Mohon tunggu...
Eva Rasyad
Eva Rasyad Mohon Tunggu... -

saya bahagia hidup bersama orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balada Karyo

14 Oktober 2010   21:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:25 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup lama saya tidak melihat sosok Karyo yang kurus, kecil tapi gesit, dan saat saya makan malam di warung Mbak Yem saya menyapanya "Yo, kamu lama ga kelihatan kemana saja". "Baru pulang kampung..." Jawabnya singkat. Pak Jar suami Mbak Yem menimpali "Dia tiga minggu sekali pulang kampung...di kampung paling lama seminggu". "Oh iya...kamu kan sekarang sudah kawin ya?" saya kembali bertanya kepada Karyo. "Sudah punya anak Bu...anak saya sudah gede" jawab Karyo.

Karyopun berlalu entah kemana, tapi Pak Jar dan Mbak Yem melanjutkan pembicaraan tentang Karyo sambil menemani saya menikmati mie goreng buatan Mas Gewor. "Asal sudah dapat uang satu juta...mau dua minggu...mau tiga minggu dia pulang kampung" lanjut Pak Jar. "Dia ga pernah keluar duit untuk makan...ditawari apa saja sama orang dia mau...ditawari mie ya mau...ditawari kopi ya mau...ditawari nasi ya mau...pokoknya ditawari apa saja mau...jadi duitnya utuh...dibawa pulang" tutur Mbak Yem menimpali suaminya.

Tiba-tiba Karyo sudah muncul lagi dihadapan saya ditangannya ada semangkuk pop mie. "Ada yang ngasih" ujarnya. "Yo, kamu ga nyapu lagi" tanya saya. "Ga,habis bayarannya murah dua lantai cuma gope" jawab Karyo. "Mending mijit saja" lanjutnya. Seingat saya, Karyo bekerja sebagai tukang sapu di Rusun. Memang bayarannya murah untuk tiap dua lantai hanya dibayar seratus limapuluh ribu rupiah. Selesai dengan tugas pokoknya, iapun mau mengerjakan apa saja, kuli angkut, membantu di warung, atau mijit. Dia selalu berujar "Tangan ga boleh dibiarkan nganggur". Dari hasil kerja serabutan seperti itu terkumpul rupiah demi rupiah yang dia tabung di Bank. "Gitu-gitu duitnya banyak Bu" kata Mbak Yem.

Saya tahu maksud Mbak Yem, Karyo yang bicaranya saja sering tidak kita mengerti, kadang kurang jelas dalam melafalkan kata-kata, pendidikan terbatas, tidak punya tempat tinggal -tidurnya dimeja-meja warung makan atau dimana saja-, sosok yang hanya mengandalkan kemampuannya yang terbatas, tapi mampu mengumpulkan uang mencari nafkah untuk keluarganya. "Karyo tuh mijitnya asal-asal saja, cuma untuk ngilangin capek saja...tapi banyak yang nyuruh...suka-suka tiap malam bisa dapat lima orang...dapat limapuluh ribu tuh" ujar Mbak Yem. "Istrinya di Pekalongan buka warung...terus minta dibelikan kulkas...kerja tiga minggu eh dapat untuk beli kulkas...terus pulang" lanjut Mbak Yem sambil tertawa.

Hidup ini bagi Karyo nampaknya mudah, tidak punya tempat tinggal tidak masalah dia bisa tidur dimana saja, toh di Rusun ada banyak tempat. Makan tergantung orang yang ngasih, kalau tidak ada yang ngasih dia puasa. Dia tidak mau lagi jadi tukang sapu karena bayarannya murah, dia lebih memilih jadi tukang pijit dengan bayaran sepuluh ribu per kepala, atau jadi kuli angkut dan bantu-bantu diwarung. Asal sudah dapat uang satu juta - sudah bersih diluar ongkos, yang rata-rata dia dapatkan dalam waktu tiga minggu - dia akan pulang kampung. Karyo tidak pernah korupsi, Karyo menjual tenaganya, Karyo bekerja keras, makanya rejekinya barokah, Insya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun