Mohon tunggu...
Evelyn Gabriella Suliantoro
Evelyn Gabriella Suliantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Seorang gadis penyuka matcha dan senja Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pacar Baru Unlocked : Cinta Belajar

29 Januari 2023   20:32 Diperbarui: 29 Januari 2023   20:38 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siapa yang di sini hobinya belajar?"
Bayangkan jika pertanyaan itu dilontarkan oleh guru di depan kelas, kira-kira berapa banyak murid yang akan mengangkat tangan? Lalu, coba bandingkan dengan pertanyaan, "Siapa saja yang hobinya scrolling medsos?". Tentu saja, pertanyaan kedua pasti mendapatkan polling lebih banyak dibanding yang pertama.

Banyak orang membayangkan belajar sebagai proses yang membosankan. Duduk berjam-jam kencan dengan buku, pacaran dengan rumus dan hapalan, PDKT dengan tugas dan ujian, dan masih banyak hal serupa yang lebih seram daripada dikejar-kejar piutang. Eits tapi, apakah belajar semenyeramkan itu?

Mari kita flashback sejenak. Saat kita masih balita, kita sudah mengalami proses belajar. Yup, belajar berjalan, belajar berbicara, belajar hal-hal baru di sekitar kita seperti warna, bentuk, tekstur, dan lainnya. Bayangkan, jika orangtua kita terlalu memanjakan kita untuk tidak mengalami proses belajar itu sendiri. Mungkin, kita yang sekarang masih belum fasih mengeja huruf alfabet. Saat kita remaja pun, kita juga semakin mendalami makna belajar sebagai konsumsi sehari-hari. Contohnya, bagaimana respon kita ketika berhadapan dengan lawan bicara yang menyebalkan dan banyak gaya padahal tidak pintar hukum newton dan kawan-kawannya, bagaimana tanggung jawab kita diuji dalam sebuah organisasi, bagaimana kedewasaan kita terbentuk setelah melalui sekian episode kisah patah hati dan barisan para mantan.

Ada sebuah kutipan yang mengatakan, "Jangan pernah berhenti belajar karena hidup tidak pernah berhenti mengajarkan."
Kalau begitu, apakah hidup melulu soal belajar?

Belajar dalam hidup tidak hanya dalam konteks belajar untuk mendapatkan tetapi juga belajar untuk melepaskan. Sama halnya ketika seorang remaja ingin memulai sebuah hubungan baru, ia harus move on dari hubungannya yang lama dan memahami bahwa setiap orang memiliki masanya masing-masing. Hidup pun begitu. Itulah mengapa ada istilah "Unlearn-Relearn". Pasti istilah ini masih lumayan asing di telinga kita karena tidak se-booming kpop dan kawan-kawannya, bukan? Oleh karena itu, mari kita sama-sama menyelam lebih dalam ke dalam topik ini. Seperti kata Dory, "just keep swimming, just keep swimming".

Menurut buku Unlearn yang ditulis oleh Barry O'Reilly tahun 2018, unlearn-relearn adalah proses melepaskan dan membentuk ulang pola berpikir di masa lalu yang sempat efektif namun sekarang sudah tidak relevan bahkan menghambat kesuksesan kita.

Kita tidak bisa terus terpaku pada metode-metode sama untuk menghadapi situasi yang berbeda. Metode lama itu bisa kita jadikan pelajaran sekaligus pengalaman, tetapi tidak untuk kita gunakan ke depan. Tidak cukup hanya sampai unlearn, kita sebagai manusia pembelajar hendaknya selalu haus akan ilmu. Itu kenapa, unlearn disini selalu berdampingan dengan kekasihnya, relearn.

Setelah kita belajar dari pengalaman dengan meng-unlearn nih bahasa kerennya, jangan sampai kita lupa untuk me-relearn sesuatu yang relevan entah itu strategi, metode, pola pikir, ide, dan perspektif baru.

Tunggu dulu, ternyata ada pihak ketiga yang berpartisipasi loh. Proses unlearn-relearn menggandeng breakthrough dimana kebiasaan lama kita diubah dengan kebiasaan baru yang ditemukan dari proses relearn. Alhasil, unlearn-relearn-breakthrough merupakan serangkaian cycle yang saling berkesinambungan dan akan terus terjadi dalam hidup kita.

Di dalam proses relearn, kita butuh re- yang lain sebagai pelengkap yaitu rethinking. Sama halnya ketika kita membeli bumbu penyedap tetapi lupa memberi garam, rasa masakan seperti kurang mantap, bukan? Rethinking adalah proses meragukan apa yang telah diketahui dengan rasa ingin tahu dan perbaharuan pemikiran. Ada empat hal yang dibutuhkan dalam proses rethinking yaitu humility, doubt, curiosity, dan discovery. Start yang baik untuk seorang pelari adalah di garis start, bukan di garis finish. Begitu pula dengan rethinking, startnya tentu dengan kerendahan hati untuk menyadari bahwa masih banyak hal-hal yang belum atau kurang kita ketahui dan terbuka untuk segala masukan. Humility tidak akan menghasilkan buah positif apabila tidak disertai dengan dorongan untuk membuka pintu keraguan (doubt) dan rasa ingin tahu (curiosity) sebagai kunci untuk menemukan sebuah discovery.

Rethinking ini menjadi sumber jawaban kenapa seorang ilmuwan dalam bekerja tidak hanya berhenti pada pengujian hipotesis tetapi terus berlanjut pada eksperimen untuk menemukan sebuah kebenaran. Mereka tidak menjadikan ide sebagai identitas diri. Malahan, mereka sengaja mengelilingi diri dengan orang-orang yang kontra dengan ide mereka untuk mempertajam penemuan. Seperti bangunan yang apabila tidak tahan badai akan cepat hancur, begitu pula ide.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun