Jokowi adalah fenomena baru dalam politik dan demokrasi Indonesia. Berangkat sebagai walikota Solo dengan segudang pemberitaan di media, namanya pun masuk dalam kancah elit politik Nasional. Berita-berita tentang relokasi pasar, mobil Esemka dan populer dengan blusukan menyapa warga seolah membuat elit politik lainnya tak pernah bekerja di mata rakyat. Keberhasilannya dalam memenangkan pemilihan Gubernur DKI memicu kontestan Pilkada di daerah untuk mengikuti cara-cara Jokowi. Menggalang relawan, berkampanye di media sosial dan tentu saja, blusukan ke pasar tradisional, menjanjikan program-program pro rakyat adalah efek Jokowi yang dicontoh oleh kontestan Pilkada lainnya.
Efek Jokowi menjadi diperhitungkan setelah memenangkan kursi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Efek Jokowi menyebabkan elit PDIP selalu meminjam pesona Jokowi untuk membantu memenangkan Pilkada didaerah. Bahkan dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014, berbondong-bondong Caleg DPR RI dan DPRD dari PDIP menggunakan baju kotak-kotak sebagai simbol Jokowi dan yang lebih unik foto-foto jokowi kerap muncul untuk menarik simpati Massa. Efek Jokowi mulai terasa seperti efek Gusdur di PKB atau Sukarno di PDIP.
Pesona Jokowi semakin memikat setelah menjadi Gubernur DKI. Hampir semua pemberitaan dan pembicaraan masyarakat di media online dan media sosial selalu mengarah ke satu kata, Jokowi. Kuatnya pesona Jokowi menyebabkan banyak pihak yang mulai berpikir bahwa Jokowi layak menjadi seorang presiden. Jika saja Jokowi dicalonkan menjadi presiden, maka tidak ada tokoh lainnya yang mampu menyaingi Jokowi plus kondisi bahwa SBY tidak mungkin lagi mencalonkan diri karena sudah dua periode menjadi Presiden RI.
Ledakan Media
Nama Jokowi semakin melambung ketika Megawati sebagai Ketua Umum PDIP pada akhirnya memberikan mandat pencalonan Jokowi sebagai calon Presiden RI. Mandat ini menyebabkan terjadinya tsunami pemberitaan dan pembicaraan Jokowi sebagai presiden RI sangat kuat. Bahkan mengalahkan topik Jokowi lainnya seperti Banjir Jakarta, Blusukan, Pasar Tanah Abang, Monorail, dan segudang pemberitaan lainnya. Media Online dan Sosial mulai bergeser membicarakan Jokowi sebagai Calon Presiden. Gelombang eforia ini menyebabkan banyak pihak di lingkungan elit PDIP meyakini bahwa pemilihan umum legislatif akan dimenangkan dengan perolehan suara kurang lebih 25%. Walaupun kenyataan menyatakan suara PDIP hanya berkisar pada angka 19%, PDIP tetap memenangkan pemilihan umum legislatif.
Setelah pemilihan umum legislatif dilakukan, popularitas Jokowi tetap luar biasa. Tidak ada tokoh politik yang dapat menandingi popularitas Jokowi. Sistem Evello memantau, Share Index Jokowi mencapai jumlah prosentase yang mencengangkan. Hampir mencapai separuh dari Share Index tokoh politik lainnya, meskipun seluruh tokoh politik tersebut bergabung untuk Media Online dan Twitter. Di Facebook, bahkan Prosentase Jokowi mencapai lebih dari separuh Share Index Tokoh Politik lainnya.
[caption id="attachment_343855" align="aligncenter" width="492" caption="Popularitas Jokowi melalui Prosentase Share Index di Facebook (Februari 2014)"][/caption]
Jika dilihat dari prosentasi Share Index pada grafik di atas, hanya Prabowo dan Megawati saja yang dapat menyaingi Jokowi. Selebihnya? tentu saja rasa pesimisme jika harus berhadapan dengan Jokowi.
Poros Jokowi dan Poros Prabowo
Perjalanan waktu pada akhirnya mengkerucut pada hanya pada dua poros pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Banyak pengamat meyakini sejak awal, bahwa pemilihan umum Presiden 2014 hanya akan diwakili oleh Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Proses mencari pendamping Presiden pun mengarahkan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Calon Wakil Presiden Joko Widodo dan Muhammad Hatta Rajasa sebagai Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto.
Pandangan beberapa pengamat politik yang menyatakan bahwa pemilihan umum Presiden 2014-2019 lebih merupakan pertarungan antara Jokowi dan Prabowo agaknya memang tepat. Pemantauan melalui sistem Evello memperlihatkan bahwa bergabungnya JK ke kubu Jokowi dan Hatta ke kubu Prabowo memang tidak terlalu berdampak signifikan memicu lonjakan pemberitaan dan pembicaraan di media online dan media sosial. Keberadaan JK dan Hatta Rajasa mulai berdampak terhadap popularitas masing-masing kandidat sering dengan mulai masifnya kedua kubu berkampanye.
Sistem Evello mencatat, JK pada masa sebelum putaran pemilihan umum legislatif jauh lebih populer dibandingkan Hatta Rajasa. Sinyalemen ini makin menguatkan kubu Jokowi - JK dan pendukungnya bahwa sulit bagi Prabowo - Hatta untuk dapat bersaing ketat. Sampai Juni 2014, sistem evello mencatat bahwa sinyalemen tersebut berbanding terbalik. Hatta saat ini sangat berkontribusi dalam mendongkrak popularitas kubu Prabowo - Hatta di Media. Pemantauan yang dilakukan pada bulan april di media online memperlihatkan bahwa Hatta dapat mengungguli popularitas Jusuf Kalla.
[caption id="attachment_343857" align="aligncenter" width="341" caption="Popularitas Capres dan Cawapres bulan April 2014 di Media Online"]
Perang Kampanye "Hitam" di Media
Meningkatnya popularitas Hatta yang menggeser jumlah mention Jusuf Kalla menyebabkan konstelasi kampanye masing-masing kandidat bergeser. Kalau pada awalnya hanya Jokowi dan Prabowo yang menjadi sasaran kampanye putih dan kampanye hitam, maka perang kampanye pun berlanjut ke masing-masing cawapres. Jika didunia nyata perang antar pendukung kandidat lebih santun, maka perang didunia maya jauh lebih terbuka. Setidaknya perseteruan antar pendukung sudah sampai pada taraf puja puji dan caci maki bahkan jalur hukum pun ditempuh dengan masuknya laporan masing-masing pendukung kandidat Calon Presiden ke Kepolisian.
Lalu, benarkah kampanye di dunia maya (media online dan sosial) efektif untuk dilakukan. Pemantauan evello selama ini membuktikan sangat efektif. Setidaknya Jokowi dan Basuki sebagai cagub dan cawagub pernah membuktikannya pada pilkada DKI Jakarta. Kampanye didunia maya akan sangat efektif jika berlaku efek bola salju. Sebuah topik menjadi pemberitaan dimedia TV, memicu munculnya pemberitaan di media online untuk kemudian menarik perhatian para netizen melakukan sharing posting di facebook dan menciptakan trending topic di twitter. Trending topik ini akan memiliki efek jauh lebih signifikan jika kemudian diangkat dalam bentuk investigasi di Televisi. Berkampanye di Televisi saja, tanpa menimbulkan efek berlanjut ke media online dan media sosial akan menjadi sia-sia. Setidaknya Surya Paloh, Win-HT dan ARB yang menjadi primadona kampanye dimasing-masing TV yang dimiliki sudah terbukti perolehan suaranya di Pemilu Legislatif lalu. Jokowi dan Prabowo adalah contoh dimana efek berlanjut kampanye di media kerap dilakukan. Pemberitaan di Media Online terhadap masing-masing kandidat, membuka ruang diskusi terbuka yang berlanjut ke Facebook dan menjadi perdebatan hangat di Twitter. Hasilnya? Kubu Prabowo Hatta sukses meningkatkan tren popularitasnya, yang walaupun belum dapat mengalahkan, tetapi sudah dapat mendekati Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Membaca Tren Media
Karakteristik media online memiliki kesamaan karakter dengan media cetak dimana jumlah oplah terjual dan iklan adalah sumber pendapatan media cetak. Media online membutuhkan jumlah pembaca yang tinggi untuk menjaring pengiklan sebagai sumber pendapatan. Semakin berkualitas sebuah media online, umumnya tingkat kepercayaan netizen semakin tinggi. Hal ini ditandai juga dengan tingginya komentar masyarakat pada setiap pemberitaan yang disajikan.Sementara media sosial merupakan media jejaring tempat masyarakt bersosialisasi dengan karakter bebas dan tanpa batasan geografis. Media sosial merupakan perimbangan yang menciptakan ruang bagi masyarakat untuk dapat bersosialisasi secara bebas dan bertanggung jawab.
Survei International Telecommunication Union (ITU) pada Januari 2014 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 72.7000.000 orang berarti sama dengan 29% populasi masyarakat Indonesia. Penetrasi jumlah pengakses internet melalui perangkat bergerak mencapai 14% dari jumlah populasi. Sementara, rata-rata pengakses internet melalui Komputer Personal mencapai 5 jam 47 Menit dan pengguna perangkat bergerak mencapai rata-rata 2 Jam 30 Menit. Melihat kenyataan ini, menggapai netizen bagi masing-masing kandidat merupakan cara yang murah meriah jika dilakukan secara efektif.
Jokowi memang efektif berkampanye di media. Pemantauan yang dilakukan dengan menggunakan sistem evello memperlihatkan bahwa Jokowi magnet bagi para netizen. Perbedaaan prosentase popularitas antara Jokowi dan Prabowo di media sangat tajam. Perjalanan Jokowi dan Prabowo sesuai dengan pantauan sistem Evello di media online terlihat seperti berikut:
[caption id="attachment_343924" align="aligncenter" width="483" caption="Gap antara Jokowi dan Prabowo di Media Online (Januari - Mei 2014)"]
Bulan Januari 2014 prosentase jurang Jokowi dan Prabowo mencapai 49,63%. Sementara pada bulan Mei, prosentase jurang antara Jokowi dan Prabowo tinggal 14,81%. Data tersebut memperlihatkan bahwa tren Jokowi dari jumlah pemberitaan cenderung menurun dan turun secara signifikan semenjak Maret 2014. Pencalonan Joko Widodo sebagai Presiden yang diusung oleh PDIP sebelum dilangsungkannya pemilu legislatif April 2014 menyebabkan Jokowi menjadi sasaran tembak bersama oleh partai-partai peserta pemilu. Hal ini tentu saja menguntungkan Prabowo yang mendeklarasikan pencapresannya setelah pemilu legislatif selesai. Melihat tren tersebut di atas, Bulan Juni adalah bulan yang akan sangat menentukan bagi kedua kandidat untuk merebut hati pemilih (Evello akan menampilkan tren bulan Juni 2014 segera setelah memasuki akhir bulan Juni).
Bagaimana dengan tren di media sosial? Untuk mendapatkan gambaran yang cukup, evello akan menampilkan ringkasan tren bulan Januari - Mei 2014. Jumlah data yang terkumpul mencapai lebih dari 57.000 share posting tentang Jokowi dan Prabowo. Perjalanan Jokowi dan Prabowo di facebook dari bulan Januari - Mei 2014 terlihat sebagai berikut:
[caption id="attachment_343928" align="aligncenter" width="486" caption="Prosentase Jurang Jokowi dan Prabowo bulan Januari - Mei 2014 di Facebook"]
Sejalan dengan hasil tren di Media Online, tren yang terjadi di facebook juga memperlihatkan pola yang sama. Tren dimulai dengan perbedaan yang signifikan antara Jokowi dan Prabowo. Tren ini bertahan sampai dengan bulan Maret 2014 walaupun ada kecenderungan menurun. Kencenderungan penurunan pembicaraan Jokowi di facebook diikuti dengan meningkatnya pembicaraan tentang Prabowo paska bulan Maret. Memasuki Mei 2014, Prosentase jurang antara Jokowi dan Prabowo makin mengecil sehingga tersisa hanya 11,52%.
[caption id="attachment_343929" align="aligncenter" width="509" caption="Grafik Pergerakan Tren di Jokowi, Prabowo, JK dan Hatta di Facebook (Januari - Mei 2014)"]
Dari grafik tren di atas terlihat bahwa Jokowi tidak lagi mendominasi pemberitaan dan pembicaraan di media. Posisi Jokowi tidak sendirian dikarenakan Prabowo juga meningkat secara jumlah dan sentimen di media.
Kesimpulan
Data-data diatas merupakan cerminan dinamika masyarakat yang terekam melalui pemberitaan di media online dan pembicaraan di media sosial. Beberapa kesimpulan awal yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Grafik Tren memperlihatkan kecenderungan peningkatan popularitas Prabowo Subianto dari bulan Januari sampai dengan Mei 2014. Sementara Joko Widodo memiliki kecenderungan turun.Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin sampai dengan akhir Juni 2014 Prabowo Subianto dapat mengungguli Joko Widodo menjelang dilakukan putaran Pemilihan Presiden, 9 Juli 2014.
2. Jurang Prosentase yang tinggi, dalam tempo lima bulan, terutama menjelang akhir maret 2014 mulai tipis dengan turunnya popularitas pemberitaan dan pembicaraan mengenai Joko Widodo dan meningkatnya popularitas Prabowo Subianto. Kerja keras tim sukses masing-masing kandidat akan sangat menentukan di bulan Juni 2014 untuk merebut hati pemilih.
3. Kondisi masing-masing kandidat masih berada pada posisi labil, belum satupun kandidat yang terlihat mendominasi kandidat yang lain. Sesuai dengan analisis media, kandidat harus secara bersamaan mendominasi tingkat popularitas di Media Online, Facebook dan Twitter.
4. Posisi Cawapres akan sangat menentukan popularitas masing-masing kandidat di media. Memasuki akhir Mei 2014, kejutan terjadi dimana Hatta Rajasa cukup berhasil melewati popularitas Jusuf Kalla.
* Dudy Rudianto (Founder Evello System - evello.co.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H