Mohon tunggu...
Euri Ametsa
Euri Ametsa Mohon Tunggu... -

Come to my digital home adelwanblog.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bidadari Plastik

30 Januari 2017   23:40 Diperbarui: 31 Januari 2017   09:52 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Sebelum wartawan televisi datang meliput, kepala desa telah memberitahu pihak kepolisian untuk datang di hari yang sama, demi menangkap para laki-laki yang berusaha memelukku karena tidak bisa menahan nafsu mereka. Seingatku, jumlah mereka ada sekitar belasan. Sengaja kepala desa memberitahu polisi bertepatan dengan kedatangan wartawan televisi yang akan meliput bidadari yang muncul di desanya. Berdasarkan percakapan bisik-bisik yang aku dengar dari para perempuan berjilbab lebar yang menjaga diriku, kepala desa melakukannya untuk membuat malu para pembuat dosa. 

Menurut kakek Zaenal, orang yang mendapatkan wahyu bahwa aku adalah bidadari itu, para pendosa tersebut telah membuat tuhan murka. Gara-gara mereka, tuhan berniat untuk mengambil kembali sang bidadari dari desa mereka. Untuk mencegah itu terjadi, para pendosa yang dikurung di sebuah rumah kosong yang terletak di ujung desa, harus diserahkan kepada pihak kepolisian. Dan, itu harus diketahui oleh seluruh jin dan manusia di seluruh penjuru negeri, sebagai peringatan agar mereka tidak melakukan hal sama di tempat mereka masing-masing. Satu-satunya cara untuk melakukan hal itu adalah melalui televisi yang bisa menjangkau pelosok terpencil sekalipun.

Mendengar penjelasan yang katanya berasal dari kakek Zaenal tersebut, yang katanya berasal dari tuhan tersebut benar-benar membuatku terharu. Memang begitu seharusnya. Tentu saja, bagaimana mungkin tuhan yang maha pemurah membiarkan ciptaan terindahnya dilecehkan begitu saja.

***

Wartawan televisi datang berbarengan dengan mobil polisi. Sepertinya mereka kedua belah pihak bertemu dulu di kantor polisi sebelum datang ke desa ini. Aku mendegar suara hiruk pikuk di luar semakin bertambah ramai. Tentu saja, untuk pertamakalinya dalam sejarah, desa yang tidak begitu menarik dan dipenuhi oleh kemiskinan ini diliput oleh televisi, lebih hebat lagi, televisi nasional.

“Mbak, salaman dong!”

“Mbak, minta tanda tangan dong!”

“Mbak, udah punya pasangan belum?!”

Aku sedikit memberengut, dari rayuan tersebut. wartawan televisi ini cukup cantik sepertinya sehingga bisa membuat laki-laki menggodanya seperti itu. Tapi, aku yakin, yang menggodanya hanyalah laki-laki yang telah kehilangan kepercayaan diri untuk mendapatkan diriku. Tidak mengapa, laki-laki rendahan, memang pantas untuk wanita rendahan.

Di tengah hiruk pikuk tersebut aku mendengar suara kepala desa dan wartawan berbincang-bincang. Sepertinya dia sedang di wawancarai dengan penuh semangat oleh si wartawan. Warga desanya pasti sibuk melambaikan tangan mereka di belakangnya ke arah kamera. Wajar memang, orang kampung mana yang tidak udik?. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun