Mohon tunggu...
Romeyn Perdana Putra
Romeyn Perdana Putra Mohon Tunggu... Dosen - Keterangan Profil

Peneliti PNS Dosen Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

7 Mitos Pendidikan Anak Nan-Menyesatkan

29 Desember 2014   21:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:13 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419853447612208145

Kisah si tangan kanan yang selalu berbuat untuk hal-hal yang baik. Dan si tangan kiri sebagai tangan "cebok". Memilah tangan untuk hal-hal positif dan membedakan tangan yang satu lagi untuk hal-hal kurang baik. Suatu hal yang sangat baik memang mengajarkan tangan kanan untuk tangan bersalaman. Namun perlu dikaji kembali apakah tangan kiri harus di-"marjinal"-kan. Mungkin tangan kiri juga sebaiknya sesekali diajarkan sebagai tangan untuk menepuk pundak kanan seseorang bila saat bersalaman.

#6 Malin Kundang orang tuanya durhaka

Mendiang AA Navis pernah menggugat Malin Kundang dengan satire yang kontroversial, Ibu malin kundang durhaka begitu katanya. Karena sang ibu mengharapkan anaknya untuk membawa harta berlimpah dan kesuksesan sepulangnya dirantau orang. Konsep merantau menjadi pola pikir yang baku, bahwa pulang kampung dengan simbol-simbol kemewahan dan kesuksesan. Semangat juang untuk sukses saat ini di stereotype-kan dengan memiliki mobil, rumah dan perhiasan mewah ala orang kota. Sehingga sulit untuk kita saat ini mensosialisasikan penggunaan "Transport Publik" (contohnya), karena naik angkot dan bis adalah kendaraan orang tidak sukses. Sukses dan kaya bukan menjadi tujuan, tapi proses menjadi manusia harus lebih ditekankan.

#7 Menggunakan Bahasa adat dan tradisi menjadi "Kampungan"

Kata kampungan, norak dan ndeso telah berubah menjadi kata alay-Kamseupay, jadul dan katro. Kegalauan orang tua saat ini adalah menjelaskan tradisi lokal dan yang diajarkan oleh orang tua mereka menjadi sesuatu yang wajib mereka ketahui sebagai kearifan lokal budaya. Jaman menuntut anak muda untuk berbahasa gaul, metropolis dan terbarukan. Anak muda banyak yang sudah kehilangan kemampuan untuk berbahasa nenek leluhurnya. Pada saat ini anak-anak dibawah umur 20 tahun sudah kehilangan selera untuk menjadi penutur bahasa daerahnya. Selain pelajaran bahasa daerah dipaksakan, materi dan substansi pembelajarannya sendiri tidak menarik bagi anak-anak. Menyajikan muatan kampungan menjadi materi yang happening baru dan terbarukan nir-kamseupay. Label kampungan menjadi mantra hilangnya identitas kampung, masyarakat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun