Mohon tunggu...
Evan Abel F. Napitu
Evan Abel F. Napitu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tidak ada yang berat di dunia ini, jika tidak diangkat 😁

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mikroskop Etika: Meneropong Kompleksitas Pendampingan Hukum Korban KDRT di Tanah Borneo

26 November 2024   18:50 Diperbarui: 26 November 2024   18:57 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Samarinda - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi momok yang menghantui masyarakat Kota Samarinda. Data Polresta Samarinda mencatat lonjakan kasus KDRT sebesar 40% sepanjang tahun 2023, dengan total 127 kasus yang dilaporkan. Namun, ini hanyalah puncak gunung es, mengingat masih banyak kasus yang tidak terlaporkan karena berbagai faktor sosial dan budaya.

"Banyak korban yang akhirnya mencabut laporan karena tekanan keluarga besar atau ketergantungan ekonomi," ungkap Rahmi Indriani, advokat senior di LBH Samarinda, saat ditemui di kantornya, Rabu (20/11/2024). Menurutnya, pendampingan kasus KDRT di Samarinda memiliki kompleksitas tersendiri karena beragamnya latar belakang budaya masyarakat.

Di kota yang dihuni oleh berbagai suku seperti Kutai, Banjar, Bugis, dan pendatang lainnya, penanganan KDRT tidak bisa mengabaikan aspek kearifan lokal. "Kami sering menghadapi dilema ketika tokoh adat meminta penyelesaian secara adat, sementara kasusnya sudah masuk ranah pidana," jelas Bambang Sudianto, Ketua PERADI Samarinda.

P2TP2A Kota Samarinda mencatat 60% korban KDRT adalah istri pekerja tambang atau industri. Ketergantungan ekonomi menjadi faktor utama korban enggan melanjutkan proses hukum. "Ada kasus di mana korban mencabut laporan karena suami adalah satu-satunya pencari nafkah. Ini membuat kami sebagai advokat berada dalam posisi sulit," tambah Rahmi.

Para advokat di Samarinda kerap menghadapi dilema etis dalam pendampingan kasus KDRT. Di satu sisi, mereka terikat kode etik profesi untuk membela kepentingan klien. Di sisi lain, ada pertimbangan dampak sosial dan masa depan anak yang harus diperhatikan.

"Kami pernah menangani kasus di mana korban mendapat ancaman dari keluarga besar pelaku. Mereka bahkan mendatangi kantor kami dan meminta proses hukum dihentikan," ungkap Fadli Rahman, advokat muda yang aktif mendampingi kasus KDRT.

Menghadapi kompleksitas tersebut, para advokat di Samarinda mengembangkan pendekatan yang mengintegrasikan hukum positif dan kearifan lokal. Koordinasi dengan P2TP2A, tokoh adat, dan psikolog menjadi kunci keberhasilan penanganan kasus.

"Kami membentuk tim khusus yang melibatkan tokoh adat dan konselor. Sebelum proses hukum, kami mengupayakan mediasi dengan pendekatan budaya setempat," jelas Bambang. Pendekatan ini terbukti efektif menurunkan angka pencabutan laporan hingga 30%.

LBH Samarinda bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan meluncurkan program "Dapur Mandiri" yang memberikan pelatihan keterampilan bagi korban KDRT. "Kemandirian ekonomi adalah kunci. Ketika korban punya penghasilan sendiri, mereka lebih berani mempertahankan hak-haknya," tegas Rahmi.

Melihat kompleksitas penanganan KDRT di Samarinda, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. PERADI Samarinda sedang menyusun protokol khusus pendampingan kasus KDRT yang mengakomodasi nilai-nilai lokal.

"Kami berharap protokol ini bisa menjadi panduan bagi advokat dalam menangani kasus KDRT, sekaligus melindungi kepentingan korban dan anak," tutup Bambang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun