Mohon tunggu...
Romeyn Perdana Putra
Romeyn Perdana Putra Mohon Tunggu... Dosen - Keterangan Profil

Peneliti PNS Dosen Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hollywood, Bollywood dan Nollywood (Menuju Film Indonesia: Semrawood)

16 Juni 2015   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon kabarnya sebuah negara penghasil film dunia telah mejadi 3 poros besar. Industri film Hollywood, sebagai senior berpengalaman dan penuh dedikasi kompetensi. Diikuti Poros Bollywood, yang menghasilkan ribuan film fenomenal penuh tarian dan nyanyian India. Terakhir Nollywood, yang merupakan poros baru fim international. Poros perfilman negara Nigeria ini mendesak dominasi film Hongkong, Korea, Jepang dan Thailand. Tapi tahukan anda bahwa negara produsen Film tidak lagi menekankan fungsi “hiburan” dalam memproduksi Film. Hollywood sudah dalam tahap agenda setting dalam memproduksi Film impornya. Kepentingan propaganda dan mind setting. Amerika sudah menerapkan ilmu pengetahuan dan implementasi teknologi , informasi dan komunikasi dalam menyebarkan Film-film produksinya. Lembaga film sudah sinergis mentargetkan propaganda tema filmnya ke seantero dunia.

Jerman (sebagai negara pemuja teori rekayasa dan konspirasi) dengan tenang menyaring terpaan Hollywood dengan kebijakan menunda pemutaran film perdana karena adanya kebijakan untuk mensulihsuarakan (dubbing) film hollywood. Terkadang film amerika baru muncul di bioskop Jerman setelah beberapa tahun sejak premier. Karena bila ingin di dubbing otentik para dubber harus pemain aseli dan belum tentu semua artis hollywood bisa bahasa Jerman. Nah, Jadilah begitu film Hollywood masuk bioskop Jerman film nya sudah basi. Sesuai cerita orang konjen yang menjemput kami (2014).

Indonesia menerima Film Hollywood dengan mendirikan pusat-pusat hiburan bioskop di kota-kota besar nan mudah mengadopsi pengaruh barat. Era Suharto, sinema hollywood mendapat tempat dihati keluarga cendana dengan melimpahkan “mandat” penayangan dan distribusi film kepada Sudwikatmono (dengan jaringan twenty one-21). Sebegitu pentingnya film hollywood untuk dijadikan sebuah bisnis lingkaran elit cendana?.  Jaringan 21 memonopoli dan bisa dikatakan yang menentukan selera pasar pemirsa film Indonesia. Kilau Hollywood memukau dengan sensasi sederhana dari teori komunikasi “teori jarum suntik”. Terbukti beberapa film Hollywood selalu ditayangkan dulu lalu begitu menjadi kontroversial lalu ditarik dari penayangan (lihat kasus film setelah tayang lalu ditarik dari penayangan), bikin penasaran malah.

Terus terang sebagai penikmat Hollywood, saya termasuk yang tersuntik dan ternganga dengan kecanggihan dan kemampuan memukau Hollywood menampilkan ke-adidaya-annya di Film (duluuu...). Tapi itu hanya pengobat rasa terkalahkan nya dari negara-negara Asia (baca Vietnam, Afganishtan dan Korea). Orang lawan TNI adu nembak jitu aja kalah telak jeee......

Maksud dari tulisan saya ini lebih kepada: kemampuan US of A untuk mengkomunikasikan negerinya dengan halus dan mungkin saja tanpa sadar menafikan kewaspadaan. Saya bukan pembenci produk mereka, malah sebaliknya. Pemantik rokok: Zippo, rokok putih: identik dengan koboi dan celana jeans sambil nongkrong di resto-resto cepat saji; adalah apa yang saya lakukan lebih dari separuh hidup. Kekaguman terhadap “mimpi amerika”, menempatkan generasi yang lahir 1970-1980an memiliki kecendrungan untuk menempatkan harta tahta dan wanita adalah ukuran sukses manusia. Padahal sejarah mencatat generasi tersebut berhasil menjatuhkan keluarga yang memperkenalkan mimpi itu.

Penulis tidak mencatat bagaimana penyakit “arab spring” begitu menular diantara negara-negara petro-dollar beberapa tahun lalu. Apakah kesuksesan film berteknologi tinggi ala hollywood berkontribusi terhadap kegerahan pemuda-pemuda timur tengah sana untuk gerah menatap kemapanan dan kepemimpinan. Tudingan ini memang masih memerlukan berbagai studi dan riset berbiaya tinggi.

Maknanya adalah, kita sebagai konsumen seperti tidak memiliki pilihan. Ada kealpaan sistemis untuk memberikan pilihan hiburan bermuatan lokal. Hal yang berbau lokal seperti terlambat hadir, ketika semua orang telah menyematkan arti kata “kampungan” sebagai konotasi tidak modern, norak dan menolak mengadopsi pertumbuhan pembangunan. Pada akhirnya yang dibawa dari kampung harus dibatasi dan tidak lagi eksklusif. Banyak bahasa kehilangan penutur, Lagu-lagu menjadi cengeng plus hambar perjuangan, dongeng putri nan menunggu pangeran penyelamat menguasai ruang-ruang fantasi sehingga pada akhirnya pemuda harapan pemudi menjadi marjinal.

Lalu pertanyaan kita lanjutkan kepada si bintang baru India. Dalam buku “Raising India” yang tak sempat saya khatamkan, (karena membacanya terus bikin cemburu) simpulan sederhananya India selalu menaruh platform sederhana dalam tiap aspek kehidupannya dengan menyemai kearifan lokal dengan menolak pelabelan norak-kampungan dalam konten budayanya. Pada satu kesempatan saya mendapat cerita: bila sebuah film akan diputar di bioskop, maka dengan khidmat penonton diminta berdiri tanpa kecuali dan diperdendangkan Lagu Nasional diikuti oleh pemirsanya (bukan hanya ada dalam ritual upacara tiap senin yang membosankan). Apakah kurang norak-nya bila dulu menyaksikan romantisme film india adalah berlari-larian ditaman sambil menari menyanyi dan klimaksnya bergelayutan di pohon atau tiang taman. Dibandingkan penggambaran percintaan barat dengan ciuman dan pandangan mata binal mengarah kepada perzinahan tanpa komitmen.

Tulisan ini juga bukan untuk menyanjung kehebatan saudara timur kita India, di Benua Afrika Negara Nigeria juga telah hadir menampilkan diri tanpa malu-malu dengan ke-norak-an yang mereka miliki. Walaupun tema cerita film Nollywood tidak akan beda jauh dengan Holly dan Bolly, namun Nigeria telah diakui sebagai negara dalam tiga besar produsen Industri Film dunia (angkanya saya ada tapi lupa ada dimana, ntar saya cari....). Saya tidak paham bahasanya Nigeria namun dari judul-judul yang ada di Youtube tak lepas dari mainstream cerita trejik anak cucu adam.

Kembali ke negeri kita, fenomenalnya Petualangan Sherina, AADC, Ayat-Ayat Cinta, Negeri 5 Menara, dan terakhir Ainun Habibie menarik pemirsa satu keluarga untuk memenuhi kursi studio bioskop. Produksi film nasional mengalami fluktuasi kesuksesan dengan menyerahkan sepenuhnya pada kemampuan kreatif pasar untuk membaca selera nya. Nigeria dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil mampu mendominasi warganya dengan konten lokal. Konten lokal yang bila ditafsirkan dalam bahasa kita dengan kata kampungan. Bukannya Rhoma Irama, Barry Prima, Ratno Timoer dan kawan-kawan hingga kini menjadi ikon pasar pirsawan film suburban?. Namun film-film mereka menjadi hijau lestari tanpa adanya muncul suksesi pelakon domestik yang sebanding. Amitabh Bachchan dkk tergantikan oleh Shahrukh Khan dan generasinya. Film nasional menjadi semrawood dalam keberlanjutan, layaknya kita susah untuk memaknai sustainability.....Semrawood.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun