Mohon tunggu...
Romeyn Perdana Putra
Romeyn Perdana Putra Mohon Tunggu... Dosen - Keterangan Profil

Peneliti PNS Dosen Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mau "Ngocek" Bencana (Ceritanya)

14 April 2018   12:31 Diperbarui: 14 April 2018   12:42 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sapaan gempa diawal tahun 2018 menyisakan kecemasan warga ibukota akan bencana lebih besar. Posisi masyarakat dalam manajemen risiko bencana tertinggal dalam peran serta aktif mitigasi risiko bencana. 

Hasil survey penulis berbasis online: terhadap skor kinerja badan dan instansi pemerintah terhadap penanggulangan pasca bencana dan rehabilitasi diapresiasi rerata responden pada angka 69 dalam skor maksimal 100 (diolah 18 Januari 2018). 

Politik bencana juga turut menempatkan masyarakat rentan sebagai obyek. Permasalahan lain muncul adalah sejauhmana manusia dalam hal ini masyarakat beradaptasi dan memitigasi bencana, selain upaya penanggulangan risiko struktural. 

Pemerintah dalam Perundangan nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mengkategorikan tiga bencana potensial Indonesia: Alam, Non Alam dan Bencana Sosial. 

Pada sifat pendefinisiannya terdapat perdebatan apakah rangkaian peristiwa tersebut parsial kejadiannya atau berpotensi efek domino. Pada bencana alam gempa, akibat posisi lempeng Indonesia kerap hadir tanpa kemampuan prediksi akurat dan antisipasi teknologi informasi. Manusia hanya dapat membaca peluang dari semesta, data, dan sejarah bencana. 

Hoax melalui media sosial viral mencatut lembaga Klimatologi, dengan prediksi waktu dan kekuatan gempa, sedikit banyak memposisikan masyarakat sebagai korban tanpa upaya. Namun ada potensi turunan bencana yang hadir dalam bentuk serangkaian peristiwa akibat kelalaian aktifitas dan kegiatan manusia. 

Dapat diadaptasi dengan teknologi dan modernisasi tepat guna. Seperti wabah penyakit dan kerusakan akibat degradasi lingkungan bencana antropogen. Bencana non alam, ditahap pra bencana masih dapat diprediksi, dikoreksi dan diminimalisir risikonya. Mitigasi pra bencana gempa dengan tujuan meminimalisir risiko telah ditempuh dengan penguatan kebijakan struktural. 

Mitigasi struktural walau berdampak pada pembiayaan, spesifikasi dan kode etik bangunan tahan gempa sudah wajib diperhitungkan. Mengabaikannya justru akan berdampak akselerasi dari potensi bencana alam, menjadi bencana non alam. 

Pengertian bencana non alam: berawal dari rentetan kegagalan teknologi dan gagalnya modernisasi. Dengan diawali kejadian fenomena alam bertranformasi menjadi bencana non alam. Patut diwaspadai berujung pada bencana sosial. Dimana teror dan konflik sosial mengancam tatanan perilaku masyarakat, sebuah bencana katastropi.  

Tahapan persiapan bencana di negara maju telah didokumentasikan secara apik dalam tayangan televisi Doomsday Prep-er (Preperation-er/para penyiapsiaga hari Bencana). Para hacker bencana di masyarakat makmur tidak begitu saja menyerahkan nasib mereka kepada pihak berwenang bila bencana datang. Apalagi mempercayakan jiwa mereka kepada orang lain. 

Bencana alam hanya dapat diadaptasi, berbeda dengan bencana non alam dan sosial. Ancaman wabah penyakit hingga bencana meletusnya bom nuklir pun sudah mereka antisipasi secara detail dalam rangkaian skenario terburuk (worst case scenario-WCS). Dalam konsep kultur mitigasi individualis, akan sulit diterapkan dalam masyarakat komunal budaya timur Indonesia. 

Ambisi bertahan hidup mereka telah matang akibat perbedaan musim dan cuaca. Berbeda dengan mitigasi bencana berdaya masyarakat komunal dengan dua musim (kering dan hujan). 

Arah pemberdayaan masyarakat dengan adaptasi pegunungan sirkum pasifik dan sirkum mediterania sepatutnya telah beranjak dari manajemen risiko reaktif menuju proaktif dengan pemberdayaan masyarakat. Sisi baik momentum kesejarahan bencana divulgarkan media massa demi menggugah kemandirian dalam menghadapi bencana. 

Antusiasme mitigasi bencana Indonesia secara perlahan, mengarusutama kepada kultur individu, keluarga, komunitas hingga masyarakat. Pemberitaan media dengan laporan "belum ada bantuan dari pemerintah setempat dan atau pusat" masuk ke ruang-ruang publik dengan bingkai keresahan. Disikapi masyarakat dengan rencana aksi individu hingga komunitas. Dalam satu komunitas desa di DI Yogjakarta, telah menerapkan jimpitan bencana di komunitas desanya. 

Beragamnya potensi bencana, kearifan dan pengetahuan lokal/akar rumput (indigenous knowledge) digali kembali berdasarkan keunikan ekosistem bentang lahannya. Seturut dengan penataan kembali rencana tata ruang kawasan masyarakat. Tanpa bermaksud untuk menggali eksotisme masa lalu, menemukan kembali pengalaman dan cerita-cerita kearifan lokal orang tua dan leluhur dalam tanggap bencana dan pra bencana sudah lama masuk dalam kajian akademisi. Walaupun perubahan iklim dan perubahan bentang lahan telah terjadi nyata. 

Pengetahuan lampau tetap signifikan untuk masa kini dan masa datang. Penggalian kembali ini digiatkan dalam konteks memutakhirkan kearifan lokal kontemporer. Berbasiskan pemberdayaan masyarakat serta tidak melupakan fungsi pembangunan dan strategi peningkatan ekonomi. 

Praktik-praktik terbaik dalam mitigasi bencana wabah penyakit di area batang air (bantaran kali) Padang Pariman dikenal kearifan lokal 'ikan larangan'. Tahun 1980 terkenal sebagai kawasan "wc terpanjang di dunia" akibat kebiasaan masyarakatnya membuang hajat di sungai. Padahal batang air digunakan sebagai Mandi Cuci Kakus (MCK), karena pembuatan sanitasi rumah belum dilengkapi kamar mandi dan WC. 

Kebiasaan ini tentu rentan terhadap penyebaran penyakit pencernaan. Dapat dikurangi risikonya melalui pembiakan ikan dikawasan MCK sehingga ikan mampu mengurai limbah alami dan tetap menjadi sumber nafkah bila musim panen ikan tiba. 

Kearifan 'beje' masyarakat suku Dayak Kalimantan dalam menampung air dan sumber budidaya ikan air tawar di kawasan gambut berfaedah untuk mengurangi lepasan air pada tata ruang kesatuan hidrologi gambut. Sehingga bermanfaat pula sebagai sekat bakar dalam kebakaran lahan. Masyarakat Papua dikawasannya mempunyai pakem tersendiri dalam meminum langsung air di sumber alami, yang kini telah dilupakan tergantikan keran.  

Praktik terbaik juga terwujud di masyarakat kultur pegunungan. Berkah meletusnya gunung berapi dengan intensitas periodiknya yang sulit dideteksi, kini telah membentuk masyarakat berketahanan bencana. DIY dengan gunung merapi, Ternate dengan Gunung Gamalama dan Bali dengan Gunung Agung. Bali telah menerapkan teknologi persawahan terasering agar terhindar dari tanah longsor namun tetap bermanfaat dalam elemen estetika pariwisata. 

Banyak praktik lainnya yang menjelaskan bahwa beda lubuk beda ikannya, beda kawasan beda penanggulangannya. Menghadirkan perspektif 'menumpang' pada alam si tuan tanah adalah salah satu kunci meminimkan risiko bencana. Masyarakat bernafaskan "menumpang" pada lingkungan selaras memanfaatkan alam tanpa risiko.

Singkatnya, bila saat Tuhan berkehendak melalui rentetan peristiwa bencana alam, upaya-upaya akar rumput lentur serta arif dalam menghadapi bencana non alam maupun bencana sosial.Yogjakarta 28 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun