Mohon tunggu...
Eva Nur Khofifah
Eva Nur Khofifah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis 5 Buku, Praktisi Pendidikan Keluarga, Hipnoterapis, Founder @mozaikpsikologi

Salam Bahagia, Life with Love.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dampak Buruk Memaksakan Nilai Akademis Anak

7 Mei 2019   08:42 Diperbarui: 7 Mei 2019   08:50 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diakui atau tidak di era post modern ini banyak orangtua yang beranggapan bahwa anak yang sukses adalah anak dengan nilai akademis yang baik, tak sedikit orangtua yang memaksakan hal tersebut dan akhirnya menjejal anak dengan berbagai macam mata pelajaran bahkan sesampainya anak pulang sekolah yakni di rumah.

Kurikulum yang ada sekarang ini sudah sangat padat dibandingkan negara-negara maju lainnya, namun mau tak mau suka tak suka karena kita berada di negeri indonesia ya kita menerima saja namun tetap mengakali bagaimana caranya supaya anak tetap nyaman dan bahagia bersekolah. 

Nah oleh karena kurikulum yang ada pun sudah sangat banyak tak etis sebagai orangtua kita tidak memahami psikologis anak dengan memaksa anak menguasai semua bidang. 

Harapan orangtua hanya anak bisa menjadi juara kelas dengan nilai yang sangat memuaskan, itu saja. Ya memang hal tersebut tentu membuat orangtua bahagia, namun apakah pada realitanya yang menentukan kesuksesan anak hanya dari nilai lapor saja?

Ketika nilai akademis anak bobrok bahkan hanya standar saja orangtua memaki habis-habisan seakan-akan dunia akan runtuh karena hal tersebut. Benarkah anggapan tersebut?

Lalu apa dong yang harus dilakukan oleh orangtua ketika nilai akademis anak kurang memuaskan?

Orangtua wajib menganalisis dari berbagai faktor, berbagai sudut pandang apa alasan dibaliknya, apakah karena tuntutan dari orangtua, guru dan sekolah yang terlalu tinggi sehingga justru menyurutkan semangat anak, potensi anak jadi tidak keluar. Karena meskipun kecerdasan intelektual anak terhitung rata-rata jika anak rajin dan semangat belajar seyogyanya ia akan mampu mengikuti pelajaran dengan baik, akan mampu beradaptasi dengan baik. 

Selain itu apakah memang dari nilai lapor tersebut memang hampir semuanya bukan minat dan bakat anak tapi anak justru memiliki minat dan bakat lainnya yang tentunya dapat terlihat jelas pula pada nilai lapor, di mata pelajaran apa anak unggul? di mata pelajaran apa anak kurang unggul? itulah yang harus dianalisis dan dipahami orangtua. 

Kembangkanlah potensi anak dengan melihat nilai nya yang unggul, untuk nilai yang kurang inggil jangan dipaksa menjadi unggul karena memang tidak ada minat dan bakat anak disana.

Orangtua harus paham dulu arti sukses, tujuan sukses yang seperti apa yang harus dicapai anak, apakah dengan anak menjadi pegawai kantoran, apakah anak yang menghasilkan banyak uang? realitanya banyak sekali orang dewasa yang tetap melakukan bunuh diri meskipun bergelimang harta, berarti bukan itu dong yang disebut sukses. 

Lalu orang sukses itu yang seperti apa? orang sukses adalah orang yang bahagia dan kebahagiaan yang hakiki didapatkan oleh orang yang bersyukur. Itulah yang ditanamkan kepada anak, profesi apapun anak nantinya, anak kita adalah anak yang sukses jika disertai dengan bersyukur yang endingnya kebahagiaanlah yang ada.

Realitanya di dunia kerja orang sukses adalah yang bahagia dengan profesinya, lalu bagaimana caranya supaya bahagia? ya jelas ia harus bekerja sesuai minat dan bakatnya. 

 Salah satu cara melihat minat dan bakat anak yang dengan nilai akademis anak, mana yang paling unggul diantara semuanya dan anak pun memiliki minat yang sangat tinggi pula. 

Apalagi di jaman sekarang ini segala sesuatu ada ahli nya, ada spesialis nya, sayang sekali jika orangtua memaksakan anak unggul pada semua bidang sedangkan orangtua tidak tau mana yang paling unggul diantara semuanya.

Nyatanya untuk sukses bukan hanya intelectual quotient saja, ada emotional quotient dan spiritual quotient yang harus dikembangkan pula.  Tiga kecerdasan tersebut harus berjalan beriringan tidak bisa dipisahkan, misalnya anak hanya dikembangkan kecerdasan intelektual saja dan kecerdasan emosional seerta spritualnya dibiarkan, akan seperti apa di dunia kerja? 

Begitupun anak yang hanya dikembangkan kecerdasan emosional saja tanpa mempertimbangkan penting pula kecerdasan intelektual dan spiritual akan seperti apa? dan berlaku pula untuk yang hanya mengembangkan kecerdasan sipritual anak.

Kepribadian anakpun harus diperhatikan, anak termasuk pribadi dengan karakteristik yang intovert ( tertutup ) ataukah ekstovert ( terbuka) ? di jaman sekarang ini dengan banyaknya lapangan kerja yang dapat disesuaikan dengan keperibadian anak, anak yang cenderung terbuka bisa berprofesi dengan pekerjaan yang intensitas bertemu dengan banyak orangnya lebih banyak, anak suka tampil di publik, anak tidak keberatan berada ditengah kerumunan orang, anak senang berkomunikasi dengan banyak orang. 

Sebaliknya untuk anak yang cenderung tertutup maka orangtua tidak boleh memaksa menjadi terbuka karena memang di jaman sekarang pekerjaan untuk orang tertutup pun banyak sekali, anak yang tidak seka bekerja dengan banyak orang, anak yang potensinya keluar saat menyendiri, anak bisa memiliki profesi yang tuntutan kerja nya berada di belakang layar, maka potensi anak pun akan keluar sama seperti anak yang terbuka.

Jika mencermati pernyataan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa nyatanya memaksakan nilai akademis anak sungguh tak ada faedahnya, malah akan menjadi sia-sia saja, karena nyatanya anak yang sukses bukan dilihat dari faktor akademis saja, ada kecerdasan emosional dan spiritual yang harus dicapai beriringan pula dengan kecerdasan intelektual.

Lalu apa saja dampak buruknya memaksakan nilai akademis anak? 

Pertama, anak yang dipaksa nilai akademisnya memuaskan cenderung menjadi anak yang pemalas. Kenapa pemalas? ya karena pada akhirnya ketika ia terpaksa melakuakn sesuatu yang tidak diinginkan ia menjadi malas melakukan hal tersbut, alih-alih menjadi semangat , yang ada kemalasan semakin mengakar karena sikap memaksa orangtua.

Kedua, ketika anak dipaksa nilainya bagus justru realitanya ia melakukan hal sebaliknya ( nilainya sangat tidak memuaskan). Anak yang dipaksa mendapat nilai A untuk semua pelajaran, realitanya kebanyakan hasilnya malah sebaliknya, mengapa? karena anak melakukan pemberontakkan, bukannya semangat tapi malah ingin menunjukkan bahwa ia tidak bisa dipaksa, tidak bisa dijajah, karena terlalu sering dipaksa dan dimarahi akhirnya anak menjadi kebal dan tertawa ketika melihat orangtuanya kesal dengan nilai akademisnya.

Ketiga, kalaupun dengan dipaksa nilai anak tetap bagus realitanya di kehidupan nyata nilai tersebut kurang terpakai dan minat bakat anak kurang tergali dengan baik. Anak yang menuruti saja apa yang diinginkan orangtua tanpa protes, buka berarti menjadi anak yang baik, namun bisa jadi anak takut untuk berpendapat kepada orangtuanya, orangtua dihormati anak karena rasa takut anak. Jika nyatanya nilai anak bagus karena dipaksa maka sesungguhnya potensi anak yang aslinya tidak akan keluar, anak tidak tau mana yang unggul pada dirinya, anak hanya fokus mendapatkan juara kelas dengan nilai yang memuaskan untuk semua mata pelajaran.

Keempat, anak yang dipaksa melakukan sesuatu yang bukan minat dan bakatnya maka minat dan bakat aslinya sulit untuk digali. Anak dipaksa nilainya bagus di bidang sains padahal potensi aslinya ada di ilmu sosial, maka anak akan sekuat tenaga memberikan nilai yang terbaik untuk bidang yang tidak diminatinya, begitupun sebaliknya, anak yang unggul di bidang sains namun orangtua ingin anak unggul di bidang sosial maka minat adan bakat anak dibidang sains lama-lama akan pudar seiringnya berjalan waktu.

Yang perlu digarisbawahi oleh orangtua adalah bahwa tidak ada suatu kebaikan apapun yang hasilnya baik jika dilakukan dengan keterpaksaan, tetap ada dua kemungkinan anak akan mengikuti alur orangtua namun dirinya tersiksa atau anak yang melakukan pemberontakkan. 

Jangan dipukul rata ya antara ibadah yang memang harus dipaksakan terlebih dahulu supaya biasa dengan penentuan minat dan bakat anak yang tidak boleh dipaksa, hal tersebut jelas amanah pula dari Rasulullah bahwa kita tidak dibenarkan mempersulit anak, permudahlah urusan anak.

Komunikasikanlah dengan komunikasi yang efektif dan produktif terkait nilai akademis anak yang akan berimbas pada potensi minat dan bakat anak, harus disepakati dan dirasakan efeknya oleh orangtua dan anak, bukan hanya oleh orangtua saja atau oleh anak saja.

Itu saja yang dapat disampaikan, mudah-mudahan dapat membuka wawasan dan bermanfaat untuk kita semua.


Salam Bahagia..

Mozaik Psikologi..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun