dan penduduk pendatang bisa bergandeng tangan, maju bersama membangun wilayahnya.

Bila program transmigrasi bisa dirancang dengan baik dengan menguntungkan transmigran sebagai tamu dan penduduk asli sebagai tuan rumah serta dibuat program-program lanjutan untuk membantu pembauran antara transmigran dan penduduk asli, maka program transmigrasi dapat dilaksanakan, tidak hanya di Papua, tetapi di seluruh wilayah Indonesia.

http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/30/312249/marwan-jafar-ingin-populerkan-kembali-program-transmigrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun