Membangun Kesadaran Bersama: Mengatasi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dan Kampus
Eva Alisya Sahda Mas'udah (412241054)
Fakultas Vokasi
Universitas Airlangga
Pelecehan seksual seringkali terjadi tidak hanya  di tempat umum dan di luar rumah, namun juga  di ruang yang lebih privat seperti  tempat kerja dan kampus. Dalam kedua situasi tersebut, pelecehan seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar yang tidak pantas, sentuhan yang tidak diinginkan, hingga tindakan yang lebih eksplisit dan berbahaya.
Di tempat kerja, pelecehan seksual sering kali dilakukan oleh atasan atau rekan kerja yang mempunyai kekuasaan, sehingga lebih sulit bagi korban untuk melapor karena takut akan pembalasan atau kehilangan pekerjaan. Situasi serupa sering terjadi di kampus antara mahasiswa atau antara instruktur dan mahasiswa.
Baik di tempat kerja maupun di kampus, ketidakseimbangan kekuasaan sering kali membuat korbannya merasa tertindas dan tidak punya pilihan selain berdiam diri. Banyak korban  takut akan stigmatisasi, tidak percaya pada sistem hukum, atau percaya bahwa kasus mereka harus 'diterima' atau 'dianggap remeh'. Saya memilih untuk tidak melaporkannya. Memang benar, pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan yang tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun, dan korban mempunyai hak atas keadilan dan dukungan pemulihan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
1. Budaya patriarki dan ketimpangan kekuasaan
Dalam budaya patriarki di Indonesia yang masih mengakar kuat dalam berbagai aspek kehidupan, perempuan kerap dianggap memiliki status lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Di tempat kerja dan di kampus, ketimpangan kekuasaan ini dapat berujung pada perilaku yang tidak pantas, sehingga korban (paling sering perempuan) merasa tidak berdaya melawan pelakunya, yang seringkali menduduki jabatan tinggi seperti atasan atau dosen.