Mohon tunggu...
Eva Nur Khofifah
Eva Nur Khofifah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis 5 Buku, Praktisi Pendidikan Keluarga, Hipnoterapis, Founder @mozaikpsikologi

Salam Bahagia, Life with Love.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Dua Sisi Film "Dua Garis Biru"

22 Juli 2019   15:31 Diperbarui: 22 Juli 2019   15:35 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar (sebelum disunting ): hot.detik.com

Setelah penulis menonton, mengamati bahkan menganalisis berbagai film keluarga  khususnya film keluarga dalam negeri, ini adalah kali pertama memberikan review. Mengapa? alasan pertamanya sih karena ada sahabat yang meminta hasil review setelah menonton film, alasan selanjutnya tentunya karena penulis merasa harus bertukar pikiran pula dengan netizen lainnya tentang film yang satu ini.

Sebuah karya baik itu di dunia perfilman ataupun dunia literasi sekalipun tidaklah lepas dari kekurangan dan kelebihan sebuah karya tersebut, inilah yang perlu dipahami bahwa tidak ada sesuatu karya yang hanya dinilai dari satu sisi saja, misalnya ketika kita me-review kelebihan nya saja yang ditonjolkan, ataupun sebaliknya kekurangan nya saja yang ditonjolkan tanpa melihat ada sisi lain dari sebuah karya tersebut.

Film ini menceritakan tentang dua anak sekolah yang berpacaran sampai akhirnya perempuannya hamil diluar nikah, yang awalnya berniat menggugurkan namun niatnya terurungkan karena naluri, konflik dari berbagai sisi di munculkan mulai dari anak dikeluarkan dari sekolah, pertengkaran dengan orangtua,perebutan hak asuh, endingnya terjadi komplikasi ketika melahirkan karena usia yang masih belia sehingga rahimnya harus diangkat di usia remaja tersebut, dampak dari kehamilan diluar nikah dimunculkan satu persatu dalam film ini.

Film bisa dinilai tergantung dari segmentasi/target pasar seorang penulis naskah yang bekerjasama dengan sutradara dan tentunya produser film. Film dua garis biru ini siapa yang tau segmentasi nya untuk siapa, bisa untuk remaja, orangtua, pelajar, atau untuk semuanya asalkan filmnya laku misalnya. Yang tau betul hanyalah orang yang berada dibalik layar ya, kita tidak bisa menebak mana sebetulnya segmen pasarnya. Penulis akan memaparkan pemikiran penulis yang tentunya sangatlah subjektif dan bisa di kritisi oleh siapapun berdasarkan segmentasi tersebut ya.

Jika target film ini untuk remaja ataupun pelajar, penulis merasa sangatlah tidak pas. Mengapa? ya sekalipun tujuan yang berada di balik layar misalnya untuk edukasi tentang bahaya dan dampak dari kenakalan remaja, jika melihat alur ceritanya rasanya justru memberikan gambaran bahwa meskipun dampak dan bahaya yang akan dihadapi sulit, tapi selalu saja ada jalan keluarnya, selalu ada solusinya. Akhirnya remaja akan merasa menyepelekan berhubungan badan diluar nikah, karena dalam film tersebut alur ceritanya tuh ada konflik sebentar, selesai lagi, ada konflik lagi, selesai lagi. Meskipun realitanya memang seperti itu, penulis rasa jika untuk remaja itu kurang memberikan edukasi betapa berbahayanya jika remaja melakukan hal tersebut, konfliknya kurang tajam sehingga besar kemungkinan remaja untuk meniru.

Nah, sekarang bagaimana jika yang menonton adalah orangtua? sangatlah disarankan kalau untuk orangtua ataupun siapa saja baik itu mahasiswa, guru, dosen atau siapapun yang akan merasakan manfaat dari film ini. Yang sudah dewasa lah yang sudah bukan saatnya meniru tapi justru bisa mengambil pelajaran dari setiap film bukan untuk hiburan semata. Tujuan menonton film justru ingin merasakan edukasi nya ketika memiliki anak di usia remaja.

Nah, untuk orangtua dll seperti yang disebutkan di atas film ini bisa menjadi gambaran yang lumayan lah ya menggambarkan tentang realitas anak sekolah dan orangtua wajib terus mengontrol dengan jadi sahabat anak minimal ketika di rumah sehingga anak terbuka dan hal-hal semacam itu bisa dicegah. Orangtua bisa ancang-ancang setelah menonton film ini, orangtua bisa lebih tergambarkan bahwa anak itu adalah peniru ulung orangtuanya, dampak orangtua sibuk dan terlalu percaya kepada anak hanya karena akademis anak yang baik ataupun karena perilaku anak terlihat baik-baik saja padahal di dunia nyata banyak sekali godaan yang mengintai dan anak kita belum tentu siap menghadapinya. Rumah seringkali kosong tak berpenghuni sehingga anak remaja bebas melakukan apa saja bisa menjadi pelajaran untuk orangtua.

Memang sih di dunia nyata apalagi jaman now ini, setiap kejadian tidak bisa ditebak akan seperti apa dampaknya. Misalnya ada anak yang hamil usia remaja nih, ada dua kemungkinan di jaman ini karena dirasa sudah gak aneh kayak jaman dulu, bisa lebih mudah prosesnya dari film tersebut, anak tinggal dinikahkan dan orangtua biasa saja menyikapinya maka masalah selesai, kemungkinan kedua pun bisa terjadi, orangtua kalap alias marah besar menyiksa anaknya sampai membunuh anaknya karena tidak tahan menanggung malu di era ini.

Sebetulnya sebelum film ini tayang sudah banyak sekali beredar review di media sosial, yang menyatakan bahwa film ini haram ditonton karena ya seperti tadi alasannya. Maka dari itu disini penulis berpendapat sesuai segmentasi pasar karena ingin memaparkan sisi lain dari film ini, bukan hanya sisi negatifnya saja, ya untuk remaja memang sangatlah tidak sesuai karena justru bisa menjadi role model dan pembenaran untuk remaja, tapi untuk orangtua? film ini recommended sekali. Sudah bukan saatnya orangtua meniru perilaku remaja tapi justru orangtua terbantu dan tervisualisasikan, ini loh dunia luar itu. Ayahnya bima rajin ke masjid bahkan jadi pa RT tapi jarang ngobrol hal-hal seperti ini karena menganggap anaknya baik-baik saja, ibunya bima sibuk dengan urusan domestik, ayah dan ibunya dara keduanya sibuk bekerja yang ada dibenaknya hanyalah masa depannya tanpa mengindahkan bahwa dara adalah remaja yang sedang puber pula.

Film dua garis biru dan film remaja lainnya seperti dilan misalnya sebetulnya yang harus datang nonton berbondong-bondong adalah para ayah dan ibu atau orang dewasa lainnya yang niatnya untuk edukasi bukan untuk hiburan menghamburkan uang saku saja, tapi realita berkata lain, ketika penulis menonton dan mengobservasi justru yang menonton kebanyakan adalah remaja dan membawa pasangan masing-masing pula, tepok jidat dah.

Yaaah diakui atau tidak film itu kan banyak tujuannya bukan hanya sarana edukasi saja, ada bisnis di dalamnya. Kalau misalnya yang nontonnya orang dewasa atau orangtua saja, kan ada batas minimal penonton tuh supaya film bisa terus ditayangkan di sebuah bioskop, kalau saat premiere penontonnya tidak mencapai target yang bisa turun layar. Ya sudahlah kita tak usah terlalu memikirkan itu bukan kapasitas kita dan tidak bisa merubah pula karena bukan kita penulisnya, sutradaranya atau produser nya ya. Yang penting minimal kita ingatkan sahabat, teman dan keluarga terdekat saja lah ya.

Sekian saja mungkin ya, ini mah pendapat subjektif saja. Semua orang bebas kan mengutarakan pendapatnya, dilindungi oleh konstitusi pula. Eeeaaaa jadi bawa-bawa konstitusi nih..wkwk

Wallahu a'lam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun