Kuliner tradisional merupakan kekayaan yang dimiliki oleh suatu daerah atau suku tertentu yang telah ada sejak lama, dan dilestarikan turun temurun oleh masyarakat.
Salah satu kuliner tradisional yang tetap eksis di Sulawesi khususnya Sulawesi Tengah adalah kue tetu. Di Provinsi Gorontalo, kue serupa disebut kue lampu-lampu sedangkan di bagian lain Indonesia kue ini dikenal dengan nama kue pelita.
Kue tetu merupakan panganan yang bahan utamanya terbuat dari campuran tepung terigu, santan, gula pasir, dengan tambahan sedikit tepung beras dan garam yang dimasak dengan cara dikukus. Kue ini ini memiliki ciri khas berupa wadah yang terbuat dari daun pandan. Dari bentuk wadahnya, banyak orang juga menyebut kue tetu sebagai kue perahu.
Daun pandan yang digunakan sebagai wadah kue tetu berasal dari tumbuhan pandan besar. Untuk membuat wadah kue tetu yang baik, dibutuhkan daun yang lebar, kuat, dan lentur sehingga mudah dibentuk. Daun pandan yang masih sangat muda tidak disarankan untuk dijadikan wadah kue tetu karena lembek dan tidak kokoh. Sedangkan Jika menggunakan daun pandan yang telalu tua, maka wadah rentan rusak/sobek ketika dibentuk.
Sebelum membuat wadah kue tetu, daun pandan terlebih dahulu dibersihkan dari duri halus lalu dipotong-potong dengan panjang sekitar 15 sentimeter. Selanjutnya kedua ujung daun dilipat hingga bagian tengahnya membentuk ruang persegi dan/atau persegi panjang.
Dahulu para orang tua mamakai lidi untuk menyatukan bagian daun yang dilipat. Selain dengan lidi, dapat pula menggunakan jarum dan benang untuk menjahit kedua sisi daun. Belakangan lidi dan proses menjahit itu mulai ditinggalkan sebab perannya telah digantikan oleh stapler atau hekter yang penggunaanya lebih praktis.
Mudah saja membuat kue tetu. Seluruh bahan dicampur hingga menjadi adonan kental lalu dimasukkan ke wadah daun pandan yang dasarnya telah ditaburi gula sebagai isian. Bisa menggunakan gula pasir maupun gula aren.
Tekstur kue tetu yang lembut membuat panganan ini menjadi salah satu kue yang paling dicari sebagai menu berbuka puasa. Rasa manis gula dan gurihnya santan ditambah wangi khas daun pandan membuat kue tetu memiliki cita rasa yang unik yang membuat setiap orang selalu ingin kembali mencicipinya. Jajanan yang satu ini juga tergolong sehat sebab tidak ditambahi pengawet, pewarna, maupun pemanis buatan.
Di tempat saya tingggal, pada waktu lain di luar bulan Ramadan, penjaja kue tetu tidak lagi mudah dijumpai. Hal ini bisa jadi dikarenakan pohon pandan besar sudah semakin langka. Berbeda dengan dulu ketika saya masih kecil di mana hanya butuh berjalan beberapa langkah ke belakang rumah untuk mengambil daun pandan.
Selama bulan Ramadan, kue tetu selalu hadir menebus rindu para penikmatnya. Mengetahui sulitnya memperoleh daun pandan besar, masyarakat yang jeli melihat peluang usaha mengambil kesempatan ini untuk menjual wadah siap pakai sehingga para penjual kue tetu tak lagi sibuk mencari dan membuat sendiri.
Sebagai pecinta kue tetu, saya mulai berpikir untuk menanam pohon pandan karena suatu saat bisa jadi kita kehilangan kuliner tradisional yang satu ini, bukan lantaran globalisasi yang membuatnya kalah saing dengan aneka kue lain di pasar modern. Tidak pula disebabkan generasi muda kesulitan membuatnya. Tapi, sebab tak ada lagi pohon pandan di sekitar kita yang dapat dijadikan wadah. Sedangkan, bukan tetu namanya kalau tidak menggunakan daun pandan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H