Di tengah rasa putus asa, Raka mengusulkan sebuah ide. "Kalau mereka sibuk di media sosial, kenapa kita nggak pakai platform itu untuk mempromosikan budaya kita?" ujarnya kepada Nia dan teman-teman lainnya. Mereka pun mulai mengunggah video latihan tari yang lebih segar dan menarik, menggabungkan gerakan tradisional dengan musik modern. Raka yang pandai dalam mengedit video menciptakan konsep baru, yaitu perpaduan tari tradisional dengan musik elektronik yang sedang populer. Dengan judul "Ketika Tradisi Bertemu Generasi Z," video pertama mereka pun diunggah ke Instagram dan TikTok. Tak lama setelah video itu diunggah, video tersebut mendapat perhatian luas. Banyak komentar positif yang masuk, seperti "Ini keren, budaya lokal jadi lebih modern!" dan "Aku jadi ingin datang ke festivalnya." Beberapa influencer juga membagikan video tersebut, memberi mereka lebih banyak eksposur. Video tersebut viral dengan cepat, menarik perhatian banyak orang, bahkan dari luar kota. Komentar positif terus mengalir, dan dukungan untuk festival budaya semakin besar.
Hari festival akhirnya tiba. Meskipun tidak seramai konser boyband Korea, jumlah pengunjung festival jauh lebih banyak daripada yang mereka perkirakan. Para pelaku seni budaya yang sebelumnya merasa terpinggirkan kini merasa dihargai. Nia, yang semula pesimis, kini merasa optimis setelah melihat antusiasme pengunjung yang berbondong-bondong datang. Mereka berdecak kagum melihat tarian yang dipadukan dengan musik elektronik, memberikan kesan yang segar namun tetap mempertahankan kekuatan tradisionalnya.
Ketika Nia dan kelompoknya tampil, tepuk tangan menggema di seluruh alun-alun. Tarian yang dulu dianggap kuno kini bersinar kembali seperti bintang yang menemukan cahayanya. Nia tersenyum lega. "Ternyata budaya lokal bisa menarik perhatian jika kita menyampaikannya dengan cara yang berbeda," kata Nia pada Raka setelah pertunjukan berakhir. Raka tersenyum dan berkata, "Ini baru permulaan, Nia. Kita harus terus berinovasi dan berjuang."Selama festival berlangsung, pengunjung terus berdatangan untuk menikmati pertunjukan disana.
Konflik yang terjadi di narasi ini sangat berkaitan dnegan sila ke-3 yaitu persatuan Indonesia yang mencerminkan tantangan dalam menghargai keberagaman budaya Indonesia, khususnya di tengah pengaruh budaya asing. Generasi muda, yang lebih terpapar budaya populer global, cenderung kurang memprioritaskan budaya lokal. Namun, upaya Nia dan teman-temannya menunjukkan bahwa inovasi dalam menyajikan budaya dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan generasi muda dengan identitas nasional mereka. Peristiwa tersebut menjadi titik balik bagi generasi muda di Citra Asri. Mereka belajar bahwa budaya lokal bukanlah sesuatu yang ketinggalan zaman, melainkan warisan yang bisa tetap hidup dan berkembang seiring waktu. Media sosial, yang sebelumnya menjadi sumber konflik, kini menjadi alat untuk mempromosikan seni dan tradisi. Generasi muda kini lebih menyadari bahwa mereka bisa mencintai budaya lokal tanpa harus meninggalkan dunia digital mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H