Adalah seorang perempuan yang lahir di tengah-tengah kebudayaan patriarki garis keras. Firdaus, panggilannya.Â
Pekerjaannya bukan semata-mata memuaskan hawa napsu para lelaki. Ia berjuang hari demi hari untuk bertahan hidup, mencari tahu makna eksistensinya, mengapa ia harus terjebak dalam lingkaran setan ini.
Apa hal pertama yang terbesit di pikiran kita ketika melihat seorang pelacur sedang menjajakan diri? Jijik? Kasihan? Sedih? Ingin menghindar? Benci? Terlepas dari itu semua, pernahkah kita ingin mengenal mereka, untuk mendengar kisahnya?
Sebuah buku novel yang diangkat dari kisah nyata, diberi judul: "Perempuan di Titik Nol" menggambarkan kepada para pembaca, betapa tidak adilnya takdir tuhan pada seorang perempuan, terutama Firdaus. Borok-borok para lelaki terungkap, seolah menjadi rambu-rambu bagi para puan yang hidup di tiap zaman.
Penulis buku ini, Nawal el-Saadawi adalah wartawan pertama serta terakhir yang mendengar secara langsung dari bibir Firdaus, tentang perjuangannya bertahan hidup di tengah budaya yang berpihak pada patriarki dan marginalisasi.Â
Semula ia dijebak oleh laki-laki yang berpura-pura baik namun mengambil keuntungan darinya hingga jiwanya mati, ia mati rasa. Dunia prostitusi menjadi rumah baginya karena para lelaki itu datang tanpa diundang ketika melihat wajah rupawannya.
Malam itu, ketika Bayoumi pulang ke rumah, saya berkata, "Saya punya ijazah sekolah menengah, dan saya ingin bekerja."
"Setiap hari warung kopi itu dikerumuni oleh anak-anak muda yang mencari pekerjaan, dan semuanya memiliki pendidikan universitas," katanya.
"Tetapi saya harus bekerja. Saya tak dapat terus tinggal di rumahmu," kata saya dengan gagap. "Saya perempuan, dan kau laki-laki, dan orang membicarakan kita."
Dengan marah dia menjawab pedas, "Apa yang dapat ku perbuat, minta bantuan pada langit?"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!