Perempuan yang baru saja bulan kemarin dirayakan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat oleh murid-muridnya itu pagi ini sedang terdiam duduk di sebuah kursi tua yang terletak di samping rumahnya. Di dekatnya terdapat meja kecil tempat ia meletakkan secangkir kopi yang sudah hangat-hangat kuku. Sebentar-sebentar ia seruput lalu diletakkannya kembali ke atas meja. Pandangannya kosong dan di dalam kepalanya semua hal terlihat begitu rumit dan amburadul.Â
Hari ini sudah tak terhitung berapa kali handphonenya berdering dengan nomor panggilan tanpa nama atau terkadang terdeteksi oleh aplikasi Get Contact dengan nama yang aneh-aneh. Perempuan itu tahu dari mana panggilan yang setiap hari hampir puluhan kali berdering meski tanpa nama. Pinjaman online yang sudah berkali-kali dilakukannya membuatnya sudah bosan menerima teror panggilan yang mengatasnamakan banyak pihak. Terkadang memang asli penipu, atau tak jarang juga memang Debt collector dari aplikasi pinjaman yang dipakainya. Panggilan itu seringkali berdering di tanggal melebihi batas tagihan pembayaran, itulah kenapa ia tak pernah mengangkatnya sama sekali.Â
"Mbakyu, ini apa? kenapa ada whatsapp nagih hutang?" Suatu hari ia menerima pesan dari adik laki-lakinya. Ia menanggapinya dengan berpesan agar tak perlu khawatir dan abaikan saja karena biar itu menjadi urusannya, adik laki-lakinya tak perlu ikut campur.Â
Ia tak berencana untuk meminta tolong siapapun, bahkan kepada dua saudara laki-lakinya yang menganggur. Ya, anggap saja keduanya pengangguran. Padahal memiliki dua saudara laki-laki seharusnya bisa diandalkan dan ia tinggal hidup tentram berada di antara keduanya sebab ia satu-satunya saudara perempuan yang diapit, tapi kenyataan berkata lain.Â
Sepeninggalan kedua orang tuanya mereka bertiga seperti kehilangan arah. Kakak laki-lakinya yang cukup pendiam tak begitu memiliki banyak inisiatif dalam dunia kerja, ia mulai menganggur sejak setoran bulanan ke perusahaan tak bisa dipenuhinya dua tahun lalu. Sebagai penerus pekerjaan bapaknya menjadi agen koran dan majalah yang membutuhkan keahlian marketing dalam menjajakan keduanya, ia tergolong tak lihai sama sekali. Itulah kenapa oplah koran semakin hari semakin menurun dan di tahun kedua setelah kematian bapak ia memutuskan berhenti.Â
Adik laki-lakinya mungkin tak sependiam kakaknya, ia mampu berkomunikasi dengan baik dan memiliki kepribadian supel sehingga orang akan terlihat nyaman berada di dekatnya. Sayangnya ia sama sekali tak berminat meneruskan pekerjaan bapaknya, ia lebih senang bekerja serabutan. Beberapa kali ia mengambil pekerjaan borongan bangunan, sesekali diajak menata panggung pengajian, tetapi ia lebih sering mengerjakan sawah milik orang dan sesekali memanen jeruk nipis di kebon.Â
Perempuan itu bernama Merida, seorang guru honorer swasta yang bekerja dengan gaji tak seberapa. Terhitung sudah enam tahun lamanya ia berprofesi sebagai guru di salah satu madrasah di desanya, sehari-hari ia pergi mengajar mengendarai sepeda ontel dengan jarak tempuh sekitar tiga kilometer. Sejak usianya menginjak pertengahan dua puluhan hingga kini tiga puluhan awal ia menjalani profesi ini dengan berbagai lika liku drama, ia mencoba bertahan sebisa mungkin meskipun banyak sekali yang dikeluhkan nya.
Profesi guru honorer swasta diambilnya ketika bapak masih ada. Ia yang sebelumnya bekerja di tempat yang jauh dengan gaji yang lumayan memutuskan untuk pulang karena merasa ibah dengan kedua laki-laki di rumahnya. Sepeninggalan ibunya rumah menjadi begitu kosong dan sepi, tinggal bapak dan kakak laki-laki pendiamnya yang menghuni, sedang ia dan adiknya memutuskan untuk keluar. Melihat kondisi itu Merida mendengarkan panggilan hatinya untuk kembali pulang menemani bapak di rumah.Â
"Nduk, kamu gak apa-apa kalau mau kerja di luar, bapak ndak nyuruh pulang." Suatu pagi di teras rumah laki-laki berusia kepala enam dengan uban di seluruh rambutnya itu menghampiri putrinya yang tengah menyiram bunga-bunga, seketika Merida menghentikan aktifitasnya dan menatap bapaknya lekat-lekat.Â
"Gak apa-apa, pak. Ida memang sudah waktunya untuk pulang." Ada rasa kecewa yang disembunyikan, tetapi ia tak mau bapak mengkhawatirkannya.Â
"Wong katanya masih banyak yang ingin kamu raih, nduk. Kok tiba-tiba malah pulang."Â
"Lah kalau Ida ndak pulang, terus bapak mau dimasakin siapa di rumah? Ida sudah kesal sama tetangga yang bikin gosip gak sedap tentang bapak." Ia meluapkan kekesalannya sambil menghampiri bapak yang sedang duduk di badug depan rumah.Â
"Gosip opo to, nduk?" Merida ingin menjawabnya, tapi urung. Ia masih teringat dengan ucapan orang-orang di welijo beberapa bulan lalu ketika pulang untuk liburan. Ia mendengar dari orang lain katanya bapaknya berselingkuh dengan tetangga belakang rumah yang setiap hari masak di rumah setelah berbulan-bulan kematian ibu. Tak hanya itu, orang lain juga banyak membicarakan dirinya sebagai anak perempuan satu-satunya yang seharusnya bisa diandalkan sebagai ganti ibunya di rumah. Mendengarnya tanpa berpikir panjang Ida memutuskan untuk  pulang dari perantauan dan menuruti usulan bapak untuk melamar menjadi guru di salah satu madrasah swasta di desanya.Â
Tahun pertama mengajar semuanya berjalan lancar sebab ada bapak yang mengantar jemput sekolah, menyokong kebutuhan belanja dapur, dan juga menyemangatinya. Bapak sangat senang dengan profesi ini meski dirinya sendiri tak pernah terjun di dunia pendidikan. Katanya ia seperti bernostalgia dengan masa muda saat pertama kali bertemu dengan ibunya yang juga berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak.Â
Meski bertentangan dengan hati nuraninya, Ida tetap bersemangat menjalaninya karena tak ingin mengecewakan bapak, sebisa mungkin ia terlihat senang dan bersemangat mengajar murid-muridnya. Tak jarang ia bercerita apa saja tentang kenakalan murid-muridnya yang berujung nasehat dan diberikan solusi oleh bapak bagaimana cara menghadapi mereka, dan itu cukup manjur ketika dipraktikkannya.Â
Tahun-tahun berlalu setelah bapak tiada semuanya menjadi begitu hambar, tak ada semangat di dalamnya, Ida harus berjibaku dengan dirinya sendiri. Berbulan-bulan ia terus meratapi kepergian bapak tanpa henti, kesedihan dalam hatinya terlihat begitu dalam. Bahkan di usianya yang terbilang cukup matang untuk menikah, ketika ada beberapa laki-laki mendekatinya dengan datang ke rumah untuk melamar ia enggan menanggapi. Tak sedikit keluarga yang membicarakannya bahkan terdengar marah karena Ida dinilai terlalu pemilih.Â
"Nanti kamu akan dibangunkan rumah yang lebih bagus daripada ini, nduk. Rumah iki wes elek riyek." Suatu hari seorang wanita dengan ponganya datang ke rumah dan menawarkan anak laki-lakinya. Ia yang masih diliputi kesedihan mendalam hanya diam mendengarkan apapun yang dibicarakan wanita separuh baya itu tanpa menyela sama sekali.Â
Meski tak banyak bicara, Ida dengan halus menolak lamaran tersebut. Ia berpikir bahwa orang hanya akan melamarnya bukan karena menyukainya, tetapi karena kasihan sebab melihat rumahnya yang sudah seperti gubuk reyot yang sebentar lagi akan ambruk kalau ada  angin muson barat yang datang menjelang musim hujan. Tekadnya sangat besar untuk membangun rumah agar tak ada lagi orang yang datang karena rasa kasihan kepadanya, sebab sejak hari itu salah satu hal yang dibencinya adalah dikasihani.Â
"Kakak juga ingin memperbaiki rumah, Da, tapi uang dari mana?" Di bawah rembulan purnama malam, Ida dan kakak laki-lakinya bercakap-cakap. Mereka mencoba bangkit dari keterpurukan dengan merenovasi, bahkan membangun ulang, rumah berbahan kayu dan sesek yang hampir roboh itu diubah menjadi rumah berdinding bata. Dengan gaji yang tak seberapa, rumah bertembok bata akhirnya bisa berdiri. Ida menabung mati-matian selama dua tahun dan hanya berhasil mengumpulkan uang sebanyak lima juta untuk membayar tukang saja, selebihnya adalah bantuan dari keluarga bapak yang baik hati mentransfer uang lumayan banyak untuk membeli beberapa bahan bangunan.Â
"Orang kalau habis bangun rumah biasanya hutangnya tambah banyak." Suatu hari ia mendengar bibinya berkomentar dengan nada sinis di depan saudara-saudaranya. Ida yang tak sengaja lewat merasa tersinggung dan bertanya-tanya dalam hatinya apakah benar memang seperti itu? Tidak mungkin, ia akan membuktikan bahwa kata-kata bibinya itu salah, teramat salah.Â
Minggu ke minggu, bulan ke bulan, ia berusaha mengatur keuangan sebaik mungkin dengan gaji mengajarnya yang pas-pasan. Dengan menyisihkan selembar seratus ribuan untuk ditabung demi membayar kekurangan uang bahan bangunan di toko pamannya, ia berusaha keras meyakini kalau sebentar lagi semuanya akan selesai dan ia terbebas dari hutang.Â
HEI, SI ANJING! TOLOL! CUMA MODAL KTP SAJA KAU BERANI MENGABAIKAN PESAN PENAGIHAN. BAYAR HUTANGMU SEBELUM KU VIRALKAN. DASAR BANGKAI, BABI!
Satu tahun setelah pembangunan rumah rampung, pagi itu handphonenya penuh dengan pemberitahuan. Panggilan telepon, whatsapp, bahkan teror lewat beberapa media sosialnya membuat dirinya tampak murung, bukan malah sebaliknya. Ida menghela nafas panjang, kepalanya penuh dan hatinya sesak, ia tak tahu harus meminta tolong pada siapa untuk menutupi hutangnya bulan ini. Kalau saja ia tak tutup lobang gali lobang, mungkin kopi pagi ini tak akan sampai dingin dan ampasnya mengering.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI