Mohon tunggu...
Evellyn Verity Mesak
Evellyn Verity Mesak Mohon Tunggu... Bankir - evellyn.verity@gmail.com | Entusias Data, Statistik, dan Keuangan

Evellyn Verity Mesak adalah lulusan Matematika ITB tahun 2016. Saat ini bekerja sebagai Financial Analyst di salah satu bank asing di Jakarta. Financial Market Enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mencegah Money Rush: Bagaimana Bersikap "Normal" Dapat Menyelamatkan Perbankan Kita

11 April 2020   13:12 Diperbarui: 11 April 2020   13:30 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Meskipun perbankan merupakan salah satu sektor usaha yang sangat berakar dalam kehidupan masyarakat, perbankan merupakan salah satu usaha yang paling tidak dimengerti oleh masyarakat awam. Secara sederhana, bank melakukan sistem bisnis yang dikenal dengan nama fractional reserve banking. Fractional-reserve banking berarti dana pihak ketiga (atau mudahnya uang masyarakat) yang disimpan di bank tidak akan sepenuhnya disimpan oleh bank, melainkan didistribusikan kepada pihak lain dalam bentuk pinjaman, sehingga bank akan mendapatkan bunga dari pinjaman tersebut dan membagikan sebagian bunga kepada pihak yang menyimpan uang.

Contohnya begini: Seorang nasabah tuan A menyimpan 10 juta rupiah di bank. Bank akan menyimpan satu juta rupiah dari dana Tuan A sebagai cadangan, dan memberikan pinjaman kepada Tuan B sebesar 9 juta rupiah. Tetapi tentu saja Tuan A dapat sewaktu-waktu menarik uangnya sebesar 10 juta rupiah. Jika hal ini terjadi, bank akan menggunakan cadangan dari nasabah lain agar Tuan A dapat menarik uangnya. 

Hal ini diatur sedemikian rupa oleh sistem perbankan sehingga nasabah dapat menarik uang sesuai kebutuhannya meskipun ada sebagian uang nasabah yang didistribusikan sebagai pinjaman. Inilah yang disebut likuiditas perbankan,yaitu kemampuan bank untuk memenuhi kebutuhan penarikan uang nasabahnya. 

Lalu, perlu diketahui juga bahwa tidak 100% cadangan dana nasabah disimpan dalam bentuk cash. Perbankan rata-rata memiliki satu unit usaha bernama treasury yang tugasnya mengelola cadangan dana tersebut. Treasury akan menggunakan sebagian cadangan dana tersebut untuk membeli berbagai instrumen keuangan seperti saham dan obligasi sehingga bank menghasilkan keuntungan dari cadangan dana tersebut. 

Lalu bagaimana jika ada nasabah yang tiba-tiba ingin menarik dana simpanannya dalam jumlah besar dan bank sedang tidak memiliki cukup cadangan? Dalam kasus seperti ini, bank biasanya mencari dana di pasar uang. Artinya, bank dapat meminjam dari bank lain yang memiliki kelebihan cadangan ataupun institusi dana kelolaan (reksadana pasar uang), tentunya bank harus membayar bunga kepada pihak pemberi pinjaman. 

Dalam kondisi normal, sistem keuangan seperti ini dapat berjalan dengan baik, makanya Anda dan Saya dapat mengambil uang kita di bank kapanpun sesuai kebutuhan. Tetapi dalam keadaan krisis atau panik, nasabah perbankan sering kali mengambil uang mereka dalam jumlah besar secara bersamaan. Hal inilah yang disebut money rush dan kita akan melihat kenapa money rush dapat menyebabkan risiko sistemik bagi perbankan. 

Bagaimana hal tersebut dapat terjadi kurang lebih seperti ini: banyak nasabah panik dan menarik uangnya secara besar-besaran dari suatu bank, katakanlah Bank X. Bank X, yang tidak memiliki cadangan yang cukup kemudian terpaksa melakukan beberapa hal seperti:

  1. Meminjam dana dari pasar uang
  2. Menjual aset-aset yang dimilikinya secara cepat (dan biasanya pada harga murah, menyebabkan bank rugi)
  3. Menggunakan sebagian modal bank untuk memenuhi permintaan penarikan dana nasabah.

Jika hal-hal ini sudah dilakukan, namun masih gagal juga untuk memenuhi permintaan dana nasabah, Bank X dinyatakan insolvent. Di sinilah situasi menjadi rumit. Kepercayaan masyarakat terhadap sebuah bank tidak hanya bergantung kepada bank tersebut, tetapi juga kepada sistem perbankan secara keseluruhan. Kegagalan satu bank akan menimbulkan keraguan masyarakat kepada bank lain yang sebenarnya baik-baik saja. Maksudnya seperti ini: nasabah bank Y yang melihat Bank X dinyatakan insolvent akan ikut panik, dan mungkin ikut menarik uangnya secara besar-besaran sehingga apa yang terjadi di bank X akan berulang di bank Y dan seterusnya. 

Belum lagi, bank memiliki keterikatan satu sama lain. Seperti yang dinyatakan di atas, bank dapat meminjam cadangan dari bank lain. Misalkan ada Bank ketiga yaitu bank Z, yang meminjamkan sebagian cadangannya kepada bank X. Saat bank X dinyatakan insolvent dan gagal mengembalikan pinjamannya di bank Z, bank Z kini juga terancam insolvent. 

Kegagalan banyak bank yang dipicu oleh kegagalan satu bank saja inilah yang disebut risiko sistemik, hal ini sudah terjadi di Amerika ketika Great Depression  tahun 1930 dan American Banking Crisis tahun 1982. Saat ini pemerintah sudah memiliki mekanisme untuk mencegah risiko sistemik perbankan terjadi, salah satunya dengan bail out, mekanisme yang sama yang digunakan untuk menyelamatkan Bank Century tahun 2008. Bailout berarti pemerintah memberikan uang untuk membantu bank memenuhi kewajibannya, salah satunya memenuhi permintaan dana nasabah. (Tentunya ada kritik untuk kebijakan bailout, tapi marilah kita simpan itu untuk artikel lain.) 

Baiklah, sekarang kita sudah mengerti bagaimana penarikan uang besar-besaran dapat memicu terjadinya risiko sistemik bank. Tapi tentu saja, sebagai nasabah, sewajarnya kita khawatir apa yang akan terjadi jika bank saya dinyatakan insolvent dan saya belum sempat menarik uang saya. Lalu apakah uang saya akan hilang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun