Piala Dunia U-20 FIFA 2023 adalah edisi ke-23 turnamen Piala Dunia U-20 FIFA. Turnamen ini sejatinya akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei hingga 11 Juni 2023 di Bali dan Jawa Tengah.
Satu dan lain hal membuat kompetisi ini tidak jadi dijadwalkan di Indonesia. Untuk memahami lebih dalam mengenai masalah ini, mari kita telaah siapa saja yang dirugikan ketika event ini batal dimainkan di Indonesia.
1. FIFA
FIFA yang membatalkan FIFA pula yang dirugikan, kok bisa? Menurut pendapat saya, alasan FIFA memilih Indonesia karena masyarakat Indonesia sangat antusias menyambut kejuaraan ini. Dari yang saya amati, masyarakat di Indonesia merasakan sensasi seolah Indonesia sedang mengikuti Piala Dunia level tim nasional (tim senior).
Apabila kejuaraan ini dilaksanakan di Eropa misalnya, kejuaraan ini bisa jadi sepi penonton karena masyarakat di sana tidak begitu antusias dengan kejuaraan kelompok umur. Mereka tidak begitu peduli dengan hasil pertandingan. Yang antusias mengikuti kejuaraan ini ya para pencari bakat dari klub besar ataupun pelatih tim nasional.
Berbeda dengan di Indonesia, antusiasme masyarakat bisa memberikan keuntungan tersendiri karena sikap heboh dari penonton Indonesia, baik yang menyaksikan di stadion langsung ataupun layar kaca. Engagement dan reach melalui media sosial tentang event ini akan sangat tinggi.
FIFA memang rugi jika batal menyelenggarakan di Indonesia, tetapi melihat kondisi Indonesia pada saat ini, mungkin mereka merasakan risiko yang diperoleh tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan. FIFA sudah ketok palu, dan sepertinya Argentina yang akan menjadi tuan rumah.
2. Para Pemain Indonesia U-20
Bisa dibilang mereka yang paling dirugikan karena kesempatan semacam ini belum tentu akan datang kembali. Ikut serta melalui jalur kualifikasi akan sangat sulit, dan akhirnya negara ini berhasil lolos melalui jalur tuan rumah. Hokky Caraka cs termasuk beruntung jika dibandingkan seniornya yang terdahulu.
Untuk hasil pertandingan sendiri sebenarnya tidak begitu menjadi masalah, karena ajang ini lebih fokus ke pencarian bakat-bakat baru. Syukur-syukur alumni dari kejuaraan ini bisa jadi andalan di timnas kelak, tetapi yang paling membahagiakan tentu mendapatkan tawaran dari klub-klub besar Eropa.
Kejuaraan ini tidak jadi diseleggarakan di Indonesia, tapi bukan berarti segalanya sudah berakhir bagi anak-anak muda ini. Kompetisi lain masih banyak baik di level klub ataupun negara, pencari bakat juga bukanlah orang-orang bodoh. Mereka juga memilih berdasarkan konsistensi dari pemain yang dituju.
Saya ambil contoh Alphonso Davies pemain muda dari Negara Kanada. Anak ini dibidik oleh pencari bakat Bayern bukan karena satu kompetisi kelompok umur semata, melainkan karena perkembangan, konsistensi, dan kemampuan yang dia miliki di lapangan hijau.
Saya rasa Hokky Caraka terlalu berlebihan saat menyudutkan Bapak Ganjar Pranowo. Tulisannya menunjukkan seolah karir sepakbolanya tamat ketika Piala Dunia U-20 batal diseleggarakan. Padahal batalnya Piala Dunia U-20 juga bukan karena statement Ganjar Pranowo semata.
3. Ganjar Pranowo dan PDIP
Agak mengarah ke politik, tapi saya rasa elektabilitas Ganjar Pranowo sebagai salah satu kandidat kuat presiden jelas mengalami penurunan setelah statement yang dia sampaikan beberapa waktu lalu. Saya sendiri sebenarnya tidak menyangka dengan apa yang dia katakan.
Entah memang itu dari isi hatinya langsung ataupun mungkin mengikuti kehendak partai, saya tidak tahu. Yang jelas beliau belum tentu menaklukkan hati kaum konservatif, tetapi beliau jelas kehilangan orang-orang yang secara natural akan memilihnya apa bila dia menjadi calon presiden. Hal ini juga berlaku ke PDIP.
PDIP di luar dugaan juga bisa sejalan dengan partai konservatif seperti PKS, karena beberapa kali delegasi dari Israel mengikuti berbagai kegiatan di Indonesia, yang mereka protes keras hanya ke Piala Dunia U-20 ini. Saya tidak tahu strategi apa yang sedang mereka jalankan, tetapi ini adalah blunder kalau menurut saya.
PDIP menggunakan alasan konstitusi, namun saya jarang dengar mereka berteriak ketika kasus penutupan rumah ibadah terjadi, sebenarnya ini ironis sekali. Di event ini, saya lihat orang-orang seperti Pak Ganjar, Pak Koster, ataupun orang-orang PDIP lebih "Arab" jika dibandingkan dengan orang-orang Arab itu sendiri.
Kita bisa lihat sikap Kedubes Palestina yang jauh lebih dewasa saat menanggapi keikutsertaan Israel di Pildun U-20 ini, bahkan beberapa bulan sebelum kejadian ini, Qatar yang tuan rumah Pildun 2022 menyambut hangat pengunjung dari Israel. Saya rasa tokoh politik Indonesia bisa belajar dari sikap Kedubes Palestina ataupun Qatar.
4. Pihak-pihak Terkait Penyelenggaraan Kejuaraan
Persiapan untuk event ini sudah dilakukan sejak jauh-jauh tahun. Saya kutip dari CNN, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp400 miliar untuk persiapan Piala Dunia U-20 2023 FIFA sejak 2020 yang lalu. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) yang ditugaskan merenovasi dua stadion utama dan 15 lapangan latihan juga mengeluarkan anggaran sebesar Rp 314,82 miliar.
Lalu, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga mengalokasikan dana sebesar Rp500 miliar demi persiapan Piala Dunia U-20 2023 FIFA. Dengan demikian, total kerugian dari gagalnya pelaksanaan Piala Dunia U-20 2023 FIFA bisa mencapai Rp1,4 triliun. Artinya di sini negara dirugikan karena pengeluarannya yang tidak kecil itu terbuang sia-sia.
Perhelatan Piala Dunia tentu berpotensi mendatangkan banyak kunjungan wisatawan luar, apabila event ini berhasil diselenggarakan dengan baik, akan menjadi nilai tambah buat aspek pariwisata di Indonesia. Saya melihat secara kesiapan juga sebenarnya sudah sangat baik, seperti kualitas stadion dan fasilitas penunjang lainnya. Maka dari itu dapat dikatakan kalau pariwisata di Indonesia dan pihak-pihak yang terlibat di sana mengalami kerugian yang sifatnya potensial.
Sikap anti semit yang ditunjukkan oleh Gubernur Koster ataupun Ganjar tentu memberikan citra buruk bagi para wisatawan asing, ini seolah menunjukkan kalau pemimpin dari negara ini adalah pemimpin yang rasis. Pemimpin kerap dijadikan representasi dari masyarakat itu sendiri, dengan kata lain masyarakat internasional melihat masyarakat kita sebagai orang-orang yang rasis. Label semacam ini bukanlah label yang baik kalau kita masih ingin eksis di pergaulan internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H