Nampaknya konsep hiperrealitas telah merasuk dalam kehidupan kita akhir-akhir ini. Dengan bangganya kita pamerkan foto di tempat makan terkenal atau tempat makan yang tengah viral dengan berbagai menu hidangan di atas meja.
Fungsi utama dari sebuah objek menjadi tidak penting lagi dibandingkan dengan gambaran objek itu sendiri. Gambaran objek kini menjadi lebih penting karena mampu menunjukkan eksistensi kita agar dianggap orang yang kekinian atau dianggap orang yang mampu.
Banyak orang rela mengorbankan segalanya untuk terlihat berbeda dan keren di media sosial, dan tentu saja demi sebuah love, like dan coment atau followers. Berduyun-duyun orang akan latah mengikuti tren dari idola mereka di media sosial, mengorbankan sesuatu untuk menciptakan kesemuan sementara demi terlihat ngetren dan kekinian. Membangun gambaran image palsu yang terkadang berbanding terbalik dari kehidupan nyata yang kita jalani.
Tentu kita masih ingat dengan kasus yang dialami oleh seorang selebgram bernama Fransisca Paisal yang sempat rampai menjadi bahan gunjingan di media sosial. Dia telah berhasil menciptakan utopia palsu dalam kehidupannya.
Berliburan mewah ala milyader ke luar negeri, berkunjung ke lokasi-lokasi yang diimpikan sebagian besar orang di belahan bumi ini, atau menonton konser band papan atas di luar negeri. Faktanya, dia meminjam uang ratusan juta dari rekan-rekannya demi sebuah kesempurnaan dunia fantasi yang dia bangun sendiri.
Seringkali kita keblinger dengan kemewahan yang diciptakan teman-teman kita di media sosial, tak jarang juga kita merasa iri dengan gemerlapnya hidup yang ditunjukkan orang lain di media sosialnya.
Bahkan kita terkadang merasa rendah diri, kecewa, ketika melihat betapa bahagia dan sempurnanya kehidupan mereka, betapa cemerlangnya pencapaian hidup yang telah mereka raih. Padahal kita tak pernah tau realita seperti apa yang telah berhasil mereka sembunyikan di balik kesempurnaan feed instagram-nya.
Banyak orang lebih memilih hengkang dari hiperrealitas yang diciptakan orang-orang melalui instagram atau path, mereka lebih memilih mencari kedamaian hati dan jiwa dengan tidak lagi terkoneksi ke media sosial tersebut. Mereka merasa hidup menjadi lebih adem, tentram dan tidak kemprungsung ketika tak lagi melihat foto-foto dan video penuh kebahagian semu dari orang-orang yang bersliweran di beranda media sosial tersebut.
Dunia hiperrealitas dalam media sosial memang tak hanya melebur dalam instagram dan path, namun dua media sosial inilah yang paling dominan dalam menciptakan hiperealitas yang paling berbahaya.
Mengapa demikian? Karena kedua media sosial ini hanya berisi foto dan video singkat, banyak oknum memanfaatkannya untuk membangun citra diri sempurna melalui unggahan yang berhasil mereka gambarkan di media sosial tersebut.
Tak hanya menyoroti instagram dan path saja, media sosial lainnya seperti Twitter dan Facebook juga turut serta meramaikan jagat hiperealitas ini. Gambaran dan citra diri palsu terkadang kita tunjukkan dalam ruang publik.