Hari ini tepat tiga tahun pasca bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Mari kita mengirim doa untuk para korban yang meninggal dunia, dan bagi para penyintas yang sampai saat ini masih berusaha bangkit memperbaiki segala hal yang porak poranda di sore yang kelam, 28 September 2018 lalu.
"Semua suku bangsa di Indonesia punya kearifan lokal untuk membaca tanda-tanda akan datangnya suatu bencana. Itulah salah satu kekayaan kita."
Seperti itu disampaikan Drs. Iksam, M.Hum., seorang arkeolog yang menjadi narasumber dalam webinar Bedah Buku Kayori; Seni Merekam Bencana yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Sulawesi Tengah. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai pengingat akan bencana dahsyat yang menimpa Sulawesi Tengah tiga tahun lalu.
Kayori; Seni Merekam Bencana merupakan  buku kumpulan esai yang ditulis oleh Ibe S. Palogai dan Lala Bohang. Terbit pada tahun 2021, tebal 214 halaman, buku dengan sampul berwarna tanah ini berisi lebih dari sepuluh kumpulan esai perihal kayori, syair yang dirapalkan para leluhur berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang isinya mencakup peristiwa dan peringatan tentang bencana. Sampai di sini saya merasa rugi sebab belum membaca bukunya.
Ibe S. Palogai berkata riset awal penulisan buku ini dilakukan selama satu bulan. Dari sana ia menemukan bahwa tidak banyak kayori yang spesifik tentang bencana. Meski begitu, sastra lisan yang satu ini tetap saja penting dituliskan agar pengetahuan tentang bencana yang berulang-ulang terjadi di Sulawesi Tengah bisa dilanjutkan ke generasi berikutnya sehingga mereka dapat melakukan mitigasi bencana.Â
Penulis lainnya, Lala Bohang berpendapat menuliskan dalam bentuk buku merupakan metode yang lebih mudah dipahami publik, sebab pengetahuan yang misalnya tertuang dalam jurnal ilmiah tidak mudah diakses oleh semua orang.Â
Selain buku 'Kayori; Seni Merekam Bencana', upaya lain dalam menyebar pengetahuan perihal bencana di Sulawesi Tengah juga dapat dilihat dalam video animasi  'Tutura, Pepatah di Patahan Ingatan'. Video berdurasi 4 menit 13 detik itu dibuat untuk menjangkau generasi muda yang lebih menggemari konten dalam bentuk visual.
Dibuka dengan syair kayori, video yang dapat dilihat di kanal Youtube Studio Meloka itu berkisah tentang Pulau Sulawesi yang terbentuk sejak 50 juta tahun lalu oleh proses tektonik yang menyatukan tiga lempeng bumi. Pertemuan inilah yang menjadikan ruang tujuh dimensi di Palu. Gunung, laut, sungai, lembah, teluk, bukit, dan danau dengan sesar Palu Koro yang "tidur" di bawahnya.Â
Drs. Iksam, M.Hum. mengatakan, beberapa ilmuan di dunia tertarik untuk menjadikan Kota Palu sebagai pusat studi sejarah bencana alam. Untuk itu, pembangunan museum kebencanaan juga dipandang penting. Â
Saya sepakat dengan Pak Iksam. Kehadiran museum kebencanaan seperti Museum Tsunami di Aceh penting agar generasi mendatang tak hanya mengenang bencana itu sebagai kisah pilu yang menelan ribuan korban jiwa, namun juga menjadikan peristiwa 28 September 2018 sebagai pelajaran penting untuk menyusun langkah mitigasi. Sayangnya, hingga tiga tahun ini, hal-hal yang menjadi prioritas seperti hunian tetap bagi para penyintas pun belum sepenuhnya terealisasi. Masih ada ribuan orang yang penuh harap menanti kabar baik tentang pengganti rumahnya yang hilang.Â