Mohon tunggu...
Eve S
Eve S Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mengeksplorasi sejarah, arkeologi, dan budaya adalah sebuah petualangan melintasi dimensi ruang dan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmara di Bumi Majapahit

21 November 2020   21:32 Diperbarui: 21 November 2020   21:38 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Giandra menggeleng, wajahnya berubah menjadi serius. "Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan hal itu. Aku berani bersumpah. Ayahanda baru mengatakan tentang kepergian kami ke Jagaraga kemarin pagi, Gayatri. Percayalah."

"Kenapa harus ke Jagaraga? Bukankah kau tetap bisa menjadi citraleka di Pajang?" Pertanyaan yang keluar dari mulutku itu membuat Giandra tergemap, aku pun kembali memberikannya pertanyaan. "Lantas mengapa kau pergi ke Jagaraga?"

Ia mengembuskan napasnya sembari memejamkan mata. "Kau tidak akan mengerti."

"Apa yang tidak aku mengerti? Jelaskan kepadaku, Giandra!"

Emosiku memuncak, menurutku ini konyol! Giandra tiba-tiba saja hendak pergi ke Jagaraga tanpa alasan yang jelas. Aku tak habis pikir dengannya. Tangisku hampir saja pecah jikalau ia tak memelukku secara mendadak dan mengucapkan kata-kata yang membuatku tersentak.

"Gayatri, aku ingin menghabiskan waktu dan hidupku bersamamu."

Singkat, tetapi mampu menembus hatiku tanpa menggunakan belati. Kenapa ia mengucapkannya di saat seperti ini? Apa maksudnya? Baru saja ia bilang bahwa dirinya harus pergi ke Jagaraga. Namun, tak sampai lima menit kemudian ia justru mengatakan hal yang sangat gila!

"Aku sangat ingin ... tetapi itu tidak mungkin," sambungnya, suaranya berubah menjadi pelan, bahkan nyaris tak terdengar, "maafkan aku, Gayatri. Aku pamit."

Giandra bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menjauhi pohon maja, meninggalkanku yang masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Ia bahkan tak menoleh ke arahku setelah mengucapkan kalimat perpisahannya. Hatiku sakit, aku tak pernah membayangkan jika hal seperti ini akan terjadi sebelumnya. Butiran kristal air mata perlahan turun dan membasahi pipiku, buru-buru aku mengelapnya dan menahan agar air mata ini tidak lagi keluar. Malu jika ada yang melihatku menangis di pinggir sungai.

Semudah itukah ia mengucapkan kalimat perpisahannya? Apa arti lima belas tahun pertemanan kami di matanya? Semua kenangan yang kami rajut bersama pun hanya dianggap angin lalu olehnya. Bayang-bayang saat kami bersama dahulu kembali menghampiriku, dadaku sesak mengingatnya.

"Gayatri, ayo kita menulis kisah di bawah langit senja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun