Mohon tunggu...
Evha Uaga
Evha Uaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wanita itu Tangguh. \r\n\r\nBelajar berjuang untuk Papua lewat tulisan. Jikapun dunia ini putih, biarkan aku tetap hitam

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Peduli Anak-anak Papua, Mencintai Anak-anak Papua

3 Desember 2014   23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:07 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_380305" align="aligncenter" width="572" caption="Anak-anak Papua membawa rangkaian bunga sederhana, dan membawa ingatan saya tentang saya yang dahulu kala (dok pribadi)"][/caption]

Hampir 30 menit saya memandang foto di atas di layar laptop saya. Foto yang mungkin terlihat tidak istimewa, tetapi seakan memutar ingatan saya beberapa tahun yang lalu. Dulu, di suatu waktu, Evha yang saat ini gemar membaca dan menulis tentang konstelasi politik Papua, hanya seorang gadis yang suka mengumpulkan bunga-bunga liar. Pulang sekolah, kemudian memetik beberapa bunga dan merangkainya di rumah bersama Bapa sambil menunggu Mama pulang dari pasar. Entah kemana perginya gadis kecil pecinta bunga itu, foto di atas seakan mengingatkan bahwa gadis itu pernah ada.

Sudah 3 hari saya kembali ke Jayapura. Lewat beberapa bantuan dari temannya, Bapa berhasil memulangkan anak perempuan satu-satunya ini ke Papua. Setelah sehari penuh temu-kangen-cerita di rumah dengan Bapa dan Mama, saya minta izin untuk keliling Jayapura. Dengan ditemani sepupu, saya keliling Jayapura dengan tujuan untuk berusaha menggambarkan keindahan kota saya ini dalam foto dan akan saya pamerkan kepada netizen di Kompasiana.

Sore pun menyapa Jayapura, setelah hampir seharian penuh saya berkeliling Jayapura, saya dan sepupu saya tiba di pantai dekat dengan kantor Gubernur Jayapura. Beberapa anak-anak Papua sedang menceburkan diri ke laut dengan gaya yang saya lihat sangat akrobatik. Senang, gembira dan tanpa beban terlihat di raut wajah mereka.

[caption id="attachment_380306" align="aligncenter" width="627" caption="Anak-anak bergembira di pinggir pantai (dok.pribadi)"]

14175991792022386342
14175991792022386342
[/caption]

[caption id="attachment_380307" align="aligncenter" width="629" caption="Lompatan kegembiraan (dok. pribadi)"]

1417599339189625971
1417599339189625971
[/caption]

[caption id="attachment_380308" align="aligncenter" width="637" caption="bersalto ria (dok. pribadi)"]

14175994321127045933
14175994321127045933
[/caption]

[caption id="attachment_380309" align="aligncenter" width="639" caption="Ini bukan berjalan di atas air (dok. pribadi)"]

14175995251544320186
14175995251544320186
[/caption]

Sambil melihat dan mengabadikan gambar anak-anak tersebut, sepupu saya menyenggol pundak saya seraya berkata “Ah enak sekali jadi anak-anak, trada pu pikiran yang rumit macam kita ini”. Dalam hati saya meng-iyakan pernyataan sepupu saya ini, paling tidak, anak-anak ini punya beberapa tahun sebelum sadar akan permasalahan-permasalahan politik di Papua dan kemudian akan merenggut indahnya masa kecil mereka.

Konflik di Papua sudah berpuluh-puluh tahun terjadi, dengan berbagai sebab mulai dari Freeport, perang antar suku, kontak senjata antara OPM dan TNI sampai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan People Power oleh sayap politik OPM. Pihak OPM dengan lantang berkata “Referendum adalah satu-satunya Jalan” pihak TNI pun berkata dengan lantang “NKRI Harga Mati”, hasilnya? Tidak akan pernah selesai.

Dalam konflik, bila kerugian semacam korban jiwa atau kerugian materil seperti kerusakan bangunan dan lain-lain dapat dihitung besarannya, sedangkan kerugian moril sulit untuk dihitung. Salah satu kerugian moril yang sangat berat adalah timbulnya permasalahan yang saya namakan “lost generation”, atau generasi yang hilang. Lost Generation adalah anak-anak yang tumbuh ketika konflik berlangsung. Generasi ini tumbuh pada masa konflik sehingga mengalami hal-hal yang tidak dialami oleh anak-anak pada umumnya. Anak-anak ini dibesarkan oleh pahitnya konflik, karena dibesarkan oleh situasi konflik maka mental yang tumbuh dari si anak adalah mental semasa konflik ada kebencian, dendam dan kekerasan yang hadir dalam mental si anak. Hal inilah yang terjadi pada generasi saya, dan mungkin juga terjadi pada generasi anak-anak ini.

Saya masih memandang foto beberapa anak wanita memegang rangkaian bunga tersebut, masih berfikir kemanakah diri saya yang dulu seperti itu? Gadis kecil yang gemar merangkai bunga dan mencintai perdamaian. Sekarang yang ada hanyalah Evha yang benci kepada OPM tetapi juga meragukan komitmen pemerintah daerah Papua. Memang gadis itu masih mencintai perdamaian, tetapi saat ini bukan diungkapkan lewat rangkaian bunga tapi seringkali diungkapkan dengan tulisan yang keras dan terkadang penuh kebencian.

Sebuah kalimat milik Mahatma Gandhi mengkhiri tulisan saya kali ini, “If we are to teach real peace in this world, and if we are to carry on a real war against war, we shall have to begin with the children.” Mari, sediakan ruang yang layak bagi anak-anak Papua untuk tumbuh, jangan sertakan anak-anak Papua dalam konflik ini. Jangan tularkan rasa kebencian kepada mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun