Mohon tunggu...
Eva Rosita
Eva Rosita Mohon Tunggu... Lainnya - Art and Education

Art, Linguistics, and Education

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Multiple Intelegences" dalam Galaunya Kebijakan Pendidikan

25 Maret 2017   18:02 Diperbarui: 26 Maret 2017   05:00 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dulu nilai matematika nya berapa?" tanya seorang rekan di sebuah event. Saya pun menjawab bahwa nilai mata pelajaran eksak saya tidak bagus. Kami kemudian berbincang tentang pernyataan seorang narasumber yang mengatakan bahwa untuk sukses harus jago berhitung. Puluhan tahun lalu di masa penjajahan, mungkin orangtua mendokrin anaknya agar pandai di bidang tersebut supaya bisa menaikkan derajat keluarga. Namun di jaman sekarang, mereka yang memiliki keterampilan hidup justru lebih bisa beradaptasi menghadapi berubahan. Terbukti dari penghasilan mereka yang unggul di bidang  tertentu seperti olahraga, musik, seni, bisnis, desain, umumnya lebih tinggi dari langganan peringkat kelas saat di sekolah.

So, apakah artinya matematika dan teman-temannya tidak penting? Not exactly, karena esensi penting dari mata pelajaran di sekolah adalah mengasah dan melatih kemampuan berpikir, menganalisa, dan menyelesaikan masalah. Yang kurang tepat adalah persepsi dari sebagian masyarakat, sekolah, dan orangtua yang menganggap bahwa setiap nilai merupakan segala-galanya. 

Saat Howard Gardner memperkenalkan teori Multiple Intelligences, dunia pendidikan seakan mendapatkan pencerahan bahwa kecerdasan setiap orang beragam sesuai dengan minat dan bakat. Setiap anak berharga dan cerdas di liganya. Talent-talent penyanyi, olahragawan, penari, koki, dan sebagainya bermunculan dan mendapatkan perhatian yang sama seperti yang memiliki bakat belajar menonjol di bidang edukasi formal.

Lalu, mengapa saat ini kecerdasan seorang anak masih diukur dari nilai Ujian Nasional? Hal ini tentu kontradiktif dengan teori Gardner dan menjadikan para pelajar menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk mempertajam kemampuan akademis. Demi mencapai nilai yang tinggi, mereka memiliki jadwal tidak kalah padatnya dengan pekerja kantoran. Belum lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat ujian yang dilakukan berbagai oknum. Seiring pergantian kebijakan di bidang pendidikan, alangkah lebih baik jika lebih mengedepankan kualitas ketimbang score oriented. 

Menyeimbangkan ekspektasi pemerintah dengan pendidikan yang ramah anak ini menjadi tantangan bagi sekolah. Peran guru-guru yang memahami psikologi anak sangat diperlukan untuk membimbing mereka agar bisa belajar dan berkembang di bidangnya masing-masing. 

Langkah yang bisa ditempuh adalah dengan mengajarkan how to learn, menanamkan mindset positif bahwa belajar itu mudah dan menyenangkan, menggunaan mind map, menetapkan target dan memiliki cara-cara pencapaian, serta menciptakan suasana belajar yang nyaman dan kondusif dapat diterapkan di sekolah. Di samping itu, para pelajar juga diajak untuk mengetahui minat dan bakat mereka sehingga bisa memperdalamnya sejak dini. Dengan demikian, keseimbangan dalam pendidikan bisa tercipta di masa peralihan pendidikan di Indonesia pada saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun