Ketika hendak beranjak pulang setelah shalat jumat, kemunculan wajah Aa Gym di layar TV masjid Darut Tauhid, menghentikan langkah saya. Saya yang sudah berdiri, langsung duduk kembali. Terlebih lagi, Aa Gym memberikan sebuah kalimat pembuka menarik, yang membuat banyak hadirin shalat jumat tetap duduk di tempat duduknya masing-masing.
Aa Gym berbicara tentang pengumuman dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang dimumkan malam sebelumnya. Setelah itu, beliau memberikan nasehat agar pilpres yang akan datang nanti, dijadikan oleh kedua pasang calon sebagai cara melaksanakan perintah Allah, dalam rangka fastabiqul khairat, yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan. Aa Gym berharap agar pilpres nanti tidak menjadi ajang menang-kalah dan baku hantam dari kedua kubu, sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama.
Setelah itu, sampailah kepada topik yang ingin saya dengar, yaitu bagaimana dimana posisi Aa Gym dan pesantren Daurut Tauhid dalam pilpress yang akan diadakan tahun depan. Tidak menunjuk nama atau pernyataan yang mengarah ke salah satu kubu, Aa Gym memberikan penjelasan yang berbeda. Aa Gym mengatakan bahwa Daurut Tauhid berada di tiga posisi.
Posisi pertama yaitu menjaga agar akidah umat tidak rusak gara-gara pilpres. Kedua, agar akhlakul kharimah umat tidak rusak gara-gara pilpres, dan yang ketiga, agar ukhwah islamiyah tidak hancur gara-gara pilpres.
Aa Gym kemudian melanjutkan dengan suara yang lembut, kalau masalah pilihan, beliau mempersilahkan untuk memilih yang mana saja, asalkan diiringi dengan niat yang baik. Kenapa perlu niat yang baik?, karena siapa tahu, ketika pilpres 2019 nanti, kita ternyata telah dipanggil yang maha kuasa, dan sudah tidak berada lagi di dunia ini.
Pidato singkat Aa Gym tersebut, entah kenapa menancap tajam di benak saya. Terlebih lagi, kalimat terakhir. Saya tidak berani membayangkan apa yang terjadi kepada saya, jika saya mati-matian membela salah satu calon presiden dengan cara yang salah. Saya melakukan hal-hal seperti memfitnah calon pemimpin yang lain, menyebarkan berita bohong tersebut, kemudian mengejek para pendukungnya dengan ucapan dan julukan yang tidak pantas. Singkat kata, Agar calon pilihan yang saya dukung menang, saya melakukan apa saja agar orang-orang tidak memilih pasangan yang bukan pilihan saya. Kemudian, pada saat itu, sehari sebelum pilpres, saya mati dalam keadaan menyebarkan permusuhan sesama anak bangsa. Hasil pilpres tidak tahu, yang ada malah mungkin neraka yang sedang menanti.
Ceramah singkat Aa Gym tersebut, memberikan kesejukan dan sekaligus peringatan yang berharga bagi saya. Mengingatkan saya, bahwa betapa tidak berartinya pilpres tersebut jika kemudian yang dikorbankan adalah hancurnya akidah, akhlak, dan persaudaraan. Sebuah ceramah yang amat sangat berbeda dengan beberapa khotbah jumat yang berkaitan dengan politik, yang membuat saya dan mungkin juga sebagian jamaah, merasa tidak nyaman bahkan dengan hanya mendengarnya.
Tafsir bebas saya mendengar pernyataan Aa Gym setelah shalat jumat tersebut adalah, boleh mendukung calon presiden masing-masing asalkan dengan niat yang baik. Boleh berusaha untuk pemimpin pilihan tersebut, asalkan tidak mengorbankan akidah, dengan pergi ke dukun untuk minta bantuan misalnya.
Selain itu, jangan sampai dukungan kita kepada calon pasangan presiden tertentu, membuat kita mencaci maki, menyebarkan hoax, dan hal buruk lainnya kepada saudara kita yang pilihan pemimpinnya berbeda dengan kita. Sehingga, bukannya terjadi perlombaan dalam kebaikan, malahan menjadi perlombaan dalam keburukan, yang kemudian merusak ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah.
Seperti inilah, menurut saya, membicarakan politik di dalam masjid seharusnya. Pembicaraan yang membuat kubu-kubu yang berbeda menjadi sadar bahwa mereka bersaudara. Sesuatu yang mendamaikan suasana, dan menyadarkan bahwa ada yang lebih penting dibandingkan terpilihnya calon presiden pilihanmu, yaitu akidah, akhlak yang baik, dan persaudaraan sesama manusia.
Politik masjid adalah politik yang menyatukan, bukan meretakkan, yang menguatkan, bukannya melemahkan. Sebuah tempat yang dalam konteks pilpres 2019 ini, ketika dua orang pendukung pemimpin calon presiden yang sebelum masuk masjid mereka bermusuhan, pada saat keluar masjid mereka bergandengan tangan sebagai saudara satu darah, satu daging. Karena itulah, masjid tidak seharusnya menjadi tempat politik praktis yang hanya akan memperuncing perbedaan dan melestarikan permusuhan. Karena, apa artinya kemenangan pemimpin pilihan kita, jika sebagai gantinya Indonesia terancam hancur dan bubar. Tentu tidak ada satupun anak bangsa yang waras menginginkan hal tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H