Adalah seorang perempuan yang lahir di tengah-tengah kebudayaan patriarki garis keras. Firdaus, panggilannya.Â
Pekerjaannya bukan semata-mata memuaskan hawa napsu para lelaki. Ia berjuang hari demi hari untuk bertahan hidup, mencari tahu makna eksistensinya, mengapa ia harus terjebak dalam lingkaran setan ini.
Apa hal pertama yang terbesit di pikiran kita ketika melihat seorang pelacur sedang menjajakan diri? Jijik? Kasihan? Sedih? Ingin menghindar? Benci? Terlepas dari itu semua, pernahkah kita ingin mengenal mereka, untuk mendengar kisahnya?
Sebuah buku novel yang diangkat dari kisah nyata, diberi judul: "Perempuan di Titik Nol" menggambarkan kepada para pembaca, betapa tidak adilnya takdir tuhan pada seorang perempuan, terutama Firdaus. Borok-borok para lelaki terungkap, seolah menjadi rambu-rambu bagi para puan yang hidup di tiap zaman.
Penulis buku ini, Nawal el-Saadawi adalah wartawan pertama serta terakhir yang mendengar secara langsung dari bibir Firdaus, tentang perjuangannya bertahan hidup di tengah budaya yang berpihak pada patriarki dan marginalisasi.Â
Semula ia dijebak oleh laki-laki yang berpura-pura baik namun mengambil keuntungan darinya hingga jiwanya mati, ia mati rasa. Dunia prostitusi menjadi rumah baginya karena para lelaki itu datang tanpa diundang ketika melihat wajah rupawannya.
Malam itu, ketika Bayoumi pulang ke rumah, saya berkata, "Saya punya ijazah sekolah menengah, dan saya ingin bekerja."
"Setiap hari warung kopi itu dikerumuni oleh anak-anak muda yang mencari pekerjaan, dan semuanya memiliki pendidikan universitas," katanya.
"Tetapi saya harus bekerja. Saya tak dapat terus tinggal di rumahmu," kata saya dengan gagap. "Saya perempuan, dan kau laki-laki, dan orang membicarakan kita."
Dengan marah dia menjawab pedas, "Apa yang dapat ku perbuat, minta bantuan pada langit?"
"Kau sibuk sepanjang hari di warung kopi, dan kau pun belum pernah berusaha untuk mencarikan aku pekerjaan. Aku akan pergi sekarang untuk mencari pekerjaan."
Dia berdiri dan menampar muka saya, sambil berkata, "Berani benar kau untuk bersuara keras jika bicara dengan aku, kau gelandangan, kau perempuan murahan?"
Dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai di kamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya dengan seluruh berat badannya. Saya tetap memejamkan mata dan menyingkirkan tubuh saya. Demikianlah saya tergeletak di bawahnya tanpa bergerak, kosong dari segala berahi, atau rasa nikmat, malahan dari rasa nyeri, tidak merasakan apa-apa. Sebuah tubuh yang mati tanpa kehidupan sama sekali di dalamnya.
Kemudian pada suatu malam, tubuhnya seakan-akan lebih berat dari biasa, dan napasnya berbau lain, maka saya membuka mata. Ternyata wajah di atas saya bukan wajah Bayoumi.
"Siapa kau?" kata saya.
"Bayoumi," jawabnya.
Saya mendesak, "Kau bukan Bayoumi. Siapa kau?"
"Apa sih bedanya? Bayoumi dan aku adalah sama." Kemudian dia bertanya, "Kau rasakan nikmat?"
Saya takut untuk mengatakan bahwa saya tak merasakan apa-apa, maka saya menutup mata saya sekali lagi dan berkata, "Ya."
Lalu dia menambahkan kehampaan sekali lagi dalam diriku. Sambil menggigitku berulang-ulang ia berkata:
"Pelacur, perempuan jalang." Kemudian dia menghina ibu saya dengan kata-kata yang tak sanggup saya ikuti.
Firdaus adalah korban. Ia salah satu korban dari puluhan ribu perempuan yang terpaksa hidup di teras neraka. Maukah kita mendengar jeritnya? Setidak-tidaknya ada tiga hal yang kita akan bahas mengenai buku tersebut.
Siapa Bilang Cantik adalah Anugerah?
Cantik bukanlah anugerah bagi Firdaus. Ia memiliki mata hitam dengan kerlingan yang menarik serta hidung penuh dan halus. Tubuhnya langsing dengan paha yang kencang. Ketika ia berjalan, para pemilik otak dangkal akan menghampiri dan bertanya tarif per jamnya.
Pilihan Firdaus terbatas. Peran perempuan dewasa di Mesir pada saat itu belumlah banyak. Sebelum umur 15, Firdaus dinikahkan dengan Syekh Mahmoud, laki-laki tua yang sudah pensiun.Â
Ia dijual seharga 100--200 pound setara 50.000--100.000 rupiah pada pertengahan abad 20. Karena peristiwa KDRT, ia pun kabur dari rumah. Sayang disayang, ia malah dijebak oleh mucikari.
KDRT Dianggap Wajar
Sebelum kabur dari rumah Syekh Mahmoud, Firdaus mengadu kepada keluarga angkatnya---paman dan bibinya. Namun mereka tidak membela Firdaus.Â
Mereka justru bilang bahwa semua suami memukul isterinya dan laki-laki yang memahami agama itulah yang melakukannya. Aturan agama mengijinkannya dan seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajiban isteri ialah kepatuhan yang sempurna.
Sepanjang kisah dalam buku Perempuan di Titik Nol belum pernah dikatakan bahwa Firdaus beribadah. Namun ia sempat menyampaikan, "Paman adalah seorang syeikh yang terhormat, terpelajar dalam hal ajaran agama, dan dia, karena itu, tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya." Masakah perempuan yang dipandang rendah dan tidak diijinkan berpendidikan tinggi memiliki pemikiran yang lebih bermoral?
Kekuatan Kapital Takut Perempuan
Titik-titik terakhir perjuangan Firdaus ketika ia diajak kawin oleh seorang germo. Firdaus berkali-kali menolak, namun sang biadab itu menggunakan kekerasan---kasar dan lembut---untuk menaklukkannya. Penghasilan Firdaus dirampas sebagian besar dan jika ia memberontak, ia akan dipukuli.
Hingga suatu hari, Firdaus hendak kabur. Germo itu mengancam dengan pisau namun lengan Firdaus lebih cekatan. Ia langsung menancapkannya dalam-dalam pada bagian leher dan dada Marzouk.
Dan Firdaus kembali ke jalanan, menyusuri tanah aspal tanpa tujuan. Hingga seorang lelaki dengan mobil mewah membuka pintu dan berhasil mengajaknya pergi dengan harga tinggi.Â
Namun, pangeran Arab itu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Perempuan cantik dan terlihat lemah yang sanggup merenggut nyawa.
Setelah menikmati Firdaus, dengan tidak punya malu sang pangeran memanggil polisi. Ia ketakutan melihat Firdaus mencabik-cabik uang yang ia berikan. Inilah kata-kata terakhir dari Firdaus sebelum ia dipenjara.
Ia berkata kepada polisi, "Jangan biarkan ia bebas. Ia seorang penjahat, seorang pembunuh."
Dan mereka bertanya kepada saya, "Apakah yang ia katakan itu benar?"
"Saya seorang pembunuh, tetapi saya tidak melakukan kejahatan. Seperti kalian, saya hanya membunuh penjahat."
"Tetapi ia seorang pangeran, dan seorang pahlawan. Ia bukan penjahat."
"Bagi saya, perbuatan raja dan pangeran tidaklah lebih dari kejahatan, karena pendapatku berlainan dari kau."
"Kau adalah seorang penjahat," kata mereka, "dan ibumu penjahat."
"Ibuku bukan penjahat. Tak ada perempuan yang dapat menjadi penjahat. Untuk menjadi penjahat hanyalah lelaki."
"Coba lihat, apa ini yang kau katakan?"
"Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para ayah, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi."
Mereka berkata, "Kau adalah perempuan yang liar dan berbahaya."
"Saya mengatakan yang sebenarnya. Dan kebenaran itu adalah liar dan berbahaya."
Mereka mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup. Saya tahu apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya. Sayalah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki---beribu-ribu orang yang dibunuh tiap hari---tetapi karena mereka takut untuk membiarkan saya hidup.
Firdaus menjadi jendela bagi kita untuk mengintip kehidupan malam. Memberi tahu kita bahwa ia juga manusia, memiliki hati dan rasa. Firdaus ingin berbahagia, namun tidak memiliki kesempatan seperti kita.Â
Meski kisah ini diangkat dari kondisi masyarakat Mesir sekitar tahun 1960-an, namun masih bersinggungan dengan zaman sekarang. Karena pekerjaan kupu-kupu malam masih langgeng, masih ada hingga hari ini.
Para puan masih menggunakan cara ini sebagai alternatif terbaik untuk mendapatkan sesuap nasi. Beberapa di antaranya adalah orangtua tunggal yang ditelantarkan oleh suaminya dan sebagian lainnya adalah mereka yang kesepian serta putus asa. Maukah kita mendengar jeritan bisu mereka?
Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Medium oleh penulis dengan beberapa penyuntingan ulang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI