penulis 1 :
Eva Nuraeni (2400221)
Prodi PGSD, Universitas Pendidikan Indonesia Kampus UPI di Cibiru
Dosen pengampu :
Dr.Dinie Anggraeni Dewi,M.Pd, & M.Irfan Ardiansyah,S.Pd,
“Gemuruh Festival yang Tidak Lagi Diminati”
Di kota kecil Citra Asri, festival tahunan Pesona Nusantara pernah menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh warga. Setiap tahun, ribuan orang datang untuk menikmati berbagai pertunjukan seni budaya, mulai dari tari tradisional, musik daerah, hingga pameran kerajinan lokal. Festival ini menjadi ajang untuk merayakan kekayaan budaya Indonesia dan memperkuat ikatan identitas sebagai bangsa. Namun, tahun ini terasa berbeda. Suara tepuk tangan yang biasanya ramai kini sepi, seolah-olah festival tersebut kehilangan pengunjung.
Nia, seorang pelajar yang tergabung dalam kelompok tari tradisional, duduk termenung di belakang panggung. Kostum tari batik yang dikenakannya terasa berat, bukan karena fisiknya, tetapi karena kekecewaan. "Untuk apa kita latihan begitu keras jika yang datang cuma sedikit?" keluhnya kepada Raka, teman sekelompoknya yang memainkan gamelan.
"Bagaimana lagi? Semua orang lebih tertarik nonton konser K-Pop yang diadakan di mal kota. Tiketnya ludes dalam hitungan menit," jawab Raka sambil menunduk. Kata-katanya seolah-olah mematahkan semangat mereka.
Beberapa hari sebelum festival dimulai, perdebatan besar terjadi di media sosial. Banyak generasi muda yang mengungkapkan rasa kecewa mereka karena festival budaya bertabrakan dengan konser boyband Korea yang sedang sangat populer. Banyak yang memilih untuk menonton konser tersebut daripada menghadiri festival budaya lokal. Di media sosial, komentar-komentar seperti "Siapa yang masih tertarik nonton tari tradisional?" dan "Budaya lokal itu kuno, gak seru!" mulai bermunculan. Bahkan, sebuah video latihan kelompok tari Nia diunggah dengan caption mengejek: "Zaman sekarang masih ada yang joget gitu?" Video tersebut viral Nia yang semula bangga dengan tarian daerahnya kini merasa malu dan marah. "Kenapa mereka tidak menghargai budaya kita sendiri?" pikirnya dengan hati yang terluka. Tarian yang dahulu menjadi kebanggaan kini seolah tidak berharga bagi sebagian besar orang, terutama generasi muda yang lebih terpengaruh budaya asing.
Perdebatan semakin memanas ketika pemerintah kota, karena tekanan opini publik yang mendominasi oleh kecintaan pada budaya populer, memutuskan untuk memindahkan jadwal festival ke hari kerja, agar tidak bersamaan dengan konser boyband tersebut. Keputusan ini membuat banyak pelaku seni merasa kecewa. "Seolah-olah kita dipinggirkan," ujar Pak Harun, seorang pelatih tari yang sudah puluhan tahun berjuang untuk melestarikan budaya lokal. "Bagaimana kita bisa menjaga budaya jika orang-orang tidak tertarik lagi?" lanjutnya dengan suara yang penuh frustrasi."Pak Harun, kenapa mereka lebih memilih konser itu ketimbang festival kita? Padahal kita sudah berusaha keras," tanya Nia, yang semakin merasa tidak dihargai. Pak Harun menepuk pundaknya dan berkata, "Ini ujian, Nia. Tapi kita tidak boleh menyerah. Kalau kita berhenti berjuang, maka budaya ini akan hilang."