Ada dua cerita yang membuatku memberi judul artikel ini dengan judul di atas. Pertama, ketika sedang berada di suatu daerah di Jakarta, sebuah pertandingan sepakbola antara timnas Indonesia melawan Timnas negara lain sedang berlangsung. Sebagai seseorang yang bahkan telah menjadikan sepakbola sebagai istri ke tiga setelah buku dan Indonesia, tidak mungkin aku melewatkannya. Tepat ketika sedang seru-serunya, tiba-tiba terdengar suara azan isya. Tuhan telah memanggil hambanya yang beragama islam untuk datang ke masjid. Meluangkan waktu untuk menyembahNya.
Aku gamang. Waktu itu, tidak seperti sekarang, keimananku kepada tuhan aku pikir cukup kuat. Aku tahu beribadah ke masjid itu lebih utama daripada shalat sendirian. Juga, aku tahu, tidak diperbolehkan menunda-nunda shalat kecuali dengan alasan yang diizinkan, dan aku rasa menonton pertandingan sepakbola tidak termasuk ke dalam pengecualian tersebut. Di antara pertandingan tarik tambang antara mendukung kesebelasan yang aku cintai dan melaksanakan perintah tuhan setepat dan sedisiplin mungkin, aku terombang ambing.Â
Kalau aku pergi ke masjid dan shalat di sana, dihitung dengan waktu berjalan, aku akan kehilangan sekitar setengah jam menikmati dan mendukung timnas. Tapi, aku juga merasa tidak tenang jika tidak melaksanakan perintah tuhan sesempurna mungkin. Akhirnya, rasa cintaku pada tuhan waktu itu menang. Aku melangkahkan kakiku menuju masjid yang mengumandangkan azan yang aku dengar tadi.
Dan, tepat hanya beberapa langkah sebelum masuk masjid, langkahku terhenti. Bahkan mungkin mulutku ternganga waktu itu. Karna, tepat hanya sekitar dua langkah dari pintu masjid, di terasnya, terdapat sebuah televisi. Sementara orang-orang berkumpul di depannya menonton pertandingan timnas sepakbola Indonesia. Terlebih lagi, penontonnya adalah ibu-ibu rumah tangga yang sedang mengasuh anak-anak mereka yang tidak bisa diam menonton televisi yang mereka letakkan di depan pintu masjid itu. Untunglah, godaan iman itu masih bisa aku lalui. Ketika iqamat dikumandangkan, aku bergerak masuk ke dalam masjid. Dan, aku tidak habis pikir, apa mereka sadar kalau mereka telah menghina tuhan yang mereka sembah?. Maksudku, mereka bahkan berani mengabaikan perintah tuhan untuk menyembahnya, tepat di depan rumahNya sendiri.
Kedua, aku berada di Yogyakarta waktu itu. Aku berada di sana untuk berburu universitas, meski akhirnya aku kuliah di Bandung, sekaligus bersilaturahmi dengan teman-temanku sewaktu belajar bahasa inggris di Pare dulu. Saat itu bulan ramadhan, dan masih aku rasa, keimananku masih cukup kuat waktu itu, tidak seperti sekarang. Sehingga, ketika ada pertandingan persahabatan antara timnas Indonesia dengan sebuah tim besar eropa waktu itu, aku melangkahkan kakiku menuju masjid untuk melaksanakan shalat isya dan tarawih berjamaah di masjid. Ketika aku sampai di masjid, jamaahnya tidak terlalu ramai.Â
Seingatku hanya dua shaf. Dan, begitu shalat tarawih selesai, banyak yang berdiri meninggalkan penceramah yang biasanya berceramah setelah shalat tarawih. Akupun termasuk di antara orang-orang yang tidak ingin mendengarkan ceramah tersebut. Tidak ada yang salah di sini, kecuali fakta kalau pada hari sebelumnya, masjid tersebut terisi penuh. Dan, apa lagi yang membuatku mereka tidak datang ke masjid selain menonton pertandingan tim nasional sepakbola mereka?.
Tidak ada yang salah dengan mencintai sepakbola. Terlebih lagi, mencintai timnas sepakbola negara kita sendiri. Tapi, kedua cerita di atas membuatku berpikir, wajar saja banyak nyawa yang melayang karna sepakbola di negara ini. Mereka bahkan meletakkan sepakbola di atas ketuhanan yang maha esa, apalagi di atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi, tentu saja tidak semua penggemar sepakbola Indonesia demikian. Contohnya, aku pernah melihat foto pendukung timnas sepakbola Indonesia yang melaksanakan shalat di stadion tempat timnas mereka melaksanakan pertandingan.Â
Dan, itu di luar negeri yang mayoritas penduduknya non muslim. Atau, kakakku, yang ketika menonton timnas di GBK, dia sengaja membeli tiket yang vip. Alasannya, tidak mengapa mahal, asal tidak kesusahan masuk lagi setelah sebelumnya keluar untuk melaksanakan shalat. Namun, aku rasa, pasti banyak yang tidak peduli mereka melaksanakan perintah tuhan atau tidak. Maksudku, lihat cerita yang pertama, mereka bahkan mengacuhkan tuhan tepat di depan hidungNya.
Tentu saja, idealnya, menjadi seorang suporter sepakbola adalah seperti orang Indonesia yang melaksanakan shalat di stadion luar negeri atau kakakku yang rela membeli tiket yang lebih mahal agar tidak kesulitan dan berdesakan ketika keluar stadion untuk melaksanakan kewajibannya. Mereka mencintai sepakbola, tapi tidak melupakan ketuhanan yang masa esa yang menjadi sila pertama pancasila. Aku yakin, jika semua suporter sepakbola Indonesia bermental seperti ini, anarkisme mungkin hanya akan menjadi cerita masa lalu. Tuhan saja tidak dilupakan, apalagi kemanusiaan.
Jalan ke situ sepertinya masih cukup jauh. Tapi, tidak ada salahnya mencoba bergerak ke arah sana, dan kunci ke arah sana tidak lain adalah pendidikan suporter yang baik. Komunitas suporter sepakbola, aku pikir, bertugas tidak hanya mendukung timnya dalam kondisi apapun, tapi juga mendidik anggotanya agar menjadi suporter yang militan tapi agamis dan tidak anarkis.
Sepakbola itu penting, tapi sepakbola itu bukan segalanya. Sudah seharusnya menonton sepakbola di Indonesia menjadi seperti layaknya menonton film di bioskop mewah di mall itu. Kita bisa menontonnya bersama keluarga dan orang terkasih tanpa perlu takut terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Aku membayangkan, seandainya menonton liga Indonesia seperti menonton pertandingan sepakbola di negara yang sepakbolanya sudah mapan seperti di inggris sana. Pasti mengasyik jika aku bisa menonton sepakbola dengan istri dan anakku kelak tanpa perlu khawatir adanya lemparan botol dan potensi tawuran. Rasanya pasti amat menyenangkan.