Mohon tunggu...
Evan Christ P
Evan Christ P Mohon Tunggu... Editor - SMK FLORA BEKASI

Saya adalah seorang Writer dan Design Editor, saya memiliki hobi untuk sejarah dan sosial, fiksi dan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Nuklir: Warisan Sejarah, Bayang-Bayang Kehancuran

16 September 2024   00:24 Diperbarui: 16 September 2024   02:49 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Oleh: Evan Christian Purnomo)

J. Robert Oppenheimer, fisikawan Amerika Serikat sekaligus Bapak Bom Atom dunia pernah mengucapkan kalimat yang fenomenal "We knew the world would not be the same. A few people laughed, a few people cried. Most people were silent". Kalimat ini ia kemukakan sehubungan dengan perannya dalam Proyek Manhattan, inisiatif rahasia pemerintah Amerika Serikat (AS) pada 1942 di Los Alamos, New Mexico. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan senjata nuklir pertama di dunia. 

Di bawah kepemimpinan ilmiah Oppenheimer, tim ilmuwan dan insinyur berhasil merancang dan membuat bom atom, yang uji cobanya pada Juli 1945 dikenal sebagai "Trinity Test." Kesuksesan ini memicu penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sebuah tragedi yang menimbulkan ratusan ribu korban jiwa, namun sekaligus menjadi peristiwa yang mengakhiri Perang Dunia II. Sebuah era baru dalam geopolitik global dengan ancaman nuklir sebagai fokus utama keamanan dunia.

Meskipun serangan nuklir ini mempercepat akhir perang, tetapi penggunaannya tetap menimbulkan perdebatan moral yang sangat mendalam. Bahkan kepada penemunya Oppenheimer- yang memiliki keraguan moral terkait penggunaan senjata nuklir . Pengaruh serangan bom atom AS ini turut berdampak pada aspek sosial dan politik pasca perang. Pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera menyusul untuk mempromosikan perdamaian dan menghindari konflik global. 

PBB menjadi forum penting untuk membahas pelucutan senjata nuklir dan pencegahan proliferasi, upaya kontrol senjata nuklir segera dimulai, salah satunya adalah Rencana Baruch yang diajukan Amerika Serikat ke PBB. Namun, penolakan Uni Soviet atas rencana ini menandai awal perlombaan senjata nuklir selama Perang Dingin (1947--1991). Perlombaan ini didasarkan pada konsep Mutually Assured Destruction (MAD), yang memastikan bahwa serangan nuklir dari satu pihak akan dibalas dengan kehancuran total kedua belah pihak. Krisis Misil Kuba pada 1962, di mana Uni Soviet menempatkan rudal di Kuba, menjadi titik ketegangan terbesar. Konflik ini berhasil diselesaikan dengan kesepakatan penarikan rudal dari Kuba dan Turki.

Akhir Perang Dingin pada 1991 ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet dan penandatanganan perjanjian START, yang membatasi jumlah senjata nuklir antara AS dan Rusia. Di abad ke-21, Perjanjian New START (2010) membatasi hulu ledak nuklir yang dikerahkan oleh kedua negara hingga 1.550 unit, menjaga stabilitas strategis. Namun, ancaman proliferasi tetap ada, dengan Korea Utara dan Iran terus menjadi perhatian utama. Pada Januari 2021, Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) mulai berlaku, bertujuan melarang senjata nuklir secara global. Meskipun belum ditandatangani oleh negara-negara pemilik nuklir, traktat ini mencerminkan komitmen internasional untuk disarmament nuklir. 

Meski menghadapi berbagai tantangan, upaya global untuk mengurangi ancaman nuklir dan memastikan stabilitas terus berlanjut. Dewasa ini, masyarakat global jauh lebih aktif mengupayakan perdamaian dengan jalur-jalur non-proliferasi nuklir. Membuat dunia kita seakan terasa lebih damai dari dunia ketika banyak negara mengupayakan perang untuk menunjukkan kekuatannya. Namun mengapa kita harus tetap waspada terhadap ancaman nuklir di abad ke-21? 

Korea Utara telah menjadi perhatian global utama karena kemajuan pesat dalam kemampuan senjata nuklir dan misilnya, termasuk pengembangan rudal balistik antarbenua (ICBM) dan bom hidrogen. Pada 2023, Korea Utara meluncurkan ICBM terbaru yang bisa mencapai Amerika Serikat dan mengembangkan drone bawah laut dengan kemampuan nuklir pada Januari 2024, meningkatkan kekhawatiran tentang ancaman terhadap negara-negara NATO dan wilayah pesisir.

Meskipun ancaman langsung terhadap Eropa belum jelas, kemampuan ICBM Korea Utara menambah kekhawatiran bahwa rudal tersebut dapat diarahkan ke Eropa jika terjadi eskalasi, memicu peningkatan pengeluaran pertahanan di antara negara-negara NATO dan pengembangan sistem pertahanan rudal di Eropa, Negara-negara sekutu AS seperti Jepang dan Korea Selatan juga rentan terhadap serangan nuklir, yang dapat memperluas konflik global jika melibatkan AS dan NATO. NATO merespons dengan memperkuat kerjasama militer dan pertukaran intelijen dengan Jepang, Australia, dan negara-negara Asia lainnya untuk menghadapi potensi ancaman nuklir. Ketidakstabilan yang ditimbulkan oleh Korea Utara juga berdampak pada negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Singapura, dan Filipina, yang terancam gangguan perdagangan dan dampak pengungsian besar-besaran akibat konflik nuklir di Asia Pasifik. Cina dan Rusia, meskipun memiliki hubungan diplomatik dengan Korea Utara, menghadapi dilema. Cina khawatir tentang stabilitas di Semenanjung Korea dan dampak potensial terhadap perbatasannya, sementara Rusia cemas bahwa eskalasi konflik dapat memperburuk ketegangan internasional dan mempengaruhi hubungan dengan negara-negara Barat. Kedua negara mendorong diplomasi untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, sambil menyeimbangkan dukungan terhadap Korea Utara dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas regional dan kepentingan geopolitik mereka.

Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dengan Korea Utara, ancaman nuklir di Semenanjung Korea tetap penting bagi Indonesia. Ledakan nuklir dapat memicu bencana kemanusiaan, lingkungan, dan ekonomi yang meluas, dengan radiasi yang dapat mencemari udara, air, dan sumber daya alam di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Kontaminasi ini berdampak pada kesehatan masyarakat dan lingkungan. Selain itu, ketidakstabilan di kawasan Asia-Pasifik, yang merupakan jalur perdagangan utama, dapat mengganggu perdagangan internasional dan mempengaruhi ekonomi Indonesia, yang sangat bergantung pada perdagangan global. 

Jika Indonesia tidak mendukung upaya perdamaian dan non-proliferasi nuklir, hal ini dapat melemahkan posisinya dalam diplomasi internasional. Sebagai anggota ASEAN dengan pengaruh signifikan di kawasan, Indonesia memiliki peran penting dalam mendorong stabilitas regional. Mengabaikan isu ini dapat mengakibatkan isolasi diplomatik dan menurunkan kemampuan Indonesia untuk berperan dalam keamanan global serta mengurangi kepercayaan negara-negara lain dalam kolaborasi di bidang pertahanan, teknologi, dan diplomasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun