Mohon tunggu...
Eveline Yulianti Bayu
Eveline Yulianti Bayu Mohon Tunggu... Akuntan - Ibu rumah tangga yang tinggal di outback Australia, mencintai budaya dan traveling.

Always look at the bright side https://evelinegoesholiday.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cermin Masa Lalu Klungkung di Museum Semarajaya

31 Desember 2015   10:40 Diperbarui: 31 Desember 2015   11:07 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ketika kita ingin mengetahui kisah kehidupan nenek moyang kita di masa lalu, maka museumlah tempatnya. Di Klungkung, Bali, Museum Daerah Semarajaya memberikan gambaran kehidupan rakyat jelata sampai anggota kerajaan Klungkung. Museum Semarajaya. terletak di dalam komplek taman wisata Kertha Gosa, jalan Untung Suropati nomer 3, Klungkung. Dulu gedung museum ini digunakan untuk sekolah jaman Belanda (MULO). Gedung ini dibangun pada tahun 1920. Kemudian gedung ini digunakan untuk SMP hingga akhir tahun 1990an. Tidak mengherankan apabila kita merasa seperti berada di sekolah jaman dulu, dengan ruang-ruang yang berjajar. Setiap ruang memiliki pintu penghubung antar ruang, selain pintu menuju teras bangunan. Museum ini diresmikan pada tanggal 28 April 1992. Di teras terdapat alat musik khas Bali yang terbuat dari bambu (rindik).

Melihat koleksi yang dimiliki oleh Museum Semarapura, dapat diketahui bahwa dulu masyarakat Klungkung menghasilkan gula aren, air nira (tuak), garam dan kain tenun cagcag untuk memenuhi kebutuhannya. Pengolahan air nira menjadi gula aren dan tuak dilakukan oleh penduduk di desa Dawan, Pekat dan Pikat. Pembuatan garam dilakukan oleh penduduk desa Pesinggahan yang berada di Pantai Gowa Lawah.

Pagi hari, proses pengolahan air nira diawali dengan ngirisin yaitu memanjat pohon kelapa, lalu memotong (mengiris) batang bunga kelapa (troktokan) dan menampung air yang ada di dalamnya dengan tempurung kelapa (beruk) dan lawu (campuran air tampah sirih dan kayu nangka). Beruk diikat dengan kuat agar tidak jatuh. Sore hari beruk tersebut diambil dan diganti dengan beruk lainnya. Air yang diperoleh dapat langsung diminum atau disebut tuak/ air nira.

Untuk mengolah air nira menjadi gula aren, yaitu air nira, minyak kelapa dan kapur sirih direbus di dalam jambangan. Jambangan diletakkan diatas jalikan (tempat yang diisi kayu bakar untuk merebus). Air nira tersbut diaduk hingga kental menggunakan sinduk (sendok), lalu dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang menjadi takarannya. Diamkan hingga kering dan gula aren siap digunakan.

Pembuatan garam dimulai dengan proses nabuh, yaitu menyiramkan air laut ke lahan yang disiapkan di pagi hari. Proses selanjutnya disebut nyacahin, yaitu pengambilan kristal air laut pada siang hari. Kristal tersebut ditampung dalam bak kayu berukuran besar (penyeseran). Lalu disiram lagi dengan air laut agar dapat mengalir. Cairannya ditampung di palungan yang terbuat dari pohon kelapa (beleng). Cara ini dilakukan 2-3 kali. Air tersebut dijemur pada tempat yang dibuat dari batang pohon kelapa (palungan) selama satu hari. Air tersebut kemudian berubah menjadi butiran yang disebut garam.

Bali terkenal akan kain tenunnya yang indah. Begitu pula dengan masyarakat Klungkung, menenun dengan tenun cagcag menjadi bagian hidupnya sejak jaman dulu. Dari butiran kapas yang dipisahkan dari bijinya, dijadikan benang lalu ditenun mengikuti pola hingga menjadi selembar kain tenun.

Seperti kerajaan pada umumnya, di Klungkung juga memiliki sistem peradilan. Hal ini dapat dilihat dari enam buah kursi dan sebuah meja ukiran yang ditata dalam ruang kaca. Meja kursi tersebut digunakan untuk persidangan di Bale Kertha Gosa pada tahun 1940an. Kursi dan meja terbuat dari kayu dan didominasi warna emas. Kursi dengan ukiran naga bermahkota pada sandaran tangan untuk tempat duduk Brahmana dan raja. Kursi dengan ukiran lembu untuk juru tulis dan pemanggil pesakitan. Kursi berukir singa untuk petinggi Belanda. Kursi dengan ornamen kerbau untuk hakim.

Ketika menghadiri upacara adat atau berpergian, raja menggunakan kursi tandu berukir yang terbuat dari kayu dan rotan. Kursi ini berasal Puri Kaleran, Semarapura.

Untuk makan sehari-hari, di Klungkung menggunakan peralatan makan yang terbuat dari tempurung kelapa. Peralatan makan yang menjadi koleksi Museum Semarajaya beragam seperti cangkir, lepek cangkir, sendok kecil, teko, tutup teko, sendok makan, garpu makan, sendok nasi, garpu besar, sendok goreng dan sendok sayur.

Selain membuat barang dari tempurung kelapa, masyarakat Klungkung juga membuat barang dari kuningan. Vas, selongsong peluru dan piala dibuat dari bahan kuningan yang diukir dengan rapi dan indah.

Salah satu perlengkapan upacara keagamaan digunakan uang kepeng. Uang kepeng merupakan uang logam dari bahan kuningan yang tengahnya memliki lubang. Ada juga uang koin berukuran lebih besar daripada uang kepeng. Uang kepeng diproduksi di Bali untuk mengantisipasi berkurangnya peredaran uang kepeng dari Cina.

Senjata yang dimiliki saat itu ialah keris dan tombak. Keris diletakkan pada sebuat tempat penyangga agar dapat berdiri. Tempat penyangga keris berwarna hitam. Museum Semarajaya memiliki tiga lemari kaca untuk menyimpan koleksi kerisnya.

Surat ditulis diatas daun lontar. Salah satu isi suratnya ialah Raja yang mengingatkan putranya agar menjaga keutuhan kerajaan dari serangan Belanda. Koleksi surat yang ditulis diatas daun lontar tersimpan rapi didalam pigura, lengkap dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Koleksi pada jaman purbakala juga ada di museum ini. Pengunjung dapat melihat barang-barang yang terbuat dari batu seperti sandaran tahta batu untuk sandaran duduk orang jaman dulu, lempengen batu berbentuk bundar untuk alas duduk, lumpang dan guci besar.

Koleksi lain yang ditampilkan di museum ini adalah foto-foto dari raja, anggota kerajaan Klungkung dan para pembesarnya, patung dari batu berupa orang Portugis yang mengenakan topi, koran berukuran besar dalam bahasa Belanda, brankas, peralatan upacara keagamaan, maket, lukisan dan alat musik. Di bagian lain museum Semarajaya terdapat ruangan yang memamerkan karya seni Ambron.

Berkunjung ke Museum Semarajaya membuat kita sadar bahwa sejak dulu masyarakat Klungkung mempunyai rasa nasionalisme dengan menjaga wilayahnya dari penjajahan Belanda. Selain itu masyarakat Klungkung rajin bekerja, pagi hari mereka sudah mulai membuat garam dan air nira. Rasa nasionalsime dan rajin bekerja merupakan sifat yang harus kita ajarkan kepada generasi muda. Untuk gambar lainnya dapat dilihat di https://evelineseva.wordpress.com/2015/11/28/cermin-masa-lalu-klungkung-di-museum-semarajaya/

 

Oleh : Eveline Y. Bayu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun