Mohon tunggu...
Everd Daniel
Everd Daniel Mohon Tunggu... lainnya -

Credo intelektual semestinya tumbuh dan besar bersama huruf dan hidupnya dihabiskan untuk bertemu dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Demokrasi Pendidikan

2 Oktober 2013   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber Gambar: chai526.blogspot.com

Fenomena pendidikan diakui sebagai komoditas penting dalam proses pengembangan psikologis serta sarana aktualisasi diri bagi setiap individu. Kehadiran pendidikan tentunya sangat relevan dengan persoalan-persoalan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sudah seharusnya makna pendidikan ditinggikan sebagai sebuah pencerdasan publik yang luhur. Akhir-akhir ini diberbagai media dan surat kabar, publik ramai memperbincangkan slogan “wajib belajar”. Tentunya maksud baik pemerintah ini belum secara utuh disambut baik oleh publik khususnya pelajar serta silang argumen yang terjadi antar masyarakat dan pemerhati pendidikan.

Indonesia secara serius mengimplementasikan program wajib belajar yang tertuang melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 tahun 2008 Pasal 1 ayat (1) yang berisi “Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah”. Disamping itu pemerintah juga ingin menyukseskan “Sistem Pendidikan Nasional” yang termaktub dalam Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Amanat konstitusi tersebut memiliki haluan pencerdasan publik dalam meningkatkan sistem ketahanan pendidikan nasional sekaligus sebagai pilar pembangunan bangsa.

Program pemerintah tersebut melahirkan suatu pandangan dilematis bahwa dalam proses belajar-mengajar, status seorang guru hanya memiliki tanggung jawab dalam hal memelihara dan memperbaiki tatanan sosial sedangkan murid berperan lebih subyektif untuk mengatasi masalahnya sendiri dalam proses belajar secara mandiri. Artinya pelajar ditempatkan sebagai basis atau subyek dari pembuktian benar atau tidaknya klaim-klaim pengetahuan. Model tersebut mampu mendorong lahirnya tindakan memahami konsekuensi emosional serta apa esensidan tujuan dari proses belajar.

Filosofi kaum liberal pendidikan meyakini bahwa konsekuensi-konsekuensi emosional tidak mungkin dialami secara kolektif serta sekolah semestinya dijalankan menurut keperluan kecerdasan eksperimental (kecerdasan ilmiah) sebagaimana diterapkan pada pemecahan masalah-masalah sosial. Sudah seharusnya sekolah dijadikan sebagai wadah penyelidikan kritis dengan dalih menguji kompetensi personal murid. Dalam konteks ini, Indonesia dinilai mulai kentara menganut gaya pendidikan liberal dalam sistem pendidikannya.

Program jam wajib belajar yang akan diujicoba Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bulan Oktober 2013 diragukan akan berhasil. Banyak pihak yang merasa bahwa konsep yang dirancang oleh pemerintah akan menuai kontroversi dan sukar untuk diterapkan. Alasan tersebut telah dibuktikan dengan reaksi para pelajar yang menyebutkan program tersebut merupakan pilihan yang sulit bagi mereka. Seperti salah seorang siswi kelas 2 SMA di Jakarta Selatan menuturkan bahwa Ia tak setuju jika jam wajib belajar sama sekali tidak memperbolehkan pelajar untuk keluar rumah pada jam tertentu. Namun, ia setuju jika pengawasan diserahkan kepada orangtua. Gaya liberal pada tataran pendidikan yang hendak dicanangkan harus berdasarkan pendekatan yang jelas dan tepat agar di sisi lain tidak membawa beban moral dan psikis baru bagi para pelajar kita.

Pendekatan yang dimaksud adalah sosialisasi serta pemberdayaan siswa lebih aktif (student center learning). Faktor pembiasaan tersebut dapat mengoptimalkan daya dukung mental dan moral untuk dapat tumbuh mandiri dalam lingkungan yang efisien serta iklim kompetisi yang sehat. Pada periode tertentu perlu diberikan kuesioner serta tanggapan reaktif dari pelajar apakah jalan tengah yang baik bagi tumbuh kembangnya. Metode eksperimentasi melalui angka (kualitatif) perlu dilakukan agar pemerintah dapat merumuskan kembali gaya pendidikan yang proporsional yang tentunya berbasis pada data primer. Kesimpulannya walau memakai metode filosofi liberal pendidikan, Indonesia masih butuh banyak waktu untuk menyukseskan jargon wajib belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun