Dengan adanya etika tersebut, wartawan foto setidaknya bebas dalam memotret obyek beritanya. Juga akan mencerminkan moral dari sang fotografer tersebut. Ia juga harus berdedikasi, dapat berkomunikasi baik terhadap subyek foto maupun terhadap editor fotonya. Namun yang menjadi filter terhadap hasil pemotretan dari para wartawan foto adalah dewan redaksi yang menentukan layak tidaknya sebuah foto ditayangkan. Disinilah terkadang berita-berita bisa muncul dengan foto yang kurang tepat dan termanipulasi.
Kejujuran wartawan foto dipertaruhkan, untuk tidak mencoba memanipulasi gambar, karena artinya akan mengubah fakta. Mengedit foto walau cuma sedikitpun akan mengubah fakta. Misal  sebuah ledakan atau kebakaran yang asapnya hanya sedikit, jangan dimanipulasi dengan menambahkan asap tebal agar kelihatan dramatis.
Salah satu contoh pelanggaran jurnalistik yang menghiasi awal abad 21 ini adalah kasus pelanggaran jurnalistik pada foto perang di Irak. Ini dilakukan oleh wartawan foto majalah TIMES yang bernama Brian Walski. Obyek foto adalah seorang tentara Inggris yang sedang bertugas mengamankan para pengungsi irak dari lokasi perang menuju pinggiran Basra. Brian Walski, fotografer yang memotret obyek tersebut mengakui bahwa hasil fotonya tersebut adalah rekayasa digital yang menggabungkan dua buah foto sedemikian rupa sehingga menjadikan sebuah foto yang dramatis dan tentu saja memilliki nilai jual. Ketentuan majalah TIMES melarang merubah isi dari sebuah foto jurnalistik. Karena kesalahan besar yang dilakukan Brian Walski, maka wartawan foto itu dipecat dari media tersebut.
Demikian juga yang terjadi pada kasus O.J. Simpson. Majalah TIME Domestic July 4, 1994, Volume 144, No. 1 Menampilkan covernya yang bertajuk : An American Tragedy. Disitu ditampilkan foto O.J Simpson dalam raut muka yang hitam kelam. Foto ini dipermasalahkan karena mengandung masalah rasialis Afrikan Amerika yang memang O.J. Simpson adalah merupakan turunan Negro Amerika.
Untuk itu peranan wartawan foto dan juga redaktur media turut menentukan keaslian dari foto yang ada tersebut. Untuk itu wartawan foto harus menyatu dengan kejadian obyek berita dan jangan berjarak, karena wartawan foto akan mewakili orang yang memandang foto tersebut. Foto yang baik adalah yang bisa membuat seseorang yang melihatnya merasa berada di dalam kejadian pada foto tersebut.
Satu foto merupakan seribu kata, atau satu gambar dengan sejuta arti. Tanpa harus banyak bercerita lewat kata, foto sudah mewakili sebuah fakta tertentu. Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, sudah selayaknya wartawan foto diberi kepercayaan kebebasan dalam mengeksplorasi foto berita tanpa meninggalkan etika.
(dihimpun dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H