Mohon tunggu...
Romeyn Perdana Putra
Romeyn Perdana Putra Mohon Tunggu... Dosen - Keterangan Profil

Peneliti PNS Dosen Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menginap di Indonesia (Hotel Tradisional)

21 Mei 2015   20:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


MENGINAP DI INDONESIA

(sebuah studi kasus karakter kebangsaan dalam perspektif kebudayaan, perhotelan dan pariwisata)



Permasalahan

Awal dibentuknya National Hotel Institut (NHI-Bandung) di tahun 1950-1960an, adalah untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja siap pakai untuk bisnis perhotelan dan pariwisata di Indonesia. Jurusan yang tersedia pun mengadopsi dan berkiblat pada peradaban kebudayaan eropa. Dalam hal ini, tenaga pengajar, Kurikulum dan alat praktikum berstandarkan Eropa. Dari mengajarkan penggunaan sendok garpu dan printilannya, gelas yang beraneka ragam dan standar minuman anggur menjadi bahan ajar. Kebutuhan dan standar hidup budaya barat menjadi patokan gaya hidup.

Dan memang teknologi, peradaban dan International Business Traveler didominasi oleh barat. Hotel dan pariwisata ditekankan untuk menyambut mat saleh/bule/warga asing yang membawa standar hidup dan kebutuhan hidupnya. Hotel, standar pelayanan dan bahasa pengumuman wajib menggunakan bahasa barat. Itu berjalan hingga 20 tahu kemudian.

Di tahun 1990, mulai muncul hotel dan market pariwisata dari Jepang, Korea dan Tiongkok. Terbukti beberapa nama hotel chain management, beraliran jepang muncul dan menjadi MNC (Multi National Corporation). Menginap di Indonesia dengan rasa Perancis, Amerika, Inggris, Spanyol dan Jepang atau Asia Timur menjadi pilihan yang disediakan oleh negara kita.

Trend yang berlaku diera awal tahun 2000-an. Hotel Chain Management dari negara asing mulai mengkombinasikan antara standar mereka dipadupadan dengan ornamen-ornamen kebudayaan lokal. Banyak kita temui hotel di Bali menggunakan arsitektur dan feng shui dengan pakem-pakem budaya tempatan. Di Bali, kita temui hotel yang tidak lebih dari pohon kelapa tertinggi (lebih dari 5 lantai). Patung-patun, dekorasi dan desain interior tidak melulu menjiplak kesan bahwa para tamu itu masih berada di kampung mereka.

Menginap di Indonesia, memang masih belum sepenuhnya menjamu para tamu dengan rasa khas aseli Indonesia. Seperti kita punya rumah, tapi kita ganti kamar tidur kita , kasur kita, kamar mandi kita, dan alat makan kita dengan keinginan tamu kita. Adalah suatu yang di sunahkan untuk menjamu para tamu dengan kebaikan hati tuan rumah. Apalagi tamu yang mendatangkan keuntungan dan secara ekonomi finansial membawa keberuntungan (dalam tanda kutip) kepada sang tuan rumah.

Kebudayaan, teknologi pangan kita, cara kita berhadas, menggunakan kamar mandi memang jauh berbeda dengan orang asing. Kita terbiasa dengan menggunakan sungai untuk MCK. Hingga salah satu WC terpanjang di dunia adalah sebuah pantai di Kota Pariaman (demikian dulu eks bupati nya/era Soeharto- mengeluhkan karakter warganya yang tiap pagi buang hajat disepanjang bibir pantai).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun