Aksi Front Rakyat Bergerak Surabaya kali ini menampilkan isu yang menarik. Dalam peryataannya, mereka mengecam pernyataan Sudi Silalahi (Jawa Pos, Kamis 03 Desember 2009). Setelah mengecek isi surat kabar tersebut, pemerintah memang telah mengambil sikap yang mengerikan dan tidak konsisten karena Mensesneg Sudi Silalahi membuat pernyataan, bahwa kami (Presiden) tidak akan obral surat izin (pemeriksaan) dan proses screening surat izin tersebut akan sangat di perketat. Alasannya, tidak mudahnya presiden memberikan surat izin tersebut hanyalah untuk menghindari pemunculan kasus yang semata dilandasi karena fitnah. Apalagi, hanya berdasar surat kaleng dan semacamnya. Presiden melalui Mensesneg menyatakan, bahwa selama ini pihaknya telah berkali-kali terpaksa mengembalikan berkas yang telah diajukan polri maupun kejaksaan. Penyebabnya, karena surat permintaan izin pemeriksaan yang diajukan dianggap kasusnya masih sumir. Dan tidak mudah memeriksa pejabat jika hanya menjadi saksi. Terhadap masalah ini, ICW sudah membuat pernyataan, bahwa sikap tersebut menunjukkan sikap yang tidak konsisten dari Pemerintahan SBY-Boediono dalam program 100 hari pemberantasan korupsi. Selain itu pula, ICW juga mengatakan, bahwa sikap tersebut bukanlah kewenangan dari Pemerintah.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Sikap Pemerintah tersebut di atas sebenarnya merupakan CERMINAN, GAMBARAN DAN SIKAP POLITIK PEMERINTAH SBY-BOEDIONO TERHADAP MASALAH KORUPSI. Seperti yang ada dalam Pernyataan Front Rakyat Bergerak, bahwa dalam Kasus Bibit-Chandra, Presiden mengatakan tidak akan ikut campur atau intervensi dalam setiap proses pemeriksaan di Kepolisian dan Kejaksaan. Namun di sisi lain, Presiden ternyata ikut campur dan intervensi terhadap pemeriksaan yang dilakukan oleh Kepolisian maupun Kejaksaan dengan bersembunyi dibalik Keputusan Surat Izin Pemeriksaan dari Presiden. Pemerintah SBY-Boediono ternyata gamang untuk mengambil sikap antara konsep dan pelaksanaan. Sama halnya ketika pemerintah membuat satgas mafia hukum. Di depan mata publik sudah jelas, dalam perkara yang sama, Amir Mahmud mendapatkan hukuman penjara 4 tahun karena membawa satu butir ekstasi sementara jaksa Ester menjual puluhan barang bukti ekstasi hanya di hukum 1 tahun. Seharusnya, satgas mafia hukum sudah dapat bergerak karena dalam kasus tersebut tidak mungkin ada campur tangan mafia hukum yang membuat putusan hakim menjadi tidak adil. Kembali pada masalah pernyataan Sudi Silalahi di depan Komisi II DPR RI, seharusnya beliau tidak pantas mengeluarkan pernyataan demikian karena pemerintah mencoba campur adukan antara masalah fakta hukum dan fakta politik. Bagaimanapun juga, permohonan pengajuan surat izin pemeriksaan kepolisian maupun kejaksaan merupakan fakta hukum yang harus di jawab dengan fakta hukum juga. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berkaitan acara pemeriksaan pidana maupun korupsi, Presiden tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menentukan apakah proses pemeriksaan masih sumir atau tidak. Sehingga pernyataan Presiden melalui Mensesneg Sudi Silalahi tidak mempunyai landasan hukum dan tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarakan hukum yang berlaku.
Sama halnya pula, tidak mungkin Kepolisian maupun Kejaksaan memohon Surat Izin Pemeriksaan kepada Presiden karena pemeriksaan terhadap pejabat Kepala Daerah berdasarkan Surat Kaleng dan sejenisnya. Kalau Kepolisian maupun Kejaksaan memohon Surat Izin Pemeriksaan Kepada Presiden tanpa terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap isi surat kaleng dan sejenisnya maka Kepolisian maupun Kejaksaan sudah melakukan tindakan yang bodoh dan tidak profesional.
Secara implisit, Front Rakyat Bergerak meminta Mensesneg Sudi Silalahi membaca kembali Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diperbaharui oleh UU 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daereah, bahwa Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Jadi, walaupun Pejabat Bupati masih menjadi saksi, Presiden tidak boleh menghalang-halangi proses pemeriksaan Kepolisian dan Kejaksaan, apalagi dalam kasus korupsi.
Front Rakyat Bergerak juga kembali menunjukkan ketidak konsistenan Pemerintah SBY-Boediono dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pemerintah tidak akan mengeluarkan Surat izin Pemeriksaan kepada pejabat-pejabat daerah yang statusnya hanya menjadi saksi, apalagi dilandasi dengan fitnah. Front Rakyat Bergerak memberikan contoh ada beberapa Pejabat Bupati yang sudah menjadi tersangka, ternyata Presiden sangat lama mengeluarkan Surat izin Pemeriksaan, misalnya dalam kasus korupsi yang tersangkanya Bupati Sleman dan Bupati Jember. Dan yang parahnya lagi, Front Rakyat Bergerak melihat DPR RI yang tidak konsisten melakukan pemberantasan korupsi. Karena ketika Sudi Silalahi membuat pernyataan demikian, seharusnya DPR RI segera mengklarifikasi pernyataan Mensesneg untuk dipertanggungjawabkan di depan DPR RI. Pada kenyataannya, DPR RI diam seribu kata dan tidak kuat melawan pernyataan pemerintah.
Kalau kejadiannya seperti ini seharusnya Front Rakyat Bergerak membuat tuntutan-tuntutan, misalnya: (1) Presiden harus mempertanggungjawabkan pernyataannya melalui Mensesneg Sudi Silalahi tersebut di depan publik masyarakat dan DPR RI secara terbuka mengenai Surat Izin Pemeriksaan; (2) Mendesak Presiden agar segera mengganti Sudi Silalahi dari jabatan Menteri Sekretaris Negara; (3) Mengusulkan kepada DPR RI agar memanggil dan memeriksa Presiden atas pernyatannnya yang dikeluarkan oleh Mensesneg mengenai Surat Izin Presiden di depan Komisi II DPR RI. Karena pernyataan Presiden melalui Mensesneg bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan penyelidikan dan penyidikan serta Pemerintahan Daerah; dan (4) Mendesak KPK RI untuk melakukan Hak Uji Konstitusi terhadap ketentuan Surat Izin Pemeriksaan yang dikeluarkan oleh Presiden ke Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari itu semua, gambaran korupsi Indonesia ternyata sebuah kegiatan menguras uang negara secara sistematis. Konsep maupun isu-isu korupsi seringkali berhenti di ajang negoisasi kekuasaan antara Pemerintah dengan DPR, antara Partai dengan Partai, antara Pejabat dengan DPR dan Partai dan lain-lainnya. Intinya, hampir semua kegiatan korupsi selalu melibatkan pejabat-pejabat politik dan publik. Kalau DPR konsisten, seharusnya DPR langsung dapat memberikan sikap ketidaksetujuan terhadap pernyataan Mensesneg Sudi Silalahi. Persoalannya kenapa hal ini tidak dilakukan, karena pernyataan Sudi Silalahi di satu sisi bisa menguntungkan tapi bisa juga merugikan bagi partai yang mempunyai kader yang menjadi bupati.
Di sini kita dapat membandingkan, pada kasus dugaan korupsi dengan tersangka Bupati Jember hampir setahun lebih Surat izin Pemeriksan tidak turun-turun. Sementara Walikota Surabaya, tidak lebih dari 60 hari, Surat izin Pemeriksaan sudah turun. Padahal Walikota Surabaya sebagai saksi. Selain itu pula, Surat Izin Pemeriksaan merupakan dokumen negara dimana semua pihak tidak mudah mendapatkan isi Surat Izin tersebut. Sebagai dokumen negara, kita tidak pernah tahu, sampai sejaumanakah Surat Izin pemeriksaan tersebut di proses? .
Jadi, sudah sewajarnya kita bersama KPK mengajukan Hak Konstitusi ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus lembaga Surat izin Pemeriksaan.
Surabaya, 10 Desember 2009
Eusebius Purwadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H