Mohon tunggu...
aa
aa Mohon Tunggu... Administrasi - --

--

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review : 12 Years A Slave

31 Maret 2014   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_317786" align="alignnone" width="615" caption="Solomon Northup (photo : mirror.co.uk)"][/caption]

Saratoga, New York 1841

Cerita bermula dari Solomon Northup, pria Afro-Amerika yang dikenal mahir memainkan biola terjebak dengan dua orang "seniman" lainnya yakni Merrill Brown dan Abram Hamilton. Alih-alih bermain di pertunjukan musik bersama, Solomon malah dijual ke agen perbudakan. Dia dipaksa mengaku sebagai Platt dan terus menerus diingatkan bahwa dia adalah imigran gelap dari Georgia. Platt berusaha melawan namun tidak berdaya maka ia mencoba untuk bertahan.

Nasib membawa Platt dan Eliza, budak lainnya ke tangan William Ford. Ford membeli Platt dengan harga usd.1.000 dan Eliza dengan usd.600. Secara umum, Ford memperlakukan Platt dengan baik, termasuk membelikannya sebuah biola. Namun Eliza terus menerus menangis karena telah dipisahkan dari kedua anaknya ketika Ford membelinya. Suatu hari, Eliza pun dijual dan dibawa keluar dari perkebunan.

Platt tahu selama ini Ford memperlakukan dia dengan sangat manusiawi. Namun Ford pun akhirnya menyerahkan Platt pada Edwin Epps karena gagal hutang yang dialaminya. Edwin Epps terkenal keras dalam memperlakukan budak-budaknya. Epps menganggap budak dapat dia perlakukan layaknya binatang peliharaan. Digiring menuju perkebunan kapas dan dipaksa untuk bekerja memenuhi target pengumpulan kapas. Patsey merupakan wanita yang mampu mengumpulkan kapas hingga 125 kilogram per hari dan merupakan budak kesayangan Epps. Lahir dan besar di ladang.

Epps rupanya sering menumpahkan nafsu seksualnya pada Patsey dan membuatnya menjadi kotor. Platt yang menyadarinya selalu mencoba membelanya dan hal tersebut membuat dirinya terus menerus dihukum. Patsey, yang merasa putus asa, meminta Platt membunuhnya. Tentu saja Platt menolaknya mentah-mentah.

Kesempatan untuk memberi kabar pada keluarga Solomon tampaknya menunjukan titik terang saat muncul satu-satunya pekerja kulit putih di perkebunan kapas tersebut, mandor Parker. Solomon memberikan padanya keping perak yang diterimanya ketika memainkan biola di sebuah pesta pernikahan dengan syarat dia akan mengirimkan surat yang ia tujukan pada istrinya,Anne dan kedua anaknya, Margaret dan Alonzo di New York. Tapi dia malah mengingkari janji dan menceritakan semuanya pada Edwin Epps. Platt mencoba untuk menyangkal namun Epps menyatakan bahwa sayangnya orang tersebut berkulit putih dan budak seharusnya tidak dapat menulis.

Patsey memang selalu mendapatkan jatah libur di hari Minggu dan biasanya digunakan untuk mengunjungi Nyonya Shaw. Epps, yang tidak menemukannya di seantero perkebunan, mengamuk. Sekembalinya ke perkebunan, Patsey langsung dihampiri oleh Epps dan isterinya. Epps berteriak-teriak menanyakan ke mana Patsey pergi dan mengira Patsey melarikan diri. Nyonya Epps, yang memang sedari dulu membenci Patsey karena cemburu pada hubungan Patsey dan suaminya, semakin memanaskan suasana. Akhirnya Patsey diikat di pohon dengan tubuh telanjang dan Epps meminta Platt yang menyambukinya. Platt tidak tega melakukannya tapi akhirnya menyambukinya secara perlahan. Menyadari Platt tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh, Epps merebut cambuknya dan melakukannya sendiri. Bagian punggung Patsey terobek-robek, darahnya bercipratan ke mana-mana, badannya lunglai tak berdaya dan jatuh ke tanah.

Peluang untuk mengabari keluarga mulai terlihat kembali saat Platt membantu Samuel Bass, seorang kontraktor yang sedang membangun sebuah gazebo di halaman rumah Edwin Epps. Epps menghampiri Bass dengan berbasa-basi ria. Tiba-tiba Bass menyinggung mengenai budak yang berada di rumah Epps. Menurutnya semua manusia mempunyai hak yang sama, tak peduli berkulit hitam atau putih. Epps meradang dan mengungkapkan baginya budak itu hanya properti. Dia membelinya dan dapat menggunakannya untuk apapun. Karena tidak ingin memperkeruh suasana, Epps pun pergi meninggalkan Platt dan Bass dengan perasaan kesal. Menyadari hal tersebut, Platt lantas menceritakan bahwa dia bukan budak dan menceritakan bagaimana sampai dia bisa berada di perkebunan kapas Epps. Bass akhirnya menyanggupi permintaan Epps untuk mengirimkan surat ke Saratoga, New York walaupun resiko menghantuinya.

Tak berapa lama setelah surat tersebut terkirim, Sheriff Villiere bersama teman Northup mengadakan sidak mendadak dan menemukan Solomon Northup di sana. Sambil menjemput Northup, Sheriff mencocokan semua data yang dia terima dengan apa yang dijawab Northup. Dan semuanya cocok. Tidak ada kesalahan apapun. Epps mencoba untuk menahan Northup dengan mengatakan dia punya surat pembelian budak. Sheriff membantah dan mengatakan dia punya surat yang dapat membuktikan Northup adalah manusia bebas. Itu memang merupakan saat perpisahan bagi Northup dan budak-budak lainnya. Patsey, yang notabene memang paling dekat dengan Northup, sempat mengucapkan salam perpisahannya namun ia juga harus rela melepas Northup kembali ke tempat asalnya.
Northup pun dapat bertemu kembali dengan keluarganya sebagai akhir dan kisahnya di film ini.

Solomon Northup tidak sekonyong-konyong meninggalkan budak-budak begitu saja. Dia tetap memperjuangkan penghapusan dari perbudakan.

Awal film ini memang berjalan terlalu lambat. Alur cerita yang bolak-balik membuat awal film ini agak sulit dimengerti. Namun mulai menginjak tengah film, mulai terkuak satu per satu konflik dari film ini. Secara garis besar, film ini memiliki cerita yang kuat dan inspiratif. Akting Lupita Nyong'o sangat layak mendapatkan penghargaan Oscar sebagai pendukung wanita terbaik. Totalitasnya dalam memainkan peran sebagai Patsey tidak perlu diragukan lagi. Steve McQueen sangat mampu mengolah cerita yang kuat dengan grafik yang indah. Sehingga film ini memang pantas menjadi Film Oscar Terbaik walaupun secara sisi emosional masih kurang menggigit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun