Mohon tunggu...
Eva Nurmala
Eva Nurmala Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan swasta

Saya karyawan swasta yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fanatisme dan Fitrah Manusia

24 September 2021   22:50 Diperbarui: 24 September 2021   22:52 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada masa pesta demokrasi, kita bisa merasakan bahwa agama dicampur-adukkan dengan agama. Terlebih beberapa penganut agama itu adalah penganut yang bersifat fanatik dan merasa pintar dibanding yang lain. Fanatik, merasa pintar dan merasa palingbenar adalah kombinasi yang paling sulit untuk diatasi apalagi menyangkut pilihan politik yang dibaurkan dalam bauran agama.

Merasa pintar dan paling benar menjadikan seseorang itu sering menyalahkan orang lain. Mereka menutup telinga untuk pendapat orang lain dan hanya menerima satu sumber saja. Tidak ada pembanding yang membuat mereka mengetahui dengan obyektif pendapatnya itu.

Umat memang kadang tidak lepas dari faham fanatisme karena beberapa penyebab atau faktor. Sempitnya berfikir dan dangkalnya visi amat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap agama itu. 

Padahal fanatisme menurut al Ghazali adalah bentuk kebodohan yang sebenarnya karena pandangan mereka belum tentu benar namun dipercaya adalah kebenaran dan secara massif mengajak orang lain berfikir sama dengan dirinya, dan malah mencampakkan orang yang mungkin berfikir tak sama dengannya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika fanatisme itu diperkuat oleh ulama yang mereka kenal melalui  media sosial.

Sebenarnya tak salah memiliki ulama yang dikagumi. Namun menjadi salah jika ajaranyang disebarkannya adalah ajaran agama yang sempit. Lalu ditambah para umat menganggap hal itu adalah hal yang benar dan menyalahkan yang berbeda di luar kelompoknya. Dalam kondisi seperti itu, agama yang seharusnya mendamaikan bisa menjadi agama yang pemarah bahkan agama yangseharusnya membuat ringan malah menjadi berat bagi umatnya.

Dengan keadaan demikian, fanatisme seringkali melahirkan indoktrinasi. Indoktrinasi hanya melahirkan sikap fatalistik yang menyerahkan segala sesuatu kepada guru agama tanpa pilahan mana yang salah dan benar dengan konteks yang luas. 

Kita bisa ambil contoh guru agama keluarga pengebom tiga gereja Surabaya yang punya pandangan radikal terhadap kebangsaan, ditambah Dita sendiri yang menjadi imam bagi keluarga punya visi yang sempit soal agama.

Inilah menjadi sebab kenapa seluruh anggota keluarga Dita tidak membantah ketika Dita memutuskan untuk melakukan bom bunuh diri bagi seluruh anggota keluarganya dalam peristiwa bom Surabaya itu.

Bagaimana kita kembali pada rel yang sebenarnya  dalam menjalankan agama dan kehidupan berbangsa ?

Satu jawaban yang jitu adalah: kembalilah pada fitrah manusia yang diberi akal sehat oleh Allah sehingga bisa mempertimbangkan baik buruknya atau pantas atau tidaknya suatu pikiran atau sikap. Dengan begitu kita tidak akan terjebak dalam fanatisme sempit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun