Tradisi di Ponorogo, Jawa Timur dan sekitarnya, memasak dan memakan ketupat (diseput kupat) dilakukan pada hari ketujuh setelah lebaran. Lebaran di Kabupaten Ponorogo, tidak hanya dirayakan oleh umat Islam saja.
Warga Budhhis di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo juga menyediakan jajanan lebaran yang memiliki arti bahwa mereka membuka pintu, mempersilakan tamu untuk masuk. Hal tersebut menginspirasi Presidium Lintas Iman Ponorogo untuk melaksanakan "Kupatan Bebarengan" dengan tema "Nyawiji" di Pendopo Vihara Dharma Dwipa, Sodong, Ponorogo pada Sabtu, 23 Juni 2018.
Kegiatan yang dilaksanakan di pelosok Ponorogo yang berbatasan dengan Wonogiri ini tidak hanya dihadiri oleh umat Buddha dan Islam saja, namun juga dihadiri oleh umat agama lain, seperti Romo Skolastikus Agus Wibowo, Pr dari Stasi Klepu, Sooko, Ponorogo, yang beragama Katolik serta Suradi dari Penghayat Sapta Darma. Selain itu juga turut hadir perangkat desa Gelangkulon, perangkat kecamatan Sampung, serta Koramil dan Polsek Sampung.
Acara berjalan dengan diskusi yang dimoderatori oleh Ahmad Sauji, dengan narasumber Gus Muis, Gus Wida Jauhan, Romo Agus Wibowo, dan Suwandi Cittapanna. Acara ditutup dengan makan ketupat bersama serta doa yang dipimpin oleh Suradi dengan cara Sapta Darma.
Ahmad Sauji menjelaskan bahwa "nyawiji" yang bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti "bersatu", merupakan sebuah implementasi membangun dari persepsi, gagasan, dan iman serta tradisi yang berbeda, bukan untuk menyeragamkan menjadi satu namun bernaung dalam satu, yakni bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut, Gus Muis memberikan narasi bahwa manusia sejak lahir sudah diciptakan berbeda, bahkan orang kembar sekalipun, sehingga sudah tidak perlu dipaksa untuk menjadi sama, karena perbedaan merupakan sebuah kemutlakan.
Romo Agus Wibowo menambahkan, "Bersatu, didasarkan dari cinta kasih. Karena cinta kasih, membangun persaudaraan." Tuan rumah tempat diselenggarakan acara ini, yakni Suwandi Cittapanna menyiratkan hal senada, bahwa perbedaan tidak akan membawa kerukunan jika manusia terus memandang pada "sisi berbeda"-nya.
Adanya kesamaan, menghilangkan individualisme, menjadikan kerukunan itu ada. Jajaran Koramil dan Polsek Sampung sangat mendukung terselenggaranya acara ini karena membawa dampak persatuan yang lebih erat di wilayah Ponorogo.
artikel ini juga dimuat pada http://buddhazine.com/indahnya-vihara-dharma-dwipa-ponorogo-jadi-tuan-rumah-lebaran-bersama/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H