Mohon tunggu...
Evelyn Ridha Manalu
Evelyn Ridha Manalu Mohon Tunggu... Psikolog - Pemelajar Hidup

Hidup adalah Anugrah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menjadi Viral, Kala Hujatan Menjadi Keuntungan

20 Juli 2021   08:16 Diperbarui: 20 Juli 2021   08:19 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Guys, si Cadel makin terkenal masuk TV guys. Berkat hujatan netizen. Makasih netizen atas hujatannya. Kalau kalian sudah dimana? Masih di rumah ya, aku sudah di TV." -Denise Chaliesta-

Sungguh manusia adalah makhluk yang unik. Bagi sebagian besar orang, hujatan adalah hal yang dapat memberikan rasa tidak nyaman dan menghancurkan. Namun bagi sebagian orang lagi, hujatan berubah menjadi keuntungan secara materi dan ketenaran. Denise Chaliesta adalah salah satu individu yang berhasil memanfaatkan hujatan netizen untuk melambungkan namanya. Demikian juga dengan Rahmawati Kekeyi, Cimoy Montok, dan Nurrani Iqbaal.

Hujatan sebagai Produk Ego yang Belum Terasah

Media sosial akhirnya tak mengenal batas ruang dan waktu. Setiap individu pun memiliki kesempatan yang sama untuk menuangkan pikiran dan gagasannya. Namun, seringkali menjadi lupa batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Baik secara etika moral maupun hukum.

Netizen sebagai pengguna aktif internet banyak memberi sumbangsih dalam aktivitas media sosial, terutama dalam memberikan komentar di media sosial. Mulai dari yang wajar sampai tidak wajar. Sopan sampai tidak sopan. Bahkan tidak jarang, netizen pun mengeluarkan komentar-komentar yang bersifat hujatan, hinaan, atau makian terhadap sebuah akun yang bahkan tidak mereka kenal secara pribadi. 

Mengapa?

Netizen adalah individu, yang menurut Freud setiap individu memiliki struktur kepribadian id, ego, dan superego. 

Id merupakan struktur kepribadian yang berisi insting-insting sebagai sumber segala dorongan (termasuk dorongan seksual dan agresi) yang harus segera dipenuhi. Prinsipnya adalah mencari rasa puas dan menghindari rasa sakit. Jadi, id tidak mengindahkan etika, moral, akal sehat, atau logika.

Sebaliknya superego menaruh perhatian penuh pada etika, moral, dan kebaikan. Ia berfungsi mengendalikan individu agar sejalan dengan lingkungan, perilaku yang sesuai etika dan moral, dan sejenisnya. Dengan kata lain, superego memastikan dorongan seksual dan agresi dari id dapat dipenuhi sesuai dengan moral dan etika di masyarakat.

Egolah yang berfungsi untuk membuat keputusan-keputusan bagaimana dorongan id dapat dipuaskan sesuai dengan tuntutan superego. Prinsip ego adalah kenyataan. 

Namun pada kenyataannya, ego tidak selalu berhasil untuk memuaskan id sesuai dengan tuntutan superego. Hal ini mengakibatkan ego mengalami kecemasan. 

Kecemasan ini menjadi sinyal bagi ego agar melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan tersebut. Inilah yang disebut dengan mekanisme pertahanan diri.

Ketika netizen melihat sebuah postingan yang membuatnya tidak nyaman, dorongan agresi yang ada di dalam dirinya muncul untuk segera dipenuhi. 

Sesuai dengan prinsip id, dorongan ini harus segera direalisasikan tanpa memperdulikan aturan, norma, atau etika. Ini diperlukan untuk menghilangkan rasa ketidaknyamanan tersebut. 

Pada dasarnya superego mengetahui bahwa perilaku agresi adalah tindakan yang tidak sesuai dengan tuntutan. 

Namun, ego kurang terasah untuk membuat keputusan bagaimana memuaskan dorongan itu sesuai dengan tuntutan norma yang ada di lingkungan masyarakat. Akhirnya salah satu perilaku yang keluar adalah menghujat, menghina, dan memaki sang pembuat postingan.

Makin Dihujat, Makin Terbang 

B. F Skinner mengemukakan bahwa tingkah laku bukan hanya sekedar respon stimulus. Namun, tindakan yang disengaja (operant). Tingkah laku muncul ketika ada kejadian yang mendahului (antecendent) dan konsekuensi setelah perilaku itu muncul (consequences). 

Prinsip ini digambarkan sebagai A (antecendent) - B (behavior) - C (consequences). Jadi, tingkah laku dapat berubah jika antecendent dan atau consequences diubah. 

Lebih lanjut, Skinner mengatakan bahwa consequences memberi dampak yang sangat besar apakah perilaku seseorang akan berulang di masa depan.

Demikian lah Denise Chariesta dan yang lainnya akhirnya mampu memanfaatkan hujatan, hinaan, dan makian netizen menjadi sumber cuan dan ketenaran buat mereka. 

Ketika mereka menerima hujatan (antecendent), mereka memunculkan perilaku masa bodoh (behavior). Bahkan mereka beberapa kali membalas serangan netizen tersebut dengan sikap angkuh mereka (behavior). Keadaan semakin 'panas'. Berbagai media massa seakan mendapat bahan 'gorengan' baru. 

Konsekuensinya (consequences), media massa mulai mengerubungi mereka. Diundang ke berbagai acara baik stasiun TV maupun digital. Lampu sorot mengarah kepada mereka, cuan pun mengalir. 

Tentu hal tersebut menyenangkan. Maka, perilaku pun berulang selama keadaan tersebut masih menguntungkan bagi mereka.

Lalu, bagaimana jika perilaku tersebut semakin meresahkan? Adakah yang bisa kita lakukan? Ada, diantaranya:

  • Mengasah ego kita agar tetap dapat melakukan fungsinya. Ketika ada berita yang membuat kita merasa tidak nyaman, berhenti lah sejenak. Biarkan ego melihat kenyataan secara logis sehingga ego dapat mengambil keputusan bagaimana ketidaknyamanan kita dapat dihilangkan dengan cara yang lebih beretika. Misalnya: menekan tombol unfollow sumber-sumber berita terkait, menjaga jarak dengan media sosial yang tidak penting, atau memperbanyak kegiatan di dunia nyata.
  • Lingkup yang lebih luas, melakukan Negative Punishment terhadap individu-individu tersebut. Caranya dengan mengambil konsekuensi yang menyebabkan perilaku tersebut berulang. Misalnya: mengambil lampu sorot dari mereka sehingga cuan pun tidak didapatkan lagi. Jika ini terjadi, perilaku yang dimunculkan tersebut diharapkan juga akan hilang. 

Mari bersama-sama bermedia sosial dengan bahagia dan positif.

Referensi

Hall, Calvin S. dan Lindzey Gardner. Dr. A. Supratiknya (editor). 1993. Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Editor: Dr. A. Supratiknya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Dalam Skripsi Celeste Urmeneta. 2008. Diakses pada 9 Juli 2021 dari http://www.repisitory.usd.ac.id/27883

Pervin, Lawrance A. dan John, Oliver P. 1997. Personality: Theory and Research, 7th edition. John Wiley & Sons, In. Dalam Skripsi Celeste Urmeneta. 2008. Diakses pada 9 Juli 2021 dari http://www.repisitory.usd.ac.id/27883

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun