"Lah kalau Ida ndak pulang, terus bapak mau dimasakin siapa di rumah? Ida sudah kesal sama tetangga yang bikin gosip gak sedap tentang bapak." Ia meluapkan kekesalannya sambil menghampiri bapak yang sedang duduk di badug depan rumah.Â
"Gosip opo to, nduk?" Merida ingin menjawabnya, tapi urung. Ia masih teringat dengan ucapan orang-orang di welijo beberapa bulan lalu ketika pulang untuk liburan. Ia mendengar dari orang lain katanya bapaknya berselingkuh dengan tetangga belakang rumah yang setiap hari masak di rumah setelah berbulan-bulan kematian ibu. Tak hanya itu, orang lain juga banyak membicarakan dirinya sebagai anak perempuan satu-satunya yang seharusnya bisa diandalkan sebagai ganti ibunya di rumah. Mendengarnya tanpa berpikir panjang Ida memutuskan untuk  pulang dari perantauan dan menuruti usulan bapak untuk melamar menjadi guru di salah satu madrasah swasta di desanya.Â
Tahun pertama mengajar semuanya berjalan lancar sebab ada bapak yang mengantar jemput sekolah, menyokong kebutuhan belanja dapur, dan juga menyemangatinya. Bapak sangat senang dengan profesi ini meski dirinya sendiri tak pernah terjun di dunia pendidikan. Katanya ia seperti bernostalgia dengan masa muda saat pertama kali bertemu dengan ibunya yang juga berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak.Â
Meski bertentangan dengan hati nuraninya, Ida tetap bersemangat menjalaninya karena tak ingin mengecewakan bapak, sebisa mungkin ia terlihat senang dan bersemangat mengajar murid-muridnya. Tak jarang ia bercerita apa saja tentang kenakalan murid-muridnya yang berujung nasehat dan diberikan solusi oleh bapak bagaimana cara menghadapi mereka, dan itu cukup manjur ketika dipraktikkannya.Â
Tahun-tahun berlalu setelah bapak tiada semuanya menjadi begitu hambar, tak ada semangat di dalamnya, Ida harus berjibaku dengan dirinya sendiri. Berbulan-bulan ia terus meratapi kepergian bapak tanpa henti, kesedihan dalam hatinya terlihat begitu dalam. Bahkan di usianya yang terbilang cukup matang untuk menikah, ketika ada beberapa laki-laki mendekatinya dengan datang ke rumah untuk melamar ia enggan menanggapi. Tak sedikit keluarga yang membicarakannya bahkan terdengar marah karena Ida dinilai terlalu pemilih.Â
"Nanti kamu akan dibangunkan rumah yang lebih bagus daripada ini, nduk. Rumah iki wes elek riyek." Suatu hari seorang wanita dengan ponganya datang ke rumah dan menawarkan anak laki-lakinya. Ia yang masih diliputi kesedihan mendalam hanya diam mendengarkan apapun yang dibicarakan wanita separuh baya itu tanpa menyela sama sekali.Â
Meski tak banyak bicara, Ida dengan halus menolak lamaran tersebut. Ia berpikir bahwa orang hanya akan melamarnya bukan karena menyukainya, tetapi karena kasihan sebab melihat rumahnya yang sudah seperti gubuk reyot yang sebentar lagi akan ambruk kalau ada  angin muson barat yang datang menjelang musim hujan. Tekadnya sangat besar untuk membangun rumah agar tak ada lagi orang yang datang karena rasa kasihan kepadanya, sebab sejak hari itu salah satu hal yang dibencinya adalah dikasihani.Â
"Kakak juga ingin memperbaiki rumah, Da, tapi uang dari mana?" Di bawah rembulan purnama malam, Ida dan kakak laki-lakinya bercakap-cakap. Mereka mencoba bangkit dari keterpurukan dengan merenovasi, bahkan membangun ulang, rumah berbahan kayu dan sesek yang hampir roboh itu diubah menjadi rumah berdinding bata. Dengan gaji yang tak seberapa, rumah bertembok bata akhirnya bisa berdiri. Ida menabung mati-matian selama dua tahun dan hanya berhasil mengumpulkan uang sebanyak lima juta untuk membayar tukang saja, selebihnya adalah bantuan dari keluarga bapak yang baik hati mentransfer uang lumayan banyak untuk membeli beberapa bahan bangunan.Â
"Orang kalau habis bangun rumah biasanya hutangnya tambah banyak." Suatu hari ia mendengar bibinya berkomentar dengan nada sinis di depan saudara-saudaranya. Ida yang tak sengaja lewat merasa tersinggung dan bertanya-tanya dalam hatinya apakah benar memang seperti itu? Tidak mungkin, ia akan membuktikan bahwa kata-kata bibinya itu salah, teramat salah.Â
Minggu ke minggu, bulan ke bulan, ia berusaha mengatur keuangan sebaik mungkin dengan gaji mengajarnya yang pas-pasan. Dengan menyisihkan selembar seratus ribuan untuk ditabung demi membayar kekurangan uang bahan bangunan di toko pamannya, ia berusaha keras meyakini kalau sebentar lagi semuanya akan selesai dan ia terbebas dari hutang.Â
HEI, SI ANJING! TOLOL! CUMA MODAL KTP SAJA KAU BERANI MENGABAIKAN PESAN PENAGIHAN. BAYAR HUTANGMU SEBELUM KU VIRALKAN. DASAR BANGKAI, BABI!