Mohon tunggu...
Joseph Evan Desrin
Joseph Evan Desrin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Dari Bekasi ke Merto untuk Dunia

Baca, Nulis, Upload

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit yang Runtuh

4 April 2022   11:49 Diperbarui: 4 April 2022   12:05 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menghempaskan tubuhku ke sofa di Ruang Tamu, sambil mengingat-ingat rangkaian kejadian yang terjadi. Semua bermula ketika hari Selasa pukul 13:48, itu merupakan siang yang cerah dan matahari bersinar dengan terang, udara hangat memenuhi rumah yang cukup besar ini. Aku tinggal sendiri sambil menunggu Ibu yang sedang pergi ke tukang sayur depan gang. Tiba-tiba aku melihat Ibu yang baru pulang setengah berlari dan langsung masuk menaruh belanjaannya serampangan dan duduk disisiku. Aku yang masih bingung ingin menanyakan apa yang terjadi, saat aku ingin membuka mulut, Ia langsung menangis tersedu-sedu. Aku mencoba memahami situasi dengan membuka pembicaraan. 

“Mah, kenapa?” tanyaku singkat, sambil sebisa mungkin menangkap makna dari setiap patah kata yang keluar bersamaan dengan isak tangis.

“Ayahmu nak, pergi dengan si Santi, mereka pergi ke Surabaya untuk urusan bisnis. Ternyata, mereka lari ke Bali. Ayahmu selingkuh dengan Santi…” katanya sambil menahan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Aku tercekat mendengar kata-katanya, terutama kata terakhir yang diucapkannya dengan tersedak. Santi adalah sekretaris pribadi Ayahku yang seorang direktur di salah satu perusahaan swasta di Ibukota. Tetangga kami sering bergunjing mengenai status Ayah dan Santi yang dianggap terlalu dekat. Tetapi, Aku dan Ibu hanya menanggapinya sederhana dan mengabaikan isu yang ada dan mengatakan jika Ayah pasti setia. Tapi isu itu menjadi benar setelah salah satu tetangga melihat di Bandara Soekarno-Hatta, Ayah dan Santi berjalan berduaan menuju gerbang dengan tujuan Bali.

Aku tak dapat berkata-kata, mulutku seolah-olah terkatup, ribuan pikiran melayang-layang di kelapaku. Tiba-tiba, ada sebuah Innova hitam yang parkir depan rumah kami, aku hendak mengusirnya tapi muncul sekelompok orang berpakaian seperti preman turun dan terlihat berkumpul untuk pengarahan.

“satu, dua, tiga, empat…..” kucoba hitung berapa jumlah mereka dari jendela rumah yang cukup lebar, ada 10 jumlah mereka, kulihat ada beberapa yang memakai pistol di saku celana dan 4 orang membawa senjata tajam. Sejurus kemudian, salah seorang dari mereka masuk ke halaman dan mengetuk pintu rumah kami. Aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu.

“Ya, ada apa? Apa yang bisa saya bantu?” kataku setenang mungkin, mengenyampingkan hati yang masih hancur dan nyali yang tidak ada menghadapi segerombolan preman. 

“Ini rumah dari Bapak Agus?” tanyanya sopan.

“Iya, ada apa ya pak?” jawabku penuh kebingungan.

“Gini Bu, Pak Agus mempunyai hutang senilai 150 juta rupiah, dirinya berjanji untuk mulai mencicil hutangnya dari tanggal 11, tapi hingga sekarang belum ada laporan Ia mulai mencicil hutangnya, sementara menurut perjanjian hutang itu harus lunas dalam 2 bulan, jika tidak terpaksa rumah ini harus kami sita” Jelasnya panjang lebar.

Aku tak bisa berkata-kata mendengarnya. “Tapi Pak, izinkan pelunasannya diundur, karena Pak Agus tidak ada disini, dirinya lari bersama selingkuhannya, disini hanya ada saya dan Ibu saya yang sudah tua, Saya memiliki gaji yang tetap, akan saya usahakan mencicil hutangnya, tapi tolong batas pelunasannya diundur.” Kataku mengharapkan rasa kasihan dari sosok yang bengis dihadapanku.

“Hahh…..” Ia menghela nafas panjang, “Ya sudah tapi tepati janji anda dan mulailah mencicil bulan depan, jika tidak rasakan akibatnya” katanya mengancam seraya mengkomando anak buahnya untuk mundur dan Ia pamit tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku menghela nafas panjang sambil menutup pintu. Aku melihat Ibu yang masih tertunduk di ruang tengah, mendengar semua percakapanku dengan preman-preman itu.

“Memang benar kata tetangga” Ibuku memulai pembicaraan setelah hening sesaat “Ia main wanita dan berjudi ketika di Singapura.” Aku semakin tak bisa berkata-kata, berusaha menyambungkan rangkaian peristiwa yang baru saja terjadi kurang dari 1 jam ini. Langit runtuh seolah tak mengenal waktu.

Keesokan harinya saat matahari masih belum menampakan dirinya dengan sempurna, Aku mendengar suara ketukan pada dinding kamarku yang bersebelahan dengan kamar Ibu. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengetuk kamarku yang ada di sebelah kamarnya. Aku bergegas masuk dan mendapati Ibu yang terbujur kaku di kasurnya yang berukuran king size itu. aku segera menelpon Rumah Sakit dan mengatakan Ibu tidak bisa beranjak dan ini darurat. Lalu, pada ujung telepon mengatakan dengan ramah akan mengirimkan satu unit ambulan yang akan segera datang dalam waktu 10 menit. 

Aku berusaha menenangkan diri dan menenangkan Ibu yang panik. Sepuluh menit terasa seperti berhari-hari. Suara sirine memecah keheningan kami, aku langsung menyerbu keluar dan mengantar petugas itu ke kamar untuk membawa Ibu. Ambulan melesat cepat ke rumah sakit menembus kemacetan Ibukota dengan tenangnya. 

Sesampainya disana, aku langsung melesat masuk ke IGD, disana rangkaian alat canggih sudah menunggu. Aku diminta keluar dulu sesaat dan akan diberi tahu hasilnya jika sudah. Aku mengangguk patuh dan mengeluarkan ponselku untuk izin cuti karena kasus darurat. Untungnya bosku bisa perhatian dan mengabulkan permohonanku yang tiba-tiba itu. 

Tak terasa satu jam sudah berlalu dari masuknya Ibu kedalam IGD. Dokter pun keluar membawa setumpuk kertas pada papan, dirinya menghampiri aku dan memandangku dengan rasa iba.

“Dengan nyonya Indah?” tanyanya ramah.

“Iya? Ibu kenapa ya Dok?” jawabku segera .

“Ibu anda sekarang sedang kritis, dia terkena stroke karena stress yang besar, dirinya harus menginap disini sekitar beberapa hari lagi.” jawab sang dokter dengan tenang

Diriku seperti tersambar petir di siang bolong. “Menginap beberapa hari disini berarti semakin banyak uang yang harus dikeluarkan, bagaimana caraku mendapatkan uang itu?” pikirku. Sekarang gajiku hanya sisa beberapa ratus ribu karena membayar cicilan hutang ayah yang sangat besar itu. 

“Dok, apakah bisa diberikan keringanan, karena situasinya sedang sangat sulit dan saya tidak memegang uang sepeserpun.” jawabku mengiba, mengharapkan belas kasihan dari sang Dokter turun.

“Bu, saya faham situasi Ibu, tapi jika demikian, bagaimana Ibu anda bisa sembuh.” Jawabnya segera.

Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang dan mengiyakan katanya, dengan harapan katanya bisa menjadi kenyataan. Kami langsung dibawa ke kamar rawat inap di lantai 2 gedung tersebut. Aku meninggalkan Ibu yang masih tidak sadarkan diri untuk kembali ke rumah membereskan rumah dan membawa pakaiannya.

“Semoga langit tidak kembali runtuh.” harapku ketika dalam perjalanan kembali ke rumah.

Sebulan kemudian, Ibu sudah dapat kembali ke rumah, aku bergembira karena gajiku tidak harus menanggung biaya rumah sakit yang sedemikian besarnya dan mulai membayar cicilan hutang Ayah sambil merawat Ibu. Ketika sedang ada di ruang tamu untuk bekerja, aku melihat sekilas dari jendela rumah, sebuah mobil Fortuner hitam memarkirkan diri ke sisi rumah. Aku memandang curiga apa yang akan dilakukannya sambil berjaga-jaga jika langit hendak runtuh kembali. Benar saja, itu adalah Ayahku bersama sekretarisnya. 

“Ya Tuhan, apa yang mereka inginkan sekarang?” Kataku ketika melihat mereka berjalan menuju pintu. Dendam dan patah hati kembali membakar diriku “Akan ku buat mereka hancur berantakan seperti yang aku alami saat ini!!” kata pikiranku.

Sesaat kemudian aku mendengar suara pintu kayu yang diketuk. Enggan rasanya diri ini untuk bangkit, tapi harus Aku lakukan jika ingin terlihat menang. Aku menarik pintu itu sebagian, dan memunculkan kepalaku saja untuk menyambut mereka.

“Kenapa?” dengan ketus aku bertanya.

“Kami ingin menjumpai Ibu.” jawab Ayah dengan singkat tanpa ekspresi.

“Ibu tidak mau ditemui oleh bajingan yang menduakan keluarganya!” kataku sambil setengah marah.

“Ya sudah, sampaikan ini kepada Ibumu ya.” Sambil menyerahkan amplop coklat, dan membalikan badan.

Aku langsung membanting pintu dan pura-pura berjalan ke dalam sambil mengintip apa yang akan mereka lakukan. Ternyata, seorang bajingan tetaplah bajingan, dengan beraninya mereka berciuman mesra di depan rumah ini. Rumah yang dibangun dengan harapan menjadi tempat bernaungnya keluarga yang utuh dan bahagia. Sementara yang mereka lakukan sekarang adalah menghancurkan simbol yang agung itu.

Aku tak dapat berkata-kata melihati itu, air mata meleleh di kedua mataku. Kucoba buka bungkusan amplop itu dan ku temukan sebuah surat cerai dengan tanda tangan Ayah yang sudah dibubuhkan disertakan pula puluhan foto mereka ketika sedang berduaan di Bali kala itu. 

“Bangsatttt!!” ucapku lirih melihat hal itu. Hanya itu yang bisa aku katakan, meski pikiranku penuh dengan rangkaian kata-kata kasar.

“Apa yang mereka inginkan? membunuh Ibu dengan surat ini atau membunuhku atau malah kami berdua ingin mereka bunuh dengan surat dan foto ini?” Pikirku

Tak terhitung berapa menit yang terbuang karena hal ini terjadi pada pagi yang cerah ini. Tak terhitung banyaknya tetes air mata yang keluar dari kedua mata ini. Kurasa, jika keduanya digabungkan, bisa untuk waktu menjelajahi seluruh hutan Amazon yang airnya dari air mataku.

Terbesit niat dalam hatiku untuk mengakhiri ini semua dengan bunuh diri, tapi apa yang akan terjadi berikutnya. Masalahnya tidak selesai, Ibu juga tidak juga sembuh, Hutang tidak juga lunas, dan Ayah tidak mungkin kembali.

Aku berdiri tegak, menatap dengan pasti, berjalan dengan berani. Aku membuka kamar Ibu dengan mantap. Menyerahkan amplop itu tanpa sepatah kata pun. 

Ibu menatapku kebingungan. Membukanya dengan pelan dan membacanya dengan pasti. Selesainya surat itu dibaca, sesuai dengan prediksiku. Ia shock berat dan jantungnya melemah dan ……. keheningan itu kembali muncul. Ibu tiada, rencanaku selesai satu, sekarang sisa satu lagi. Rencana yang sesuai dengan keinginan mereka, yaitu menghabisi diriku, anaknya sendiri.

Aku langsung mengemasi baju-bajuku, secepat kilat menyambar kunci mobil dan tancap gas pergi dari sini untuk selama-lamanya. Aku tak tahu harus pergi kemana, aku hanya ingin pergi secepatnya dari tempat yang menjijikan ini tak peduli semua kenangannya.

Berita tentang diriku hingar bingar di media selama setahun penuh. Aku menjadi pelarian dari kota ke kota, dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari uang dengan tubuhku. Mencoba bertahan hidup dengan apa yang ku punya satu-satunya. Tapi, aku selalu berdoa kepada Yang Empunya Hidup untuk memohon pengampunannya dan berharap kehidupan yang sengsara ini bisa berubah.

Itulah Aku, Dewi Permata Indah, nama yang indah bukan? Kejadian itu terjadi sekitar 2 tahun yang lalu, masih segar pada ingatanku dan akan selalu begitu. Masa lalu selalu menghantui pikiranku dimanapun kepalaku menyandarkan kepala. Ayah dan selingkuhnya hidup makmur di negeri seberang, ibu tenang disisi Yang Kuasa, sementara Aku, sengsara dan kepedihan adalah makanan sehari-hari bagiku. Ku harap kalian yang membaca ini bisa mengetahui masa laluku yang kelam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun