Mohon tunggu...
Eva Silviana
Eva Silviana Mohon Tunggu... -

A Chinese-Javanese who says every single thing inside her mind. A valid statement, right?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinasti Politik: Cermin Demokrasi?

23 Desember 2013   16:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin judul tulisan ini akan mengingatkan kita pada peristiwa terkuaknya kasus tindak korupsi di Provinsi Baten yang menghiasi layar kaca dan seluruh jenis media beberapa pekan belakangan ini. Berita ini santer terdengar di telinga masyarakat Indonesia lantaran dari perisitiwa ini pula lah akhirnya seluk-beluk keluarga Ratu Atut, Gubernur Provinsi Banten (masih menjabat sampai tulisan ini dipublikasikan) turut terbongkar pula.

Sadar tak sadar, Banten memang dikuasai oleh kerabat Atut. Kakak-adik, orang tua, ipar, saudara dekat, teman dekat, semuanya ada di Banten. Jika dilihat dari sisi originalitas asal kelahiran, orang-orang itu jelas pantas untuk menjadi pemimpin di daerah Banten. Mereka jelas tau apa itu Banten, dimana itu Baten, apa yang Banten butuhkan. Mereka berkompeten dalam segi itu. Jika dibandingkan dengan Jokowi yang besar dan "hanya tau" Kota Solo, keluarga Atut jelas lebih berkompeten untuk memimpin Banten ketimbang Jokowi memimpin DKI Jakarta.

Namun, ada apa dengan kata Dinasti Politik Atut yang akhir-akhir ini sering muncul di telinga kita?

Correct me if I'm wrong, tapi, bukankah Indonesia menganut nilai-nilai demokrasi? I am not standing behind Atut, tapi saya kurang setuju rasanya jika keberadaan kerabat Atut di Banten itu dikait-kaitkan dengan "Atut mendirikan dinasti keluarganya sendiri di Banten, Atut tidak menjalankan demokrasi."

Menurut saya, dengan kompetensi yang dimiliki kerabat Atut itu, sangatlah cukup untuk diperhitungkan menduduki jabatan tertentu. Kalau memang dari berapa puluh ribu orang di Banten hanya ada beberapa orang yang ingin menjadi caleg dan ternyata beberapa orang itu adalah kerabat Atut, apa yang bisa kita lakukan? This is democracy, people. Semua orang akan punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Ini bukan dinasti politik yang melanggar demokrasi seperti yang selama ini dibicarakan. Jika kita menolak eksistensi keluarga Atut sebagai kandidat pemimpin daerah, bukankah itu baru yang namanya tidak demokrasi?

Apa haknya kita menolak mereka jika memang mereka berkualitas dan lulus fit and proper test? Itu hak mereka juga loh sebagai warganegara.

Namun, hal ini akan menjadi beda jika ternyata ada "bumbu" korupsi yang dimasukkan ke dalam ramuan "politik" di Banten, seperti kondisi saat ini. Disinyalir keluarga Atut adalah dalang di balik seluruh indikasi tindak korupsi di Banten. When it comes to corruption, saya rasa barulah kita pantas untuk bilang kalau keluarga Atut ini tidak menanamkan nilai-nilai demokrasi di dalam pemerintahannya. Karena, dalam demokrasi jelas ada asas transparansi. Dan keluarga Atut menyalah gunakan asas itu atas segala tindak dan dugaan korupsi kolusi serta nepotisme yang mereka lakukan selama ini.

So, do you get it what I mean, people? Don't get me wrong. Saya tidak mendukung keluarga Atut yang korupsi. Jelas tidak. Tapi kalau ada orang yang berkata bahwa keluarga Atut tidak demokratis karena mendirikan dinasti politik hanya dengan alasan banyak kerabatnya yang menjabat pada posisi tertentu di Banten, itu saya tidak setuju.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun