Fotografi merupakan alat utama terutama dalam media cetak guna menyampaikan pesan atau berita secara visual. Karena dengan fotografi obyek akan terekam secara jelas dan nyata terhadap obyek berita. Namun dengan perkembangan teknologi dewasa ini fotografi telah mengalami kemajuan yang pesat, terutama didalam teknologi digital. Sebelum menapaki era teknologi digital tersebut fotografi melewati masa yang panjang sekitar akhir abad 19 sampai dengan awal abad 21 menggunakan media penyimpan gambar seluloid atau yang dikenal dengan film. Dengan menggunakan film pemotretan obyek dalam fotografi akan merekam sesuai apa adanya tanpa rekayasa. Namun dengan masuknya era digitalisasi, fotografi telah memasuki ranah komputerisasi, dimana data foto akan terekam secara digital, terproses secara cepat, dan tepat, namun rawan akan keaslian dan kemurnian obyek foto tersebut.
Pengaruh Digital Imaging sangat terasa dalam lingkup dunia fotografi digital. Perangkat lunak pengolah gambar memungkin sekali dalam mengolah image foto. Tentunya dengan perkembangan teknologi fotografi tersebut akan mempengaruhi kinerja dari para wartawan foto pada media cetak. Kecepatan pemrosesan data, serta pengiriman data melalui media internet sungguh sangat membantu wartawan foto dalam mengirimkan hasil liputannya. Jarak dan waktu bukan lagi halangan yang berarti.
Dengan kemudahan tersebut terjadi kerawanan dalam kualitas dan keaslian hasil foto. Karena dengan kecanggihan teknologi perangkat lunak pengolah gambar foto yang beredar sekarang memungkinkan bahwa foto yang ada sudah ada olahan tangan sang fotografernya. Sedangkan foto yang merupakan informasi berita seharusnya adalah gambaran asli dari kejadian yang direkam pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Dalam Undang Undang tentang Pers no 40 tahun 1999, pada ketentuan umum, disebutkan bahwa : Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Istilah jurnalistik berasal dari istilah jurnal yang berarti buku catatan tentang kegiatan sehari-hari yang dilakukan seseorang. Jurnalistik selalu berhubungan dengan berita yang tertulis. Atau proses penyampaian pesan tertulis kepada khalayak.
Jurnalistik adalah tindakan diseminasi informasi, opini dan hiburan untuk publik yang sistematik dan dapat dipercaya kebenarannya melalui media komunikasi massa modern (Roland E. Wolesely dan Laurence R. Campbell, 1949, A.Muis : 24). Seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama melaporkan berita. Kedua membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya. Berita ialah laporan tentang gagasan atau konflik yang baru terjadi, yang menarik bagi pembuat berita itu sendiri.
Wartawan foto tentunya tidak sekedar memotret obyek manusia sebagai sumber beritanya, tetapi juga apa yang menjadi latarbelakangnya. Karena foto akan banyak berbicara secara visual mengenai berita yang disampaikannya. Kemampuan teknis bagi seorang wartawan foto tentu sangat dibutuhkan, tidak hanya pengetahuan teknis dalam fotografi saja melainkan juga masalah psikologi dari obyek foto tersebut. Ada lima faktor yang membuat foto jurnalistik baik, antara lain isi (content), person, style, lokasi dan pencahayaan (lighting).
Foto jurnalistik yang baik dan berhasil akan selalu dapat menjawab siapa, apa, kapan dan bagaimana suatu kejadian berlangsung. Foto jurnalistik adalah foto yang merekam suatu berita, biasanya foto jenis ini terpasang di media cetak seperti koran atau majalah. (www.wikipedia.org). Foto jurnalistik pada dasarnya adalah menyampaikan berita yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak direncanakan atau yang sering disebut spotnews seperti misalnya foto terjadinya banjir, kebakaran, kecelakaan lalu lintas, gempa bumi di Jogjakarta, stunami di Aceh, demonstrasi, penggusuran, dan sebagainya. Sebaliknya foto yang dibuat untuk kejadian yang sudah direncanakan seperti foto-foto kegiatan Kenegaraan, Pemerintah, liputan Pekan Olah Raga Nasional disebut foto-foto yang berisikan berita-berita umum (general news).
Foto jurnalistik yang memberikan penekanan pada kegiatan suatu daerah dan terletak di halaman depan korang disebut foto-foto features. Jenis foto ini dapat membantu menceritakan keadaan yang lampau dan saat ini , misal foto Jakarta tempo dulu dan saat ini. Sedangkan jenis foto esei menceritakan suatu kejadian atau kegiatan yang berkesinambungan. Pembuatan foto jenis ini bisanya memerlukan waktu pembuatan lebih lama. Contoh foto-foto esei terdapat pada majalah seperti Jakarta-jakarta, Matra, National Geographic, Life dan Look.
Dalam fotografi jurnalistik, wartawan foto hendaknya mengedepankan isi dari pada tampilan visualnya. Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 menyebutkan :
Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Dengan adanya etika tersebut, wartawan foto setidaknya bebas dalam memotret obyek beritanya. Juga akan mencerminkan moral dari sang fotografer tersebut. Ia juga harus berdedikasi, dapat berkomunikasi baik terhadap subyek foto maupun terhadap editor fotonya. Namun yang menjadi filter terhadap hasil pemotretan dari para wartawan foto adalah dewan redaksi yang menentukan layak tidaknya sebuah foto ditayangkan. Disinilah terkadang berita-berita bisa muncul dengan foto yang kurang tepat dan termanipulasi.
Kejujuran wartawan foto dipertaruhkan, untuk tidak mencoba memanipulasi gambar, karena artinya akan mengubah fakta. Mengedit foto walau cuma sedikitpun akan mengubah fakta. Misal  sebuah ledakan atau kebakaran yang asapnya hanya sedikit, jangan dimanipulasi dengan menambahkan asap tebal agar kelihatan dramatis.
Salah satu contoh pelanggaran jurnalistik yang menghiasi awal abad 21 ini adalah kasus pelanggaran jurnalistik pada foto perang di Irak. Ini dilakukan oleh wartawan foto majalah TIMES yang bernama Brian Walski. Obyek foto adalah seorang tentara Inggris yang sedang bertugas mengamankan para pengungsi irak dari lokasi perang menuju pinggiran Basra. Brian Walski, fotografer yang memotret obyek tersebut mengakui bahwa hasil fotonya tersebut adalah rekayasa digital yang menggabungkan dua buah foto sedemikian rupa sehingga menjadikan sebuah foto yang dramatis dan tentu saja memilliki nilai jual. Ketentuan majalah TIMES melarang merubah isi dari sebuah foto jurnalistik. Karena kesalahan besar yang dilakukan Brian Walski, maka wartawan foto itu dipecat dari media tersebut.
Demikian juga yang terjadi pada kasus O.J. Simpson. Majalah TIME Domestic July 4, 1994, Volume 144, No. 1 Menampilkan covernya yang bertajuk : An American Tragedy. Disitu ditampilkan foto O.J Simpson dalam raut muka yang hitam kelam. Foto ini dipermasalahkan karena mengandung masalah rasialis Afrikan Amerika yang memang O.J. Simpson adalah merupakan turunan Negro Amerika.
Untuk itu peranan wartawan foto dan juga redaktur media turut menentukan keaslian dari foto yang ada tersebut. Untuk itu wartawan foto harus menyatu dengan kejadian obyek berita dan jangan berjarak, karena wartawan foto akan mewakili orang yang memandang foto tersebut. Foto yang baik adalah yang bisa membuat seseorang yang melihatnya merasa berada di dalam kejadian pada foto tersebut.
Satu foto merupakan seribu kata, atau satu gambar dengan sejuta arti. Tanpa harus banyak bercerita lewat kata, foto sudah mewakili sebuah fakta tertentu. Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, sudah selayaknya wartawan foto diberi kepercayaan kebebasan dalam mengeksplorasi foto berita tanpa meninggalkan etika.
(dihimpun dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H