Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang luar biasa. Terorisme juga merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan negara karena mengancam keamanan, kesejahteraan sesame manusia dan perdamaian pada umumnya.
Indonesia punya rentetan pengalaman menyakitkan soal terorisme dan korban-korban berjatuhan. Tak terkira kesedihan dan airmata yang sudah tumpah demi korban yang berjatuhan itu. Rentetan pengeboman terjadi di kediaman Dubes Filipina pada 1 Agustus 2000 , lalu di Bursa Efen Jakarta pada 13 September 2000, rangkaian bom Natal di Jakarta Desember 2000.
Yang tak terlupa dan maha dahsyat  terjadi Paddy's Cafe dan Sari Club Legian Kuta Bali pada 12 Oktober 2002 yang kita sebut Bom Bali I. Kejadian itu diingat public  bahwa jaringan terorisme sudah serius ada dan beroperasi di Indonesia.  Lalu ledakan di Mc Donald  Makassar pada 5 Desember 2002, ledakan dahsyat di hotel JW Marriot 5 Agustus2004 , bom di kedubes Australia pada September 2004 Bom Bali II ada Oktober 2005 serta bom di  JW Marriot dan Ritz Carlton pada 2009. Dan terakhir adalah bom Surabaya pada Mei ini.
Korban yang jatuh mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan jika terakumulai sejak tahun 2000, terdiri dari warga negara Indonesia dan warga asing.  Hal yang paling mendesak dalam konteks ini adalah pencegahan terhadap  ancaman terorisme.
Sejak 2000 sampai 2017 , kita berada di konteks perlindungan yang lemah terhadap terorisme karena payung hukum yang lemah terutama terhadap pencegahan terorisme. Aparat tak bisa menangkap seseorang atau kelompok jika masih merencanakan tindak terorisme. Padahal bahaya perencanaan itu sangat besar.
Apalagi sekarang dengan kemajuan teknologi, pihak-pihak yang sudah terpapar bahaya radikalisme dan terorisme sudah bisa diindentifikasi dengan mudah. Caranya dengan melakukan pemantauan menyeluruh. Jaringan-jaringan terorisme memang sering mengubah pola komunikasinya tetapi dengan cara yang canggih aparat rerata bisa mengidentifikasi mana jaringan yang  bisa berkembang dan tidak.
Upaya pencagahan ini penting , pertama untuk mencagah jatuhnya korban yang tidak bersalah karena tuduhan teroris yang acap tak berdasar, juga untuk memotong dan mengetahui jaringan komunikasi mereka. Jka upaya ini bisa maksimal, maka banyak pihak bisa terselamatkan.
Karena itu, upaya revisi UU no 15 tahun 2003 adalah hal penting untuk mengupayakan pencegahan bagi tindakan terorisme. Kita dianggap terlalu longgar terhadap terorisme. Revisi UU itu juga sudah memperhatikan Hak Asasi Manusia sehingga bisa dipertanggungjawabkan  jika bertindak atas nama hukum demi pencegahan terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H