"Ah, gitu aja lo sensitif, baperrr!" Omongan ini pernah saya dengar di sela obrolan antar teman. Entah kenapa, mendengarnya saya jadi semakin sensi. "Lah, emang iya gua baper, mau apa lo?" saya pun berteriak pada teman saya itu (dalam hati).Â
Lalu setelah beberapa jam, saya pun berpikir bahwa sebenarnya tidak perlu bereaksi berlebihan atau membebani pikiran karena bisa jadi hal yang dipermasalahkan tersebut sepele yang cara meresponnya lebih elok apabila kita meluangkan waktu sejenak untuk merenungkan.Â
Hal yang sama juga berlaku saat kita bertukar pesan dan berkomentar melalui Messenger, WhatsApp, Line, Telegram, Instagram, Twitter, dan teman-temannya. Sometimes fast reply is useless except for exchanging good news.
Lalu mengenai sebenarnya apakah bersikap sensitif itu penting atau tidak, mungkin kita perlu melihat konteksnya. Misalnya apabila ada perlakuan secara verbal atau fisik yang tidak sepantasnya, maka tentu diperlukan kepekaan untuk segera menyikapi.Â
Demikian juga apabila ada sesuatu yang meresahkan dan diprediksi membawa dampak  buruk, perlu untuk segera diantisipasi dengan memilih narasi yang tepat. Namun, dalam konteks lain, sensitif berlebihan di jaman sekarang justru menimbulkan perasaan yang tidak nyaman, kegelisahan, keresahan, dan kerenggangan hubungan.
Misalnya seperti fenomena warga Twitter yang sangat responsif menanggapi cuitan terhadap sebuah isu, penghakiman terhadap seorang public figure, atau fan war antar fandom. Perangnya 'seru' sekali dan masing-masing seolah mengerti luar-dalam, membela habis-habisan dan berpikir bahwa pedapatnya benar.Â
Hal ini bisa jadi disebabkan oleh sensitifitas berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap penting. Luar biasanya lagi, meskipun perangnya di dunia maya, namun kesalnya sampai ke ubun-ubun di dunia nyata!Â
Atau contoh lain ketika menerima respon yang tidak menyenangkan melalui media pertukaran pesan dalam konteks profesional. Seringkali kita terlalu cepat menyimpulkan, membiarkan ruang untuk merasakan sensitifitas yang berlebihan, sehingga gagal melihat dari perspektif yang lebih bijak.Â
Ibarat persaingan antara angel vs demon, demon mendominasi dan menang, lalu mengirim pesan ke otak 'wah, dia harus denger kata gua!'.
Eits...tapi bukan kita berarti tidak boleh ikut serta dalam interaksi dalam media sosial, bertukar  pesan, atau menanggapi hal yang dilisankan oleh orang lain. Menjadi sensitif itu penting sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama, respon terhadap hal yang benar dan yang salah yang prosesnya melibatkan kemampuan berpikir kritis untuk memilah informasi.Â
Namun, ibarat melihat sebuah kolam, kadang kita perlu mengamati dari atas permukaannya terlebih dahulu ketimbang ikutserta dalam gelombang dan riak di dalamnya; sebelum memutuskan untuk bersikap, amati apa yang terjadi, mengapa, apakah hal tersebut penting untuk ditanggapi, dan sebagainya.Â