—–
Kini empat tahun berlalu, Cecil sudah menjadi anak remaja, dia sudah duduk dibangku SMA kelas 1. Cecil tumbuh layaknya seperti remaja putri umumnya, Tasya diusianya yang baru empat tahun tidak mengetahui kalau Cecil yang biasa dia panggil “cici” itu adalah ibu kandungnya. Tasya kecil yang cantik memanggil “mamah” hanya kepada Tante Lenny. Tasya hanya tahu Tante Lenny sebagai sosok “mamahnya” dan “cici” sebagai “kakaknya” Senyum Tasya yang manis selalu diberikannya kepadaku jika aku bertemu dengannya. “Bundaaa…salam” teriak Tasya sambil mencium tanganku, dan aku biasa balas memeluknya.
Sampai sekarang dan untuk hari-hari mendatang Tasya tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Cecil tetap bungkam seribu bahasa, dia tak sedikitpun ingin menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Hanya matanya selalu menampakkan kesedihan dan ketakutan jika Tante Lenny berusaha mengorek keterangan darinya. Akupun meminta Tante Lenny untuk berhenti menanyai Cecil, kasihan Cecil biarkan dia mengukir masa depannya yang sudah menjadi haknya. Biarkan masa lalu terkubur oleh waktu, dan kehadiran Tasya adalah anugerah terindah dari Allah untuk keluarga Tante Lenny. Tasya yang suci dan tak berdosa, dia juga berhak atas masa depan yang lebih baik. Foto Tasya di usia lima bulan masih tersimpan di komputerku, suatu saat jika dia sudah dewasa aku akan memberikan foto itu kepadanya.
—–
Jakarta, 9 Oktober 2010
Untuk mengenang kejadian empat tahun yang lalu, Cecil dan Tasya, dua sosok yang sama-sama telah menorehkan cinta pada diriku. “Doa bunda selalu menyertai Cecil dan Tasya”
Catatan :
Berhubung kisah ini menyangkut seseorang yang masih dibawah umur, maka saya sengaja tidak memakai nama yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H