Mohon tunggu...
Sri Noviyanti
Sri Noviyanti Mohon Tunggu... -

I love to laugh and appreciate good food, good people and good times

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teman Biru Ling

24 September 2013   10:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:28 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1379993351605457367

TITIK-titik deras hujan memukul rata ibu kota hari ini. Biasa, menyambut bulan bungsu. Sejak malam tadi hingga pagi ini, mentari urung menyinari lebih terang lagi, Jakarta berwarna abu hari ini, bukan kuning atau biru.

Ling nama gadis kecil itu, sering berpakaian merah, cocok dengan kulitnya, mirip boneka porselain. Pertama kali aku mengenalnya saat sama-sama duduk sore di Taman baca “MANGKUBUMI” milik Koh Geming. Seorang Cina tua yang masih bercita-cita menjadi guru. Menunggu Koh Geming melantunkan dongeng tepat pukul empat sore setiap harinya, saat senja merah menjadi lampu kota. Itulah pertama kali ia mengikrarkan diri menjadi pelanggan tetap sang penjaja dongeng.

Koh Geming punya langganan tetap, empat orang murid (panggilannya pada pengunjung) laki-laki dan dua orang murid perempuan, tentu saja termasuk Ling. Setiap harinya Koh Geming memiliki dongeng segar. Aku pernah berpikir bahwa otak Koh Geming ajaib setiap pukul 4 sore. Dongeng miliknya tak akan pernah kau dapatkan di Toko buku manapun. Bukan soal Kancil si Pencuri, bukan pula Timun Mas. Dongeng miliknya lahir dari rahim warga kota yang berada dekat dengan kediamannya, warga ibu kota yang tepat berada di garis kemiskinan.

Macam-macam saja dongeng miliknya, masih ku ingat benar. Tentang Karung Emas Sang Pemulung, Kotak Musik Dangdut Ajaib Milik Wati, Hikayat Gedung-Gedung Jakarta di Malam Hari, sampai pada dongeng hari ini, “Kucing Buntal di perut Ijah”.

Ini mengenai Ijah yang tamak, seorang miskin yang hidup cukup untuk makan saja, ia tak pernah puas, ia tak punya anak, hanya suami yang malas bekerja. Mereka pasangan tua, menikah bukan atas dasar cinta. Hanya takdir. Sudah waktunya menikah saja, begitu ungkapnya bila ada yang tanya. Kusman, suaminya saat ini dulunya adalah seorang pemuda rantau dari Jawa Tengah, sedangkan Ijah adalah seorang pencuri berkedok pembantu, ia telah mengelilingi kota Jakarta sejak 25 tahun yang lalu. Suatu hari, tak sengaja ia bertemu Kusman dalam metromini. Napasnya terengah-engah, aksinya hari itu nyaris ketahuan warga. Ia berlari tanpa membawa hasil, sampai pada metromini, perantara pertemuan keduanya. Kusman duduk di bangku tengah, sedangkan Ijah ikut berjejal dengan napas terengah. Ijah malang, Kusman kasihan padanya.

“Duduklah”

Tanpa jawaban, Ijah duduk dengan cepat sampai di Blok M, mereka sama-sama turun tanpa tujuan. Entah bagaimana caranya, pertemuan-pertemuan selanjutnya lahir. Hingga ke acara pernikahan. Meski orang Jawa, mereka tak pernah mengerti betul kesakralan hari pernikahan. Hari pernikahan mereka tak dihitung seperti hari-hari penting yang biasa di hitung oleh seorang Jawa. Menurut perhitungan orang iseng, tetangga kontrakan Kusman saat itu, mereka menikah justru pada jam, hari, minggu, bulan, dan tahun yang sebenarnya tak cukup baik menurut perhitungan weton Jawa. Tapi tak apalah pikir mereka, untuk apa menyerahkan nasib pada seonggok kalender hasil pikiran orang kuno. Rumah tangga tetap diresmikan.

20 tahun membangun rumah tangga, hidup tak berubah, Ijah bosan miskin. Kusman hanya jambret kelas teri. Ijah memutar otak, ia kembali pada pikiran liarnya, jadilah ia kembali menjual jasa. Kali ini ia menjadi buruh cuci pulang hari dari pintu ke pintu sebuah kawasan elit. Ijah bukan buruh cuci biasa, setahun ini perawakannya berubah, ia masih sama kurusnya sejak 25 tahun yang lalu, bedanya saat ini perutnya buncit. Bukan hamil, mereka benar tak dikaruniai anak, ada yang bilang mungkin karena hari pernikahan yang salah. Cucian Ijah tak terlalu bersih, upahnya murah, diskon 50%, tapi hendaknya sang pemilik rumah berhati-hati, dalam mata gerimis Ijah, ia selalu mencari informasi kapan tuannya meninggalkan rumah, bila sudah tahu bergegaslah Kusman beraksi, menyikat harta target rumah besar-besar milik majikannya.

Beruntung, tiap ada yang kehilangan tak membuat ia dicurigai oleh pemakai jasa, bahkan pemakai jasanya terus bertambah. Usut punya usut hasil gosip kampung konsumsi warga dekat rumahnya yang tahu aksi mereka, Ijah dan Kusman main dukun. Syaratnya makan kucing kampung tiap kamis malam. Setahun menjalani ritual seperti itu, setahun pula hidupnya tak tenang. Kamis malam, kucing yang dilahapnya bulat-bulat tampak hidup kembali dalam perutnya, karena itulah ia tak pernah menjajakan jasa cuci di hari Jumat, takut-takut kalau ada yang melihat sosok kucing dalam perutnya. Tepat setahun, karma pun datang. Bencana bagi keluarga Ijah. Perut buncit tak dapat ditutupinya lagi. Terlalu banyak kucing disana. Tak pernah menyatu dengan dagingnya. Tepat pukul 12 malam, perutnya pecah. Seluruh kucing dalam perutnya mengoyak hingga isi perutnya keluar tanpa bentuk. Ijah tak dapat ditolong lagi!

Tinggallah Kusman yang kemudian dipenjara, tak ada yang percaya kesaksiannya bahwa kucinglah yang membuat istrinya meregang nyawa, ia dituduh membunuh!

Anak-anak meringis takut kala itu. Ling berbeda, wajahnya datar, tertarik mendengar cerita lebih lanjut.

“Cerita selesai, lu boleh datang lagi besok,” Ujar Koh Geming

Sebelum yang lain bubar, Ling tak beranjak.

“Ling, lu juga boleh pulang, taman baca mau ditutup, kalau mau mampir lagi besok.”

“Iya Koh, tapi boleh pinjam buku dongeng?”

“Boleh, lu bawa aja tuh yang di Rak A, ada dongeng si Kancil,”

“Dongeng Kucing Buntal di perut Ijah tadi ada?”

“Haha, yang itu ada disini,” Ujar Koh Geming sambil mengangkat telunjuk ke arah kepalanya.

“Kalo lu mau, lu bisa pelihara imajinasi dari sekarabng. Suatu saat semua imajinasi lu harus dikeluarin, semuanya bakal jadi nyata. Ya saat lu gak kuat nampung lagi segala imajinasi disini,” tunjuknya lagi pada kepala berambut putih miliknya.

Apa yang dikatakan Koh Geming, ditelan Ling lembut-lembut, kuperhatikan tiap bertemu di taman baca sehabis cerita dongeng berakhir, ia tampak berpikir sesuatu. Tampak keceriaan diwajahnya, kemudian ia tulis, dalam buku kecil berwarna merah yang selalu ia bawa kemana-mana dengan label “Imajinasi Ling”.

Ling yang ku kenal tak pernah berubah setiap harinya, selalu datang dengan wajah sendu, dan pulang dengan raut ceria. Menurut Koh Geming, Ling adalah gadis pintar, ia pamerkan buku imajinasi merah miliknya sebelum pulang pada Koh Geming.

“Sesuai namanya ia adalah gadis cilik yang pintar, kelak imajinasinya akan menjadi nyata”

Begitulah, Koh Geming mulai meramal.

***

Tepat di hari pertamaku di kelas enam SDN 27 PAGI aku kaget luar biasa, Ling berada dihadapanku. Dihadapan berpuluh murid, di depan kelas. Kata Bu Weni, ia murid baru pindahan dari SD Internasional yang sebagian besar muridnya adalah Cina.

Selama di kelas tak sekalipun aku lihat wajahnya senang, tetapi nilainya selalu bagus. Aku hanya melihatnya bersemangat setiap hari Senin, saat upacara bendera.

“Kau senang upacara?” tanyaku

“Ya, selalu bersemangat, ada lagu kebangsaan, penaikan bendera, aku senang melihatnya, rasanya dada ini berdebar-debar, di sekolahku yang lama upacara hanya ada sebulan sekali.” Jawabnya senang, tentu saja seusai upacara bendera.

“Mengapa kau pindah?”

“Ayah mengkhianatiku dengan Ibu, ia pulang ke Cina setelah berpesan bahwa di Negara ini aku seorang Cina tak akan mendapat apa-apa. Tak akan sejahtera.”

Masih ku ingat betul, itulah saat pertama kali aku memberanikan mengobrol dengannya. Ia menolak pergi ke Negara asal karena prinsip. Aku percaya, ia mencintai Indonesia lebih dari warga asal mencintainya.

***

Masih setiap sore, kami bertemu di Taman Baca yang sama, kali ini aku sengaja duduk dekatnya, ia menulis sesuatu

HAI TEMAN BIRU,

AKU PERCAYA

AKU DAPAT BERBUAT SESUATU,

AKU LING TANPA MENGUBAH NAMA KU AKAN MENJADI ORANG BESAR DISINI, KOH GEMING YANG MENDOAKAN, PASTI BERHASIL

Aku tersenyum kecil, mata kecil Ling selalu membuatku menebak-nebak apa makna tulisannya itu. Teman Biru? Apa maksudnya? Teman berwarna biru?

Ah, gadis bermata kecil itu, entah dimana ia sekarang.

Sejak sore itu aku tak pernah melihatnya lagi, sore itu pula Taman baca milik Koh Geming ditutup.

Mei 1998, ada gerakan besar penumbangan Presiden. Bukan, bukan hanya Presiden, non pribumi pun ditumbangkan, dibabat habis, dikejar hingga urukan tanah terakhir, lobang tikus terdalam, Dimanapun berada.

Pikiranku menerawang, dimana Ling? Sekelebat aku menangkap diorama. Buku imajinasi merah miliknya. Ada teman biru yang ia tuliskan. Apa itu teman biru? Diusiaku yang kepala tiga ini, aku tak berpikir lagi mengenai teman berwarna biru. Aku yakin teman biru maksudnya adalah teman yang selalu menghiasi dunianya dengan warna biru. Warna yang mengisyaratkan kesedihan.

Tak jarang ia dicemooh di sekolah.

“Dasar Cina!”

“Cina, Pulang sana!”

“Awas ada non pribumi, jangan dekat-dekat nanti kita disangka juga sama dengannya,”

Mei 1998, pertemuan terakhirku dengan Ling, menjadi bulan ketika wajah kecilnya itu berubah lebih sendu daripada biasanya.

Ditengah kerusuhan yang mematikan kota masa itu, pintu rumah Ling ataupun Koh Geming rapat tertutup setiap harinya, ada papan kecil di depannya. “MILIK PRIBUMI”. Tapi siapa yang percaya?. Walau bagaimanapun sejak saat itu dua rumah itu kosong, tak berpenghuni sama sekali.

***

Ling dimana kau saat itu? Kau tak ikut berkhianat mengikuti jalan ayahmu kan? Kau tetap berada di negeri yang kau cintai ini kan? Tentu kau masih ingat apa kata Koh Geming bukan? Bagaimana dengan dongengnya, masih ingatkah?

Bertahun-tahun aku menunggu kabar Ling, bukan untuk apa-apa, sedikit pikiranku ingin membuktikan ramalan Koh Geming saat itu, bahwa imajinasi Ling akan menjadi nyata. Kadang ada bisikan di lorong pikiranku. Ucapan Koh Geming tak berdasar ramalan yang valid, ya tentu saja. Buktinya rotasi hidup yang tiba-tiba mengantarkan Mei 1998, meluluhlantahkan semuanya. Disaat aku ingin membuktikan keyakinanku yang saat itu hadir mulai pudar bersama awan gelap di bulan bungsu hari ini.

Rotasi hidup pula yang mengantarkanku pada hari ini. Aku, Bumi. Telah menikah dan telah mempunyai dua orang anak. Aku mendirikan Taman Bacaan di teras rumah “TAMAN BACA ABIL”, nama anak pertamaku kusertakan disana. Disini tak ada pendongeng, tapi banyak bundelan kliping buatanku berisi cerita hasil ingatan masa kecil tentang dongeng yang lahir dari Koh Geming, seorang Guru bukan hanya untuk Ling, tapi juga untukku, untuk semua anak saat itu, dan juga untuk anak-anakku dan teman-temannya yang sering mengunjungi taman baca ini.

Ingin rasanya aku bertemu Koh Geming, banyak penerbitan yang tahu Taman Bacaanku dan hasil bundelan kliping dongeng ini, mereka hendak menawarkan membukukan kliping-kliping ini, tapi aku tak bisa mengambil keputusan. Tiap jilidnya kuberi judul “Dongeng Koh Geming”

“Nanti kalau saya bertemu sang penjaja dongengnya, saya akan kabari anda,” begitu ujarku tiap ada penerbit yang menawarkan.

Ingat betul, Koh Geming juga pernah berceloteh keras, kutangkap pesannya itu. Anak-anak jangan banyak menonton televisi, lebih baik membaca saja, kotak elektronik itu tak baik. Ia tak ingin generasi muda lahir dari rahim televisi, rusak moralnya. Ini juga kusebut sebagai ramalan.

Ramalannya benar, ditahun ini, aku bersedih meratap masa depan anak bangsa. Tak ada lagi lagu anak, tak ada lagi film anak yang pantas, banyak musik yang diciptakan dari tangan tak bertanggungjawab yang digaung dalam kotak elektronik. Musik-musik itu hadir di tengah jam anak-anak menonton televisi, belum lagi tontonan dan berita kekerasan yang juga ikut menemani masa-masa kecil para anak bangsa.

Kali ini aku hanya ingin membuktikan ramalan kedua, Ling. Ya tentang Ling.

Hari ini, aku diundang dalam diskusi peduli anak, disiarkan pada salah satu program televisi, aku jadi pembicaranya. Bumi Damara, Psikolog Anak sekaligus Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Ling, adakah kau akan melihatku? Atau kau masih menelan lembut-lembut apa kata Koh Geming, Jangan banyak menonton televisi?

***

Tibalah saat itu, satu jam lagi aku akan menjadi seorang pembicara. Semua orang sibuk menyiapkan materi, aku biasa-biasa saja, banyak yang akan kuucapkan nanti, sudah rapih tersimpan dalam kepala. Ku ambil koran di meja ruang tunggu. Tepat di halaman 27 aku terpaku, sebuah berita pada kolom paling pojok kanan. Berjudul “(Masih) Indonesia kah?”. Di tengah tulisan, ku perhatikan foto seorang wanita bermata kecil yang ku kenal betul, kau kah itu Ling? Ada sisipan penjelasan dibawahnya. Ling, aktivis peduli keberagaman Indonesia.

Oleh Sri Noviyanti

Ilustrasi diambil dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun