Mohon tunggu...
Amri MujiHastuti
Amri MujiHastuti Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan Sekolah Dasar

Pengajar, Ibu, pemerhati pendidikan anak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemenangan Tanpa Piala

12 Agustus 2023   16:35 Diperbarui: 12 Agustus 2023   16:43 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahrul ingin sekali, sekali saja dalam hidupnya mendapatkan piala. Ibunya adalah seorang guru di sebuah sekolah dasar. Sahrul sering diikutkan lomba mewakili sekolah tempat ibunya bekerja. Hal itu bukan karena Sahrul adalah anak guru, melainkan karena dia dianggap memiliki prasyarat dan kompetensi yang diperlukan untuk masuk dalam kandidat perlombaan. Selama ini Sahrul sudah berusaha maksimal saat lomba mewarnai, menggambar, menulis puisi, maupun deklamasi. Sahrul tak mengerti mengapa di akhir perlombaan tetap saja namanya tak pernah disebutkan sebagai pemenang perlombaan.

"Ibu, kenapa aku tak pernah menang?" tanya Sahrul suatu sore ketika di meja makan.

"Menang apa, Rul? Ibu lihat kau selalu mendapatkan poin saat main game atau melahap cacing-cacing kecil. Itu berarti kau menang mendapat makanan dari cacing yang mati kan? Serius ya Rul, sebaiknya kau kurangi kebiasaan main game!" kata ibu dengan setengah marah.

"Aduh, Ibu. Masudku bukan menang game di hape, aku ingin menang dalam suatu perlombaan dan memboyong sebuah piala kejuaraan!" kata anak berusia 9 tahun itu dengan tak sabaran.

Anton kakak laki-laki Sahrul mengacak-acak rambut adik laki-lakinya yang duduk tepat di sebelahnya.

"Anak bocil, kenapa tidak minta dibelikan piala saja kalau cuma mau dapat piala. Kenapa repot-repot ikut lomba?" tanya Anton menggoda adiknya. Dia juga ingin tahu apa sih keinginan adiknya sebenarnya.

"Ya, aku mau. Tolong belikan aku piala ya, Mas!" pinta Sahrul dengan gembira. Anton tidak menjawab dan melanjutkan makannya.

"Apa serunya beli piala sendiri, Rul?" tanya ayahnya sambil tertawa kecil.

"Ya, karena piala itu kan bagus, Yah? Blink-blink dan meriah dengan pita merah putih. Sahrul suka, pasti keren saat memegangnya." jawab Sahrul yang diakhiri dengan seringaian paling lucu yang membuat keluarganya tertawa menatap keceriaannya membayangkan memegang piala di tangannya.

" Piala itu bentuk penghargaan kepada juara oleh panitia lomba. Ada juga penghargaan untuk diri kita sendiri, Rul." kata ayah pada Sahrul, " misalnya kita meminta diri sendiri untuk bangun pagi dan berangkat tepat waktu ke sekolah, nah, saat kita berhasil melakukannya, kita boleh merasa puas dan bangga serta mempertahankan sikap itu." kata ayah pelan supaya dapat dimengerti putra bungsunya.

"Jadi tidak ada piala, Yah?"

"Piala hanya simbol, Rul. Hal terpenting adalah apa yang kita lakukan dengan benar pada diri kita sendiri, orang lain, dan lingkungan kita" ayah mengakhiri nasehatnya dengan senyuman yang ditanggapi biasa oleh semua yang ada di meja makan. Jelas anggota keluarga yang lain tak mengerti apa serunya tanpa piala.

Selepas makan, Anton kembali ke kamarnya. Dia harus menyiapkan lomba yang akan diikutinya mewakili kampusnya, Sahrul masuk ke kamar kakaknya dan tidur di ranjang kakaknya. Anton membiarkan adiknya karena dia sedang menyelesaikan kumpulan puisi yang akan diikutkan lomba. Sahrul melihat kamar kakaknya yang penuh dengan piala.

"Mas Anton, banyak sekali pialamu!" kata adiknya itu.

"Ambil saja kalau kau mau, Dik. Sana bawa ke kamarmu."

"Tapi ini pialamu, Mas. Aku ingin pialaku sendiri!"

"Kalau sudah kuserahkan padamu, artinya kan jadi milikmu, Bocil. Benarkan?" Anton menatap mata adiknya yang sedang berpikir. Beberapa detik kemudian mata itu mengedip. Sepertinya sudah selesai memutuskan pikirannya.

"Iya juga ya? Oke aku bawa pialanya ke kamarku ya." kata Sahrul dengan nada yang cukup gembira, " Tapi Mas, ini semua tulisannya tingkat smp, trus yang ini tingkat sma, tidak ada ya yang tingkat SD?" tanya Sahrul sambil memegang-megang piala kakaknya.

"Itu, pilih yang warna hijau di belakang itu Dik, itu tingkat SD waktu aku menang lomba pidato bahasa Jawa."

"Tapi aku tak bisa bahasa Jawa, Mas. Kan waktu aku belum lahir keluarga kita sudah pindah ke Jakarta. Aku tak bisa Bahasa jawa. Aku tak mau pialamu!" tukas Sahrul hampir menangis. Anak laki-laki itu lalu keluar dari kamar kakaknya dengan membanting pintu. Anton geleng-geleng dan cepat-cepat mencari ibunya ke dapur untuk melaporkan kelakukan adiknya.

"Ibu, aneh sekali si Sahrul." lapor Anton pada ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.

"Kenapa, Nton?"

"Dia marah-marah soal piala, aku berikan punyaku katanya dia mau yang tingkat SD, aku hanya punya kejuaraan pidato bahasa Jawa dan anak itu bilang dia tak bisa bahasa Jawa lalu merajuk dan membanting pintu!"

"Dia benar, Nton. Kalau tak bisa bahasa Jawa, bagaimana bisa dapat piala kejuaraan lomba bahasa Jawa kan?" komentar ibunya pelan.

" Iya, tapi kenapa dia terobsesi mendapatkan piala. Ibu dan ayah tak pernah menuntut dia harus dapat piala kan?"

"Dia pasti mengagumi kakaknya dan ingin seperti kamu."

"Bagaimana kalau saat Lomba Agustusan aku seting supaya dia dapat piala entah menang atau tidak, kalau perlu aku belikan piala khusus buat Sahrul, aku kan masuk kepanitiaan." Oceh Anton yang mulai terganggu dengan sikap aneh adiknya akhir-akhir ini. Dia juga kasihan pada Sahrul yang sangat menginginkan piala.

"Mas Anton!" teriak Sahrul yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka. Tangannya berkacak pinggang dan menatap marah pada kakaknya.

" Eh, Bocil..." Anton menelan ludah melihat ekspresi galak adiknya.

"Mas Anton serius mau berbuat curang agar aku dapat piala? Asal Mas tahu ya, aku akan belajar berlari kencang untuk memukul air dan berlatih makan kerupuk dengan cepat supaya aku menang karena usahaku sendiri. Mas Anton lihat saja nanti!" kata Sahrul yang setelah selesai mengucapkannya Kembali ke meja makan untuk membantu ibu menyimpan sisa makanan ke lemari dan membereskan gelas yang belum dibereskan.

Anton melihat ibunya yang menatapnya sambal tersenyum.

"Apa sih, Bu?"

"Ibu rasa adikmu baru saja mendapatkan kemenangan tanpa piala."

"Lho kok?"

" Karena seperti kata ayahmu, yang terpenting adalah melakukan hal yang benar. Ngomong-ngomong besok giliranmu membereskan meja makan lho," ibu mengelus Pundak putranya, "Tolong simpan piring-piring ini ke lemari" kata ibu sambal mengelap tangannya yang basah.

"Oke, siap Bu." jawab Anton sambal mengerling, "Apa dia tidak akan kecewa saat tak menang lomba, Bu?"

"Kecewa juga boleh, asal tetap melakukan kekecewaan dengan benar."

"Latihan lagi kan, Bu?"

Ibu tersenyum mengelus rambut putra sulungnya.

Di pelupuk mata Anton membayangkan Sahrul kecil berusaha dalam perlombaan dan melakukannya dengan benar. Baginya adik kecilnya sudah menang walau tanpa piala. Anton akan memberinya banyak cinta dan dukungan apapun hasil lomba 17 Agustus nanti.

Tawangmangu, 12 Agustus 2023

Biodata Singkat

Amri Muji Hastuti

pendidik di sekolah dasar

menyukai dunia pendidikan

dan bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun