Selain karena ramah lingkungan, ada beberapa faktor yang membuat fenomena ini semakin eksis di seluruh lapisan masyarakat. Dari segi bisnis, keuntungan penjualan baju bekas cukup menjanjikan. “Saya mendapat omzet 100 juta per bulan,” ujar Anwar, salah satu penjual baju bekas di Pasar Senen.
Munculnya tren thrift online shop membuat perkembangan bisnis ini semakin besar dalam mempengaruhi kaum milenial. Jika berkunjung dengan tagar #thriftshop di Instagram, maka kita akan menemukan lebih dari 6,2 juta kiriman. Pelaku bisnisnya pun mulai dari remaja yang masih sekolah, hingga kalangan atas.
Artis dan influencer juga menyumbang peran dalam perkembangan dunia thrifting di Indonesia. Beberapa orang yang berpengaruh di dunia fesyen seperti Sarah Azka, Ana Octarina dan Claradevi ‘Lucedale’ mengaku suka berburu baju bekas. Tidak menutup kemungkinan, penggemarnya juga mengikuti hobi ini.
Faktor selanjutnya yang menjadi kunci adalah dari konsumen itu sendiri. Mereka menyukai belanja baju bekas karena bisa mendapatkan barang bagus dengan harga yang lebih murah. “Lebih baik pakaian bekas tapi asli, daripada pakaian baru tapi tiruan alias KW,” ujar Ana, salah satu konsumen baju impor.
Banyaknya inspirasi gaya berpakaian saat ini juga menjadi alasan kuat konsumen rela terjun ke pasar loak. Ini merupakan solusi bagi orang-orang yang mau mengikuti tren, tapi tidak punya uang yang cukup. Karena menurut mereka, bergaya tak perlu dengan biaya mahal.
Jika banyak pembeli yang memilih barang second karena murah, namun tren selama 1-2 tahun ini justru berkebalikan. Penjualan kaos vintage yang unik dan langka sempat viral akhir-akhir ini. Semakin tua umur baju tersebut, maka akan semakin mahal harganya.
Ternyata, konsumen pun tetap rela merogoh kocek demi baju kuno tersebut. Karena, dinilai mempunyai sejarah di dalamnya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa thrifting memang sudah menjamur, terlepas dari alasan ekonomi dan lingkungan.
Pakaian Bekas dari Segi Hukum dan Kesehatan
Meski permintaan masyarakat akan pakaian bekas sangat tinggi, namun sebenarnya bisnis ini melanggar undang-undang. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/MDAG/PER/7/2015. Peraturan tersebut berisi larangan impor pakaian bekas karena alasan kesehatan.