Mohon tunggu...
Evan Farrel Tampubolon
Evan Farrel Tampubolon Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar di SMA Kolese Kanisius Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Kurikulum Merdeka Sudah Sesuai dengan Kondisi yang Ada di Indonesia?

9 November 2024   10:45 Diperbarui: 9 November 2024   11:08 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum Merdeka muncul sebagai solusi inovatif atas tantangan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam menanggapi dampak pandemi terhadap proses belajar mengajar. Kurikulum ini diperkenalkan untuk memberikan lebih banyak fleksibilitas kepada guru dan mengutamakan pengembangan karakter siswa melalui pembelajaran berbasis proyek. Meskipun banyak yang mengapresiasi tujuan positif dari kurikulum ini, namun banyak pula yang mengkritiknya. Sebagian menilai bahwa Kurikulum Merdeka justru membebani guru, karena harus lebih proaktif dalam mengelola materi ajar yang tidak lagi diatur secara ketat oleh pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, khususnya di kalangan guru di daerah dengan keterbatasan fasilitas, yang merasa tidak mampu melaksanakan kurikulum ini secara efektif. Dengan tantangan dan ekspektasi yang tinggi, Kurikulum Merdeka telah memicu perdebatan tentang apakah kurikulum ini benar-benar menjadi solusi, atau justru menjadi beban tambahan bagi guru.

Dibandingkan dengan Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada guru untuk merancang metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Di satu sisi, Kurikulum Merdeka memungkinkan guru untuk memilih perangkat dan pendekatan pembelajaran yang dianggap paling efektif, sedangkan Kurikulum 2013 memiliki standar yang lebih kaku. Namun, kebebasan ini justru dapat menjadi pedang bermata dua. Dalam Kurikulum Merdeka, guru dituntut untuk melakukan penilaian, perencanaan yang berbeda, dan menyusun proyek yang relevan dengan Profil Siswa Pancasila, yang semuanya membutuhkan kreativitas dan pengetahuan yang mendalam. Hal ini sulit bagi guru yang tidak memiliki pelatihan khusus atau akses ke sumber daya yang memadai. Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, fleksibilitas Kurikulum Merdeka mungkin bermanfaat bagi guru di sekolah dengan fasilitas dan pelatihan yang memadai, tetapi dapat menjadi beban bagi guru di daerah terpencil yang belum siap menghadapi tuntutan tersebut.

Bayangkan seorang guru di daerah terpencil yang harus mengajar kelas besar dengan fasilitas minim dan akses internet terbatas. Di tengah kondisi yang serba terbatas tersebut, ia dituntut untuk menerapkan Kurikulum Merdeka yang mengharuskannya melakukan asesmen awal, membuat pembelajaran yang berbeda, dan menyusun proyek berdasarkan profil Pancasila. Dalam situasi seperti ini, guru bisa jadi merasa kewalahan karena harus membuat rencana pembelajaran yang lebih kompleks dari kurikulum sebelumnya. Tanpa adanya pelatihan dan dukungan yang memadai, harapan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka terasa berat dan membuatnya ragu apakah ia mampu memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai tuntutan kurikulum ini. Akibatnya, peserta didik di sekolah tersebut tidak mendapatkan pembelajaran yang optimal, meskipun memiliki niat yang baik, dan potensi kurikulum ini belum sepenuhnya tercapai di sana.

Di beberapa sekolah di daerah terpencil, penerapan Kurikulum Merdeka terbukti penuh tantangan. Misalnya, guru-guru di sekolah-sekolah terpencil sering kali tidak memiliki cukup waktu atau sumber daya untuk melakukan asesmen yang mendalam. Banyak dari mereka yang akhirnya kembali ke metode pengajaran tradisional yang kurang beragam, karena merasa tidak mampu memenuhi tuntutan pembelajaran yang fleksibel dan berbasis proyek. Selain itu, proses pengelompokan siswa berdasarkan kemampuannya sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum Merdeka sulit diterapkan di kelas-kelas besar yang heterogen. Hal ini menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka yang secara teori menawarkan pendekatan yang lebih personal kepada siswa, dalam praktiknya justru menyulitkan guru di lapangan untuk memberikan perhatian yang seharusnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa.

Menurut pendapat saya, penerapan Kurikulum Merdeka di Indonesia memerlukan evaluasi yang lebih mendalam terkait kesiapan tenaga pendidik dan sarana prasarana di berbagai daerah. Meskipun konsepnya sesuai dengan tantangan pendidikan modern, kurikulum ini hanya akan berhasil apabila didukung oleh program pelatihan dan sarana yang memadai. Banyak guru di daerah yang mengaku belum memiliki kapasitas untuk mengelola pembelajaran yang beragam, asesmen yang melatih pemikiran kritis, dan proyek berbasis karakter secara Merdeka. Kurangnya kesiapan ini berpotensi menimbulkan disparitas mutu pendidikan antara sekolah di kota besar dengan di daerah pedesaan. Oleh karena itu, sebelum diterapkan secara penuh, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu mengidentifikasi kebutuhan dan memberikan dukungan yang diperlukan di lapangan, agar tujuan Kurikulum Merdeka dapat terwujud secara efektif.

Penerapan Kurikulum Merdeka tanpa persiapan yang memadai ibarat menanam pohon di tanah yang belum dipersiapkan. Pohon yang berpotensi tumbuh besar dan memberikan banyak manfaat tersebut membutuhkan tanah yang subur dan terawat agar dapat tumbuh dengan baik. Begitu pula dengan Kurikulum Merdeka yang membutuhkan persiapan yang matang dari segi sumber daya, pelatihan, dan infrastruktur agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi pendidikan di Indonesia. Jika tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, kurikulum ini bisa jadi tidak akan berkembang dan menghasilkan perubahan yang diharapkan dalam dunia pendidikan, dan justru menambah beban guru di lapangan.

Kurikulum Merdeka menawarkan kebebasan yang luas dalam mengelola pembelajaran, sehingga guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyesuaikan metode mengajar sesuai dengan kemampuan siswa. Namun, kebebasan ini juga menuntut guru untuk lebih berperan dalam memilih perangkat pembelajaran dan merancang kegiatan pembelajaran yang beragam, yang bagi sebagian guru justru menimbulkan kebingungan. Proses asesmen awal yang mendalam, perencanaan untuk berbagai jenis pembelajaran, dan pelaksanaan proyek berbasis karakter membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian. Selain itu, alokasi jam belajar dalam Kurikulum Merdeka yang ditetapkan setiap tahunnya membutuhkan perencanaan yang rinci dari pihak sekolah, yang tidak selalu mudah dilakukan, terutama di sekolah dengan keterbatasan fasilitas. Pada akhirnya, kurikulum ini menawarkan potensi yang besar, tetapi juga menghadirkan tantangan besar dalam pelaksanaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun